Wednesday, February 27, 2013

,

Legalitas Talfiq dalam Bertaqlid


Legalitas Talfiq dalam Bertaqlid[1]
Oleh: Iid Hidayatullah[2]

1.      Prolog
Segala puji bagi Allah, Rabbul 'izzah yang memiliki kasih sayang tanpa batas kepada makhluk-Nya, yang telah memuliakan kita dengan syari'at Islam. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda nabi besar kita sayyiduna Muhammad Saw. Beliaulah satu – satunya pembawa Risalah Allah Swt. yang dijadikan sebagai "rahmatan lil 'alamiin".
Syari'at Islam merupakan sebuah ketentuan yang Allah tetapkan kepada hamba-Nya agar mereka ingat tujuan mereka diciptakan, membuat mereka berlomba – lomba dalam ketaqwaan, guna mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasul-Nya. Oleh sebab itu munculah ilmu Fiqih  sebagai media perantara untuk sampai pada tujuan tersebut. Dan seiring berjalannya waktu dan bergantinya zaman terjadi banyak permasalahan yang berkembang bersamanya, membawa kita untuk berfikir dan membedakan mana yang haq dan mana yang bathil.Dan talfiq merupakan salah satu dari sekian banyak hal baru yang terjadi pada zaman kita sekarang.  Untuk lebih jelasnya mari kita lihat pembahasan selanjutnya.     
2.      Definisi talfiq
Dalam bahasa Arab kata talfiq (التلفيق) berasal dari kata (لفق – يلفق - تلفيقا) yang berarti mengabungkan sesuatu dengan yang lain. Misalnya dalam ungkapan لفقت الثوب)) yang artinya saya menggabungkan antara kedua ujung baju (pakaian/kain), satu dengan yang lain, lalu menjahitnya.[3]
Adapun definisi talfiq secara terminologi adalah: mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau mu'amalah) yang belum pernah dikatakan oleh para ulama mujtahid sebelumnya.[4] Maksudnya adalah perbuatan tersebut masih dalam ruang lingkup bertaqlid (mengikuti) pendapat para ulama madzhab, namun perbuatan tersebut dilakukan dengan cara mengambil dua cabang suatu perkara atau lebih dari pendapat para ulama madzhab, lalu menggabungkannya menjadi sebuah perkara yang belum pernah dilakukan sama sekali oleh salah seorang dari para ulama madzhab.
Contohnya adalah ketika seseorang bertaqlid kepada pendapat madzhab Imam Syafi'i dalam hal menyapu sebagian kepalanya di dalam berwudhu, kemudian orang tersebut mengikuti pendapat madzhab Imam Abu hanifah dan Imam Malik dalam hal tidak batalnya wudhu seseorang ketika orang tersebut bersentuhan kulit dengan yang bukan mahramnya. Kemudian dia shalat. Maka wudhu yang seperti ini belum pernah dikatakan oleh para Imam madzhab. Wudhu ini dianggap batal menurut madzhab Syafi'I karena orang tersebut telah bersentuhan kulit dengan yang bukan mahram. Dan Imam Abu Hanifah juga memperbolehkannya karena orang tersebut tidak menyapu 1\4 bagian kepala, dan madzhab Imam Malik juga tidak menyetujuinya karena orang tersebut tidak menyapu seluruh bagian kepala serta tidak melakukan dalk  (penggosokan) terhadap seluruh anggota wudhu, dan seterusnya.
3.      Ruang lingkup Talfiq
Masalah talfiq hanya mencakup pada ruang lingkup permasalahan yang ijtihadi[5] yang bersifat zhanni (bukan perkara yang qath'i/pasti).Adapun perkara yang disandarkan dengan hukum – hukum syar'i (qath'i) yang wajib diketahui dalam Islam yang telah disepakati oleh umat Islam dan dihukumi kafir bagi yang mengingkarinyamaka tidak diperbolehkan bertaqlid apalagi melakukan talfiq di dalamnya.
Dan atas dasar itu pula tidak diperbolehkan melakukan talfiq yang mengarah kepada pembolehan sesuatu yang diharamkan seperti khamr (minuman keras) dan zina.
4.      Dalil dibolehkannya melakukan talfiq
Talfiq merupakan sesuatu yang baru dikalangan umat Islam, istilah ini muncul sebagian umat islam mulai menutup pintu ijtihad mereka dan memilih untuk mengikuti ulama madzhab baik dengan berpegang kepada dalil yang mereka ambil dari ulama madzhab (ittiba'), maupun hanya sebatas mengikuti perkataan mereka tanpa mengetahui dalil – dalilnya (taqlid).
Menurut Al-Ustadz DR. Wahbah Zuhaili[6], pada dasarnya melakukan talfiq itu dibolehkan untuk para muqallid[7], karena agama Allah itu mudah, tidak sulit. Dan kebolehan melakukan talfiq tersebut merupakan sebuah kemudahan untuk seluruh umat manusia.
Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
(وما جعل عليكم فى الدين من حرج )[8]
Artinya: "Dia (Allah Subhanahu wa ta'ala) tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama."
)يريد الله أن يخفف عنكم و خلق الإنسانضعيفا)[9]
Artinya: "Allah Hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah."
)يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر)[10]
Artinya:  "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu."
Rasulullah Saw.bersabda:
بعثت بالحنيفية السمحة)[11])
Artinya: "Aku telah diutus dengan (membawa agama Islam) yang lurus lagi mudah.
Dalam kitab Fatawa mu'ashirah, syekh Yusuf Al-Qardhawi memberikan beberapa kutipan terkait masalah ini, beberapa diantaranya yaitu:
1)      Madzhab – madzhab  Fiqih dalam Islam tidak terbatas hanya kepada 4 madzhab saja sebagaimana yang disangka oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan tentangnya, dan Imam – Imam dalam ilmu Fiqih bukan hanya Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam syafi'i dan Imam Ahmad saja, karena sebenarnya mereka (Imam 4) ini berada satu zaman dengan ulama – ulama yang sederajat dengan mereka dari segi keilmuan dan ijtihad meskipun tidak sampai melebihi mereka.
Contohnya Imam laits bin Sa'ad, beliau hidup satu zaman dengan Imam Malik. Imam Syafi'i berkomentar tentangnya : Imam Laits lebih faqih dari Imam malik kalaulah seandainya tidak ada para pengikut yang mengikutinya.
Dan di Iraq pula Imam Sufyan Ats-Tsauri yang derajat kefaqihannya tidak lebih rendah dari Imam Abu Hanifah. Bahkan Imam Ghazali menganggapnya sebagai salah satu dari lima imam dalam ilmu fiqih, karena keutamaan beliau sebagai Imam dalam ilmu hadits, hingga beliau dijuluki : Amirul mu'minin dalam hadits.
Imam auza'i juga pernah menjadi seorang Imam madzhab di Syam yang tak terbantahkan kebenarannya. Dan madzhabnya masih diikuti selama lebih dari dua ratus tahun. Dan banyak lagi Imam – Imam dari berbagai zaman yang lainnya.
2)      Imam 4 ini tidak pernah mengakui kema'suman (keterjagaan) diri mereka dari kesalahan.
Berkata Imam Abu Hanifah:
هذا رأيى , وهذا أحسن ما رأيت , فمن جاء برأي خير منه قبلناه
"Ini adalah pendapatku, dan ini adalah pendapat yang paling bagus menurut saya, maka barangsiapa yang memiliki pendapat yang lebih baik dari ini maka kami akan menerimanya."

Berkata Imam Malik:
إنما أنا بشر أصيب و أخطئ , فأعرضوا قولى على الكتاب والسنة
"Saya hanyalah seorang manusia biasa yang benar dan salah, maka kembalikanlah pendapatku ini kepada kitab dan sunnah."
3)      Tidak ada dalil yang mewajibkan untuk bertaqlid kepada satu madzhab khusus.
Dengan dalil:
1. Al-Quran, Sunnah dan Ijama' telah menetapkan bahwa Allah ta'ala hanya mewajibkan kepada hamba-Nya untuk taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan tidak mewajibkan kepada umat ini untuk taat kepada seseorang secara khusus dalam perkara yang diperintahkan Allah dan dilarang oleh-Nya kecuali kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Dan semuanyapun sepakat bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang terjaga dari kesalahan kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2.  Para Imam madzhab itu sendiri melarang bertaqlid pendapat mereka secara buta, mereka tidak pernah menyerukan untuk mengikuti pendapat mereka dalam agama, dan mereka pula memperingatkan orang – orang yang mengambil pendapat mereka tanpa mengambil hujjah (dalil yang membenarkan).
Berkata Imam Syafi'i:
مثل الذى يطلب العلم بلا حجة , كمثل حاطب ليل , يحمل حز مة حطبوفيه أفعى , تلدغه وهو لا يدري
 "perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa berhujjah (mengetahui dalilnya), seperti seorang pembawa kayu bakar di malam hari,ia membawa seikat kayu bakar dan di dalamnya terdapat ular berbisa. Ia mematuk orang tersebut sementara orang tersebut tidak menyadarinya."
Berkata Imam Ahmad:
لا تقلدني و لا تقلد مالكا ولا الثورى و لا الأوزاعي , و خذ من حيث أخذوا.
و قال : من قلة فقه الرجل أن يقلد دينه الرجال 

" Janganlah bertaqlid kepada saya dan jangan bertaqlid kepada Imam Malik tidak pula kepada Imam Ats-Tsauri dan tidak pula imam auza'i, dan ambilah dari (sumber) yang mereka ambil."
Kemudian beliau berkata lagi:
"dari pada tanda- tanda minimnya pemahaman ilmu fiqih seorang pemuda adalah dia mengikuti seseorang dalam agamanya"
baik pada masa para sahabat, tabi'in, dan para ulama-ulama shalih lainnya mereka semua mengambil dalil dari kitab kemudian sunnah lalu setelah itu mengambil dalil yang benar dari perkataan para ulama penerus para nabi.

Namun kebolehan melakukan talfiq ini tidak bersifat mutlak dan hanya terbatas pada ruang lingkup tertentu, dan diantara talfiq tersebut ada Bentuk Talfiq yang batil menurut dzatnya. Seperti apabila apabila talfiq tersebut menjurus kepada penghalalan perkara yang diharamkan (secara qath'i / pasti) seperti khamr (minuman keras), zina dan lain – lain.
Dan ada pula yang dilarang bukan menurut dzatnya. Tetapi karena ada yang mencampurinya (sehingga yang asalnya boleh, menjadi terlarang) dalam jenis kedua ini terdapat 3 macam:
1-Menyengaja hanya mencari-cari yang paling ringan (tatabbu’ ar rukhash).
Yaitu seseorang mengambil apa yang paling ringan dari setiap madzhab, tanpa ada unsur keterpaksaan dan udzur kuat. Hal ini terlarang demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha pembebasan diri dari beban-beban syari’at.
Al Ghazali berkata,"Tidak boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan seorang awam –juga- tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa ada keterpaksaan) ”. Dan tentunya masuk ke dalam macam ini, yaitu mencari-cari hukum yang paling ringan dengan seenaknya dan mengambil pendapat yang lemah dari setiap madzhab demi mengikuti syahwat dan hawa nafsunya.

2-Talfiq yang mengakibatkan penolakan hukum (ketetapan atau keputusan) hakim (pemerintah), karena ketetapannya dapat menghilangkan perselisihan untuk mengantisipasi terjadinya kekacauan.

3- Talfiq yang mengakibatkan seseorang meninggalkan apa yang telah diamalkannya secara taklid, atau meninggalkan perkara yang telah disepakati disebabkan oleh adanya perkara yang ditaklidinya.

Adapun dalam urusan peribadatan dan beban-beban syari’at yang tidak ada kesempitan untuk para hambaNya, maka tidaklah dilarang melakukan talfiq, walaupun akan mengakibatkan ditinggalkannya perkara yang telah diamalkan atau ditinggalkannya perkara wajib karena perkara wajib lainnya berdasarkan ijma’, selama tidak menjurus kepada pembebasan diri dari ikatan beban-beban syari’at, atau mengarah kepada penghapusan hikmah ditetapkannya syari’at dengan cara mengikuti setiap hilah (rekayasa) yang dapat merubah atau menghilangkan maksud syari’at.

Karena talfiq ini sangat mungkin terjadi dalam masalah-masalah furu’, maka harus ada perincian mengenai hukum masalah-masalah furu’ tersebut.Perkara-perkara furu’ dalam syari’at terbagi menjadi tiga jenis.

. 1Perkara-perkara furu' yang dibangun di atas prinsip kemudahan dan kelapangan dengan berbagai ragamnya yang disebabkan beragamnya keadaan para mukallaf (orang yang dibebani syari’at)
. 2Perkara-perkara furu' yang dibangun di atas prinsip kehati-hatian dan mencari yang paling selamat.
. 3Perkara-perkara furu' yang berorientasi pada kemaslahatan dan kebahagiaan manusia.

Jenis yang pertama, adalah ibadah-ibadah mahdhah. Dibolehkan melakukan talfiq di dalamnya jika diperlukan, karena dasarnya adalah melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan tunduk kepadaNya dengan tanpa ada unsur kesempitan. Maka tidak boleh terjadi sikap berlebihan dalam hal ini. Karena sikap berlebihan (melampaui batas) akan menjerumuskan kepada kebinasaan.

Adapun ibadah-ibadah maliyah (dengan harta), maka haruslah diperketat untuk kehati-hatian, karena dikhawatirkan akan menelantarkan hak kaum fakir miskin. Oleh karena itu, seseorang yang ingin menunaikan zakat tidak boleh mengambil pendapat yang lemah atau menggabungkan pendapat dari setiap madzhab yang lebih tidak menjamin keutuhan hak kaum fakir. Dalam masalah ini, seorang mufti (pemberi fatwa) hendaknya mengeluarkan fatwa yang paling hati-hati (selamat) dan paling kondusif, dengan tetap mempertimbangkan kondisi orang yang meminta fatwa (mustafti) dan apakah dia termasuk orang-orang yang punya kepentingan (tertentu mendesak) atau tidak.

Adapun jenis kedua, yaitu kelompok perkara-perkara yang dilarang, yang bertumpu pada kehati-hatian (ihtiyath) dan mengambil pendapat yang paling selamat (wara’)[12](dengan meninggalkan syubhat) sekuat mungkin. Karena Allah Azza wa Jalla tidaklah melarang sesuatu, kecuali karena adanya madharat (bahaya). Maka tidak boleh memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal itu, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa) menurut kacamata syari’at.Sebab kondisi darurat (terpaksa) membolehkan (mengambil) yang dilarang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

((مَانَهَيْتُكُمْعَنْهُفَاجْتَنِبُوهُ،وَمَاأَمَرْتُكُمْبِهِفَأْتُوامِنْهُمَااسْتَطَعْتُمْ))

Apa yang kularang hendaklah kalian jauhi (tinggalkan); dan apa yang kuperintahkan, maka hendaklah kalian kerjakan sekuat kemampuan kalian.[13]

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikat perintah dengan tingkat kemampuan, sementara larangan dimutlakkan (tidak diikat), demi menolak madharat dari perkara yang dilarang tersebut.

Adapun tidak bolehnya talfiq dalam larangan-larangan itu, karena larangan-larang tersebut dibangun atas dasar kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. Hal itu bersandar kepada hadits :

دَعْمَايَرِيبُكَإِلَىمَالاَيَرِيْبُكَ

Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan bagimu.[14]

Adapun larangan-larangan yang berkaitan dengan hak-hak manusia, maka tidak boleh melakukan talfiq di dalamnya. Karena hal itu berdasarkan asas menjaga hak serta mencegah gangguan dan menganiaya (orang lain). Maka tidak boleh melakukan talfiq dalam hal tersebut, karena merupakan bentuk rekayasa tipuan yang bertujuan menentang hak orang dan merugikan mereka.

Sedangkan jenis ketiga, yaitu jenis mu’amalah (interaksi antara manusia), hukuman pidana (hudud), menunaikan kewajiban harta dan pernikahan.

Pernikahan dan hukum yang integral dengannya, seperti mufaraqah (pemisahan hubungan antara suami isteri) itu, landasannya adalah mewujudkan kebahagiaan suami-isteri dan anak-anak. Hal ini dapat terealisasi dengan menjaga ikatan pernikahan tersebut dan terciptanya kehidupan yang baik dalam keluarga, sebagaimana yang telah ditetapkan Al Qur`an Al Karim :

فَإِمْسَاكٌبِمَعْرُوفٍأَوْتَسْرِيحٌبِإِحْسَانٍ

Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.[15]

Jadi, setiap perkara yang mendukung prinsip ini boleh diamalkan, meskipun dalam sebagian kasus akan menyeret kepada perbuatan talfiq. Hanya saja, hendaknya talfiq tidak dijadikan sebagai obyek permainan orang dalam urusan-urusan pernikahan dan talak, dengan tetap memperhatikan kaidah syari’at, yaitu bahwa “hukum asal pernikahan atau perkawinan adalah haram”[16](kecuali yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syari’at.), demi menjaga hak-hak kaum wanita dan keturunan. Dan bila hal tersebut (mempermainkan hukum dalam pernikahan) di atas terjadi, maka talfiq menjadi terlarang.

Adapun masalah mu’amalah, menunaikan kewajiban harta, penegakan hudud (hukum pidana) dan perlindungan darah (manusia) serta masalah lain yang serupa yang memperhatikan kemaslahatan dan kebaikan bagi kehidupan manusia, maka wajib mengambil dari setiap madzhab, pendapat yang paling mengutamakan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia, kendatipun harus melakukan talfiq. Sebab pemilihan pendapat model itu akan mencerminkan usaha untuk aslahatan-kemaslahatan manusia berubah seiring dengan perubahan zaman, adat kebiasaan dan perkembangan peradaban mereka. Dan batasan maslahah adalah, setiap perkara yang menjamin perlindungan terhadap lima prinsip dasar, yaitu penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta; serta perlindungan terhadap setiap kebaikan yang dibidik oleh syari’at, baik melalui Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’, yang lebih dikenal dengan mashalih mursalah maqbulah (yang bisa diterima)

5.      Epilog:
Setelah kita membahas permasalahan seputar talfiq ini dengan terperinci.Dapat kita simpulkan bahwa batasan dibolehkan atau tidaknya melakukan talfiq adalah pada setiap perkara yang dapat mengacaukan landasan-landasan syari’at dan dapat menghancurkan aturan dan hikmahnya, maka hal itu dilarang, terutama kalau hal itu sekedar hiyal (rekayasa belaka untuk melepaskan diri dari beban syari’at).Sedangkan segala sesuatu yang mendukung landasan, hikmah dan aturan syari’at untuk membahagiakan manusia di dunia dan akhirat, dengan memfasilitasi kemudahan kepada mereka dalam urusan peribadatan serta menjamin segala kemaslahatan mereka dalam urusan mu’amalah (interaksi antara mereka), maka hal itu dibolehkan, bahkan merupakan tuntutan.

Pemberlakuan talfiq hanya dibolehkan saat dibutuhkan atau dalam kondisi darurat (terpaksa) saja, bukan bertujuan untuk mempermainkan hukum agama atau mencari-cari pendapat yang paling mudah dan ringan dengan sengaja tanpa ada maslahah yang dilegalkan syariat.Dan lagi, itupun terbatas pada sebagian hukum peribadatan dan mu’amalah yang bersifat ijtihadi (yang dibolehkan terjadinya perbedaan pendapat) dan bukan bersifat qath’i (pasti). Wallahu A’lam.


           Kajian Fikih Tradisional
          Departemen Intelektual IKPMA
Selasa, 13 Februari 2013





Daftar pustaka
-          Zuhaili, Dr.Wahbah, “Ushul fiqh alislamy” (Damaskus cet.I 2011. Darul Fikr)
-          Al-Qardhawi, Dr.Yusuf,“Fatawa mu’ashirah”(Kuwait cet.V 2005 Darul Qalam)
-          Albani, Muhammad Sa’id, “’umdatut tahqiq, fit taqlid wat tahqiq” (Damskus cet.II 1923 Darul Qadiri)


[1]Taqlid adalah mengambil perkataan seseorang tanpa mengetahui dalilnya adapun ittiba' adalah mengambil perkataan seseorang serta mengetahui dalilnya.
[2] Mahasiswa tingkat III, Fakultas Dirosat Islamiyah.
[3]Lisanul 'Arab hal: 105 jilid ke: 8
[4] Ushul Fiqh Al-Islamy hal: 421 jilid ke: 2
[5]Yang dimaksud masalah ijtihadi adalah permasalahan yang menjadi persilisihan para ulama fiqih (fuqaha) dikarenakan perbedaan dalam cara pandang dan pemahaman mereka di dalam suatu dalil syar'i (Al-Quran dan Sunnah) yang memiliki banyak makna (umum) 
[6]Ushul Fiqh Al-Islami hal: 426 jilid ke: 2
[7] Orang yang melakukan taqlid
[8]Surah Al-Hajj ayat 78
[9]Surah An-Nisa ayat 28
[10]Surah Al-Baqarah ayat 185
[11]Hadits shahih dikeluarkan oleh imam Ahmad dalam musnadnya dari hadits Jabir bin Abdullah, dan dari  Hadits Abu Umamah, dan dikeluarkan oleh Alkhatib, dan diriwayatkan oleh Imam Ad-Dailami dari Musnadul Firdaus dari Hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha.
[12]Wara’ yaitu menahan diri dari perkara-perkara meragukan (syubhat) karena khawatir dan takut kepada Allah Azza wa Jalla, kemudian digunakan juga untuk menahan diri dari yang hal mubah.
[13]Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[14]HR Tirmidzi dan An Nasa-i dari Al Hasan bin Ali bin Abu Thalib, dan Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.
[15] Surah al baqarah ayat: 229
[16]l Asybah Wa An NazhairAl Asybah oleh As Suyuthi (67 dan berikutnya). Maksud kaidah tersebut ialah, wanita yang akan dinikahi pada asalnya diharamkan bagi seorang laki-laki (sampai terjadi pernikahan yang sah). Masuk pula dalam hal ini, setiap cara untuk menikmati wanita (yang diharamkan).

0 komentar:

Post a Comment