Wednesday, April 16, 2014

Ketika Keyakinan Diragukan

Ketika Keyakinan Diragukan[1]
  1. Prolog
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan akal juga petunjuk untuk mencari kebenaran, untuk memilih sebuah keyakinan, untuk dapat memiliki pengetahuan agar tidak selalu salah dalam mencari kebenaran, agar tidak salah dalam menjalani kehidupan dan agar selalu terbimbing dalam mengarungi lautan keraguan.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan teruntuk manusia paling mulia dan dicintai di Bumi bahkan di alam semesta ini, Nabi Muhammad Saw. yang dengan perantara Beliau, kita semua bisa berada pada jaman seperti sekarang ini, jaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Mungkin, jika Beliau tidak pernah dihadirkan di kehidupan ini, kita akan menjadi makhluk sosial yang tidak bersosial, makhluk berakal yang tidak berakal, makluk yang diberi rasa namun tidak berperasaan. Sungguh suatu rahmat yang sangat besar yang diberikan oleh Allah dengan pengutusan beliau. Sungguh suatu kenikmatan dan keindahan yang tidak bisa untuk ditandingkan. Alhamdulillah wassyukru lillah wasshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah.


Di dalam kehidupan ini, banyak sekali fatamorgana yang menghanyutkan pandangan, bahkan mengelabui cara pandang berpikir. Di jaman era globalisasi saat ini, banyak sekali cara berpikir yang mengaduk-aduk sebuah keyakinan yang sudah lama tertaut di hati. Gelombang lautan yang terarah dan tenang tiba-tiba bisa menjadi penghancur dan pembunuh super dahsyat yang disebabkan getaran hebat yang dapat menghancurkan segalanya, hanya beberapa bangunan dan pepohonan yang kuat dan kokoh yang tidak bisa tergoyahkan. Begitupun keyakian umat islam saat ini, banyak sekali “meteor-meteor” yang tidak terduga yang menghantam dan mencoba menghancurkan struktur keteraturan komposisi “bumi”.

"واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا..."

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imran: 103)

Rasulullah Saw. bersabda,

“Sesungguhnya Allah meridlai kamu tiga perkara dan membenci kamu tiga perkara; Dia meridlai kamu apabila kamu beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu kepada-Nya, dan apabila kamu berpegang teguh kepada tali Allah semua dan kamu tidak berpecah-belah…” (HR. Muslim : 3236)

  1. Mimpi Bertemu Nabi
Mimpi adalah bunga tidur yang bisa dirasakan oleh manusia. Entah itu mimpi baik ataupun mimpi buruk. Bermimpi sesuatu yang disenangi adalah mimpi yang baik, begitu pula sebaliknya, bermimpi sesuatu yang tidak disenangi adalah mimpi yang buruk. Dengan mimpi, banyak orang yang mempercayai bahwa itu akan menjadi kenyataan dikehidupannya kelak. Bahkan banyak orang yang mencoba menakwilkan mimpi yang dia alami, entah dia menakwilkan dengan kemampuan dia sendiri atau meminta bantuan orang lain. Namun yang jelas, jika kita bermimpi dengan mimpi yang kita senangi, hendaklah kita memuji Allah Swt., dan mengabarkannya. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw,

"Apabila seseorang di antara kalian bermimpi yang disenangi maka itu adalah dari Allah. Karena itu hendaklah dia memuji Allah, dan memberitahukannya. Dan kalau dia bermimpi buruk, maka itu adalah dari syetan" (HR. Bukhari).

Tapi hendaklah ia memberitahukannya kepada orang yang ia cintai, sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadist riwayat Imam Muslim  "…dan jangan memberitahunya (mimpi baik tersebut) kecuali kepada orang yang dia cintai."

Dan apabila ia bermimpi buruk, maka hendaklah ia meniup ke arah kiri tiga kali, berlindung kepada Allah, merubah posisi tidur, melaksanakan shalat jika bisa dan tidak memberitahukannya kepada siapa pun, insya Allah mimpi itu tidak bisa membahayakannya sedikit pun. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi,

“Mimpi baik itu dari Allah, sedangkan mimpi buruk itu dari syetan. Maka siapa yng bermimpi dan tidak menyukainya hendaklah dia meniup ke arah kiri sebanyak tiga kali, berlindung kepada Allah dari (gangguan syetan) niscaya itu tidak membahayakannya, dan jangan memberitahukannya kepada siapa pun" (HR. Bukhari dan Muslim).

Juga disebutkan dalam riwayat Muslim agar orang yang bermimpi buruk mengubah posisi tidurnya.

Salah satu mimpi yang baik, bahkan sangat baik adalah mimpi bertemu Rasulullah Saw. karena jika kita mimpi bertemu Rasulullah berarti kita telah benar-benar melihat Rasulullah Saw. berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut,

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : "مَنْ رَآنِى فِى الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِى حقا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ فى صورتي..."
Abu Hurairah ra. Meriwayatkan dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihatku secara benar. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai bentukku…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan,
وعن جابر بن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : "من رآني في النوم فقد رآني فإنه لا ينبغي للشيطان أن يتشبه بي"
Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Saw. bahwasanya Ia bersabda: “Siapa saja yang melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah melihatku. Sesungguhnya setan tidak sepatutnya ia bisa menyerupaiku.” (HR. Muslim)
Dari hadits-hadits ini jelas menunjukan kebenaran melihat Nabi lewat mimpi, maka siapa saja melihatnya dalam mimpi, maka ia benar-benar telah melihat Nabi Saw. karena setan tidak bisa menyerupai bentuk maupun rupa Nabi Saw.[2]
Seseorang yang melihat Rasulullah Saw. dalam mimpi, maka sesungguhnya ia benar-benar telah melihatnya. Apabila ciri-ciri sifat fisiknya sesuai dengan gambaran yang terdapat dalam hadits-hadits shahih. Jika ciri-ciri sifatnya fisiknya tidak sesuai, para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian Ulama berpendapat, bahwa makna mimpinya perlu ditakwilkan. Hal itu pertanda tentang kekurangan yang terdapat pada diri orang yang bermimpi tersebut dalam hal beragama. Atau sebagai pertanda terjadinya kerusakan dalam kehidupan beragama di tengah-tengah masyarakat. Sebagian Ulama lain berpendapat bahwa ia tidak melihat Rasulullah Saw. karena ciri-ciri sifat fisiknya tidak sesuai dengan ciri-ciri sifat Rasulullah Saw. Tetapi setan berupaya menipunya dalam mimpi tersebut dengan cara mengaku sebagai Nabi Saw., sekalipun setan tersebut tidak mampu menyerupai ciri-ciri sifat fisik Nabi Saw. Oleh sebab itu, sebagian para sahabat dan tabi’in jika ada orang yang mengaku mimpi bertemu Nabi Saw., mereka mempertanyakan ciri-ciri sifat fisiknya. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Sirîn dalam ungkapan beliau: “Apabila ia melihatnya dalam bentuk rupa Rasulullah Saw. yang sebenarnya”.[3]
Sebagaimana Ibnu Hajar menyebutkan sebuah riwayat dengan sanad yang shahih dari Ibnu Sirîn rahimahullah: “Apabila ada seorang mengisahkan kepadanya bahwa ia melihat Nabi Saw. (dalam mimpi), maka Ibnu Sirîn rahimahullah berkata: “Sebutkanlah padaku ciri sifat-sifat orang yang engkau lihat tersebut?” Jika orang tersebut menyebutkan sifat yang tidak dikenalnya, maka Ibnu Sirîn katakan: “Sesungguhnya engkau tidak melihatnya”.
Berikutnya Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan pula riwayat dari Ibnu Abbas ra. dengan sanad yang Jayyid; Ibnu Kulaib berkata: “Aku katakan pada Ibnu Abbas: “Aku melihat Nabi Saw. dalam mimpi!” Ibnu Abbas ra. berkata: “Sebutkan ciri sifat-sifatnya kepadaku!” Ibnu Kulaib berkata: “Aku sebutkan Hasan bin Ali, lalu aku serupakan dengannya.” Ibnu Abbas ra. berkata: “Sungguh engkau telah melihatnya.”[4]
Jadi tidak semua orang yang mengaku mimpi bertemu Nabi Saw. harus langsung diyakini bahwa ia benar-benar melihat Nabi Saw. Mereka yang mengaku bermimpi bertemu Nabi harus ditanya lebih dahulu bagaimana rupa atau sifat Nabi dalam mimpi tersebut, sesuai dengan kriteria yang disebutkan dalam hadits-hadits dan kitab-kitabkah? atau sebaliknya. Jika sesuai, berarti ia benar-benar telah melihatnya. Jika tidak, kemungkinan itu adalah tipu muslihat dari setan yang mencoba mengganggunya lewat bunga tidur tersebut. Wallâhu a’lam.
  1. Kehidupan Para Nabi Setelah Wafat
"كُلُّ نَفْسٍ ذآئِقَةُ الْمَوْتِ..."
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati…” (QS. Ali Imran: 185)

Sudah menjadi sunnah Illahi bahwa setiap yang bernyawa pasti mati. Setiap yang bergerak pasti berhenti. Tidak ada yang bisa merubahnya atau menghentikannya walau dengan taruhan seluruh alam ini. Itulah Qudrah Illahi.

Begitu pula para Nabi yang diutus oleh Allah, mereka semua pun mengalami kematian, tidak bisa tidak, ini adalah ketetapan Allah di muka bumi ini. Allah sendiri yang memberitahukan kepada kita dalam firman-Nya yang disebutkan di atas. Bahkan Rasulullah Saw. pun tak luput dari sunnah Illahi ini, Allah Ta’ala berfirman:

"وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئاً..."
“Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Siapa saja yang berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikitpun…” (QS. Ali Imran: 144)
"إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ"
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati pula” (QS. Az-Zumar: 30)
Dari ayat-ayat di atas jelas menunjukan bahwa semua manusia akan mati, termasuk Rasulullah Saw. juga para Nabi yang lain. Namun Allah memberikan keutamaan kepada para Nabi-Nya. Diantara keutamaan para Nabi dan Rasul selama dan sepanjang apapun, jasadnya tetap terpelihara dari kerusakan (utuh)[5]. Sebagaimana dalam sebuah hadits,
إنّ الله حرّم على الأرض أن تأكل أجساد الأنبياء
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.”[6]
Dalam Sebuah hadis shohih dari Nabi disebutkan bahwa:

الأنبياء أحياء في قبورهم يصلون

“Sungguh para nabi hidup dalam kuburnya, mereka sholat.[7]
Dan diriwayatkan pula bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

مررت على موسى ليلة أسري به عند الكثيب الأحمر وهو قائم يصلي في قبره

“Aku berjalan bersama Nabi Musa pada malam Isra melewati al-kasib al-ahmar ketika dia sholat di dalam kuburnya.”[8]

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra. pada kisah peristiwa Isra[9],

وقد رأيتني في جماعة من الأنبياء ، فإذا موسى قائم يصلي..، وإذا عيسى ابن مريم قائم يصلي ، وإذا إبراهيم قائم يصلي
“Sungguh kamu melihatku dalam jama’ah para Nabi, maka Nabi Musa, Isa dan Ibrohim berdiri dan sholat.”[10]
Benar sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Allah tidak menerima ruh para Nabi, mereka hidup di sisi Tuhan mereka seperti para Syuhada. Ketika sangkakala pertama di tiup, mereka pingsan namun tidak benar2 mati, hanya dihilangkan rasa/indranya saja.[11]
Dan sebagaian para Muhaqqiq berpendapat bahwa Rasulullah Saw. itu hidup setelah wafatnya. Dan ia bahagia dengan ketaatan ummatnya dan bahwasanya para Nabi tidak akan rusak (jasadnya).[12]
Dan ada sebuah nash dalam kitab Allah yang menyebutkan tentang hak syuhada, yaitu bahwa mereka masih hidup dan diberi rizki. Mereka hidup dengan jasad mereka, apalagi kehidupan Nabi dan Rasul?. Hal ini ditetapkan oleh hadist:
أن الأنبياء أحياء في قبورهم
“Bahwasanya Nabi itu hidup di dalam kuburnya.” (HR. al-Mundziri dan di shahihkan oleh baihaqi)[13]
Jelas dari hadits-hadits tersebut bahwa para Nabi hidup setelah kematian mereka, mereka diberi rezeki oleh Allah. Tapi kita tidak bisa mengetahui bagaimana kondisi kehidupan mereka di alam kubur. Wallâhu a’lam.
  1. Mahal al-Qiyam
Hal yang lumrah jika kita menyambut baik kedatangan orang yang kita cintai dan kita hormati. Seperti kita berdiri menyambut para kiyai dan menyalaminya, menyambut para pejabat dan orang-orang yang kita hormati. Rasulullah Saw. juga pernah berdiri untuk menyambut kedatangan putrinya, Fatimah.

Bahkan Rasulullah juga pernah untuk berdiri sebagai sebuah penghormatan, sebagaimana diriwayatkan ketika sa'ad bin Mu'adz ra.  datang maka Rasul saw berkata kepada kaum anshar : "Berdirilah untuk tuan kalian" (HR Bukhari & Muslim). Disini terkandung sebuah penghormatan kepada orang yang memiliki keutamaan dan menyambut mereka dengan berdiri apabila mereka menemuinya. Dengan ini mayoritas ulama berdalil bahwa berdiri itu mustahab.[14]

Aku (Imam Nawawi) berkata: “Berdiri untuk menyambut orang yang datang itu mustahab sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits. Dan tidak benar bahwa hal tersebut dilarang. Aku sependapat dengan sebagian ulama yang menyatakan demikian. Dan dengan ini aku menjawab dugaan ketidakbolehan hal tersebut.” Wallahu a’lam.[15]

Imam Baihaqi berkata: “Berdiri untuk menyambut orang baik dan mulia itu boleh seperti berdirinya kaum anshar untuk sa’ad, dan berdirinya Thalhah ra. untuk Ka'b bin Malik ra.[16]

Berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada sesama saja dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Apalagi berdirinya kita sebagai rasa hormat kepada beliau ketika mendengar atau ketika dibacakan sebuah shalawat kepada beliau yang biasa kita sebut dengan Mahal al-Qiyam. Berdirinya kita terlepas dari hadir atau tidaknya beliau. Masalah seperti itu adalah masalah ghaib yg tak bisa disyarahkan dengan hukum zhahir. Karena Rasulullah Saw. tidak zhahir dalam pembacaan maulid itu.

Kita berdiri sebagai penghormatan mengingat jasa beliau yang sangat besar untuk kita, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi Saw., dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada Nabi Saw., sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.

Bahkan kehidupan nabi SAW, adalah khidupan yang paling sempuran dari pada nabi2 lainnya. Di riwayatkan bahwa “Tidak ada seorang muslim pun yang memberi salam kepadaku melainkan bahwa Allah mengembalikan ruhku sehingga aku menjawabnya.”[17] Dengan demikian, sebuah salam mengandung ketetapan akan sampainya salam tersebut secara khusus dan secara ruhani, rasulullah akan berpindah dari Alam mulia (kenabian) menuju alam dunia (semesta, jin dan seisinya) dan langsung ke alam manusia sehingga sampailah balasan salam beliau.[18]

Dari sini kita pun bisa menyimpulkan bahwa siapa saja yang memberi salam kepada Nabi, maka Nabi akan membalas salam kita. Wallâhu a’lam.

  1. Status Keimanan Orang Tua Nabi[19]
"أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ: فِي النَّارِفَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ"
“Bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah “Ya, Rasulullah, dimana keberadaan ayahku?, Rasulullah menjawab : “Dia di neraka”. Maka ketika orang tersebut hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya seraya berkata “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di neraka“.

Hadits ini dirwayatkan oleh Imam Muslim dari Hammad. Dari hadits ini jelas sekali menunjukan bahwa Ayah Nabi berada di Neraka. Apalagi hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Tapi kitab apapun itu jika itu bukan al-Quran, maka harus diteliti lagi keotentikannya. Hadits ini memang riwayat Imam Muslim, namun di sanad hadits terdapat perawi yang bernama Hammad. Imam Suyuthi menerangkan bahwa Hammad perawi hadits di atas diragukan oleh para ahli hadits dan hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Padahal banyak riwayat lain yang lebih kuat darinya seperti riwayat Ma’mar dari Anas, al-Baihaqi dari Sa’ad bin Abi Waqosh yang berbunyi:

اِنَّ اَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ الله اَيْنَ اَبِي قَال:َ فِي النَّارِ قَالَ: فَأَيْنَ اَبُوْكَ قَالَ: حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّّرْهُ بِالنَّارِ
“Sesungguhnya A’robi berkata kepada Rasulullah Saw. “Dimana ayahku?, Rasulullah Saw. menjawab : “Dia di neraka”, si A’robi pun bertanya kembali “Dimana AyahMu?, Rasulullah pun menjawab “Sekiranya kamu melewati kuburan orang kafir, maka berilah kabar gembira dengan neraka.“

Riwayat di atas tidak menyebutkan keberadaan ayah Nabi di neraka. Sedangkan Ahli hadits sepakat bahwa Ma’mar dan Baihaqi lebih kuat dari Hammad, sehingga riwayat Ma’mar dan Baihaqi harus didahulukan dari riwayat Hammad. Jadi hadits di atas yang mengatakan bahwa ayah Nabi berada di Neraka tidak cukup kuat.

Bahkan Allah Swt berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” (QS. Al-Isra: 15)

Ayat ini menerangkan dengan jelas bahwa Allah tidak akan mengazab suatu kaum sebelum Allah mengutus salah seorang Rasul kepada mereka. Dari sini juga bisa dipahami bahwa orang yang berada di pedalaman dan belum pernah mendengar atau belum ada seorang yang berdakwah untuk memberitahukan ajaran agama Islam yang hanif, maka orang yang berada di dalam pedalaman itu tidak terkena pembebanan ajaran Islam. Begitu pula dengan kedua orang tua Nabi. Mereka berada pada ada masa fatrah (masa kekosongan dari seorang Nabi/Rasul). Berarti keduanya dinyatakan selamat.

Imam Fakhrurrazi menyatakan bahwa semua orang tua para Nabi muslim. Dengan dasar berikut:

الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ * وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS. As-Su’ara’: 218-219)

Sebagian ulama  mentafsiri ayat di atas bahwa cahaya Nabi berpindah dari orang yang ahli sujud (muslim) ke orang yang ahli sujud lainnya.

قال رسول الله: لم ازل انقل من اصلاب الطاهرين الى ارحام الطاهرات

“Aku (Muhammad SAW) selalu berpindah dari sulbi-sulbi laki-laki yang suci menuju rahim-rahim perempuan yang suci pula”

Jelas sekali Rasulullah SAW menyatakan bahwa kakek dan nenek moyang beliau adalah orang-orang yang suci bukan orang-orang musyrik karena mereka dinyatakan najis dalam Al-Qur’an yang berarti lawan dari suci. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ...

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis” (QS. At-Taubah: 28)

Kemudian ada pula hadist Nabi ketika beliau meminta ampun untuk Ibunya,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لأُمِّى فَلَمْ يَأْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِى
“Dari Abi Hurairah ra. berkata ia: Rasulullah Saw bersabda: Aku meminta izin kepada Tuhanku untuk memintakan ampunan buat ibuku, namun Dia tidak mengizinkan Aku. Kemudian aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, maka aku diizinkan.” (HR. Muslim)

Dilihat sekilas, memang ada kesan bahwa ibunda Nabi Saw. itu tidak masuk surga. Sebab Rasulllah Saw. sampai memintakan ampunan atasnya. Dan ternyata permintaan itu tidak dikabulkan Allah SWT. Wajar kalau ada yang berkesimpulan bahwa kalau begitu ibunda nabi SAW itu bukan muslim, tidak pernah bersyahadat dan mati dalam keadaan kafir. Sebab saat wafat, nabi Muhammad SAW belum lagi menjadi nabi.

Namun kesimpulan seperti ini ditentang oleh kelompok lain. Mereka menolak bila hadits itu disimpulkan dengan cara demikian. Kalau Allah SWT tidak memperkenankan Rasulullah Saw. memintakan ampunan untuk kedua orang tua, tidak berarti orang tuanya bukan muslim. Sebagaimana ketika Rasulullah SAW tidak menyalatkan jenazah yang masih punya hutang, sama sekali tidak menunjukkan bahwa jenazah it mati dalam keadaan kafir.

Adapun larangan Allah SWT untuk memintakan ampunan bagi orang kafir adalah semata-mata karena orang itu sudah diajak masuk Islam, namun tetap membangkang dan akhirnya tidak sempat masuk Islam dan mati dalam keadaan kafir. Sedangkan kedua orang tua nabi SAW sama sekali belum pernah membangkang atau mengingkari dakwah. Sebab mereka ditakdirkan Allah SWT untuk hidup sebelum masa turunnya wahyu.

Bahkan hadits bisa dipahami bahwa Ibunda Nabi berada dalam ampunan-Nya. Dan percuma bagi Rasulullah Saw. memintakan ampun untuk Ibundanya, karena sama saja, dimintakan ampun ataupun tidak, Ibunda Nabi tetap dalam ampunan-Nya.

Juga berbagai bukti historis yang menjelaskan bahwa sebelum masa kenabian atau masa senggang antara Nabi Isa as dan Muhammad Saw. terdapat sekelompok besar penduduk jazirah Arab yang hidup pada masa jahiliah, mereka beragama dengan agama suci (hanif) Nabi Ibrahim, dan pemuka mereka adalah keluarga Abdul Muthallib, termasuk  di dalamnya hidup Abu Thalib, Sayyidina Abdullah, bapaknya Nabi Saw, serta ibunda Sayyidatuna Aminah. Mereka menyembah dan mengesakan Allah, menjauh dari beribadah kepada patung-patung yang dianut agama jahiliyah Arab saat itu. Mereka melakukan ibadah kepada Allah di tengah-tengan penduduk Mekkah atau di kaki-kaki gunung.[3][20] Dan berikut ini dua riwayat yang membuktikan hal tersebut:

·         Dari Ashbag bin Nabtah, ia berkata, Saya pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata, Demi Allah, Ayahku dan kakekku Abdul Muthallib sama sekali tidak pernah beribadah pada berhala, tidak juga Hasyim, dan tidak pula Abdi Manaf. Ditanyakan (kepadanya), Maka pada apa mereka menyembah? Beliau menjawab, Mereka shalat ke rumah (al-Bait) berdasarkan agama Ibrahim dimana mereka senantiasa- berpegangan kepadanya.””[21]

·         Rasulullah Saw berabda: “Wahai Ali, sesungguhnya Abdul Muthallib tidak bersumpah dengan dan tidak pernah pula menyembah berhala-berhala. Ia pun tidak pernah memakan sembelihan untuk persembahan (berhala), dan ia berkata, “Saya ada pada agamanya Ibrahim.””[22]

Sesuatu yang baik pasti berasal dari yang baik, sesuatu yang bersih tidak mungkin berasal dari sesuatu yang kotor. Mungkin ungkapan inilah yang sesuai untuk menggambarkan diri Rasulullah Saw. dan kedua orangtuanya. Wallâhu a’lam.

  1. Epilog
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, karena dengan segala rahmat dan nikmat yang telah diberikan oleh-Nya, akhirnya tulisan sederhana ini bisa rampung. Walaupun penulis sadar betul jika tulisan sederhana ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Tiada gading yang tak retak, tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia. Kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Penulis memohon maaf, jika di dalam tulisan ini terdapat banyak kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Karena penulis hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan.

Semoga kita termasuk dari umatnya yang mendapat syafa’at di yaumul qiyamah nanti. Dan semoga kita juga termasuk hamba-Nya yang mendapat naungan yang tidak ada naungan kecuali naungan dari-Nya di hari kiamat nanti. Amien.

Wallâhu a’lam bi ash-Shawâb


Daftar Pustaka
-       Al-Quran dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, Syâmil Cipta Media, Jakarta-Indonesia, 2006.
-       Al-Bukhâri, Muhammad Bin Ismâ’îl Abû Abdullâh, Shahîh al-Bukhâri, Dar Ibnu Katsir, al-Yamamah-Beirut-Lebanon, 1987.
-       An-Naisâbûrî, Abû al-Husain Muslim Bin al-Hujâj Bin Muslim al-Qusyairî, Shahîh Muslim, Dar al-Jail + Dar al-afâq al-jadîdah-Beirut-Lebanon.
-       Al-‘Asqalâni, Ahmad Bin ‘Alî Bin Hajar, Fath al-Bârî, Dar al-Ma’rifah, Beirut-Lebanon.
-       An-Nawawi, Abu Zakariya Bin Yahya Bin Syaraf, Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi-Beirut-Lebanon, 1392 H.
-       Nukhbah Minal Ulama, Ushûl al-Imân fi dlau-I al-Kitâb wa as-Sunnah, Wizarah as-Syu’un al-Islamiyah wa al-Auqaf wa ad-Dakwah wa al-Irsyad-Saudi Arabia, 1421 H.
-       Al-Asyqar, Umar Sulaiman, DR., ar-Rusul wa ar-Risalat, Dar an-Nafa-is-Yordan, 1990.
-       Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad Bin Husain, Hayatul Anbiya-I Ba’da Wafatihim, at-Tadhamun al-Ahwadzi-Mesir, 1349 H.
-       As-Syaukani, Muhammad Ali Bin Muhammad, Nailul Authar.
-       Muhammad al-Alusi, Ruhul Ma’ani, Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi-Beirut-Lebanon.
-       As-Suyuthi, Jalaluddin, Masalik al-Hunafa fi Walidai al-Mustafa, Dar al-Amin-Kairo-Mesir, 1993.
-       Syirah Ibnu Hisyam
-       Majlisi, Muhammad Baqir Bin Muhammad Baqi, Bihar al-Anwar, Thaba’ah Iran, 1885.





[1] Di presentasikan pada kajian IKPMA, hari Rabu, tanggal 22 September 2010.
[2] Lihat Ushûl al-Imân fi dlau-I al-Kitâb wa as-Sunnah, hal. 245.
[3] Lihat Shahihul Bukhari, juz 6, hal. 2567.
[4] Lihat Fathul Bari: juz 12, hal. 384.
[5] Lihat ar-Rusul wa ar-Risalat hal. 92
[6] HR. Abu Daud dan an-Nasa’I dan dishahihkan oleh ibnu huzaimah juga selainnya (Lih. Fathul Bari juz 6, hal. 488)
[7] Dirawayatkan oleh para Imam (jama’ah) dari Anas.
[8] HR. Muslim
[9] Lihat ar-Rusul wa ar-Risalat hal. 93
[10] Lihat Fathul Bari juz 6 hal. 486
[11] Lihat Hayatul Anbiya-I Ba’da Wafatihim hal. 14
[12] Lihat Nailul Authar juz 3 hal. 304
[13] Lihat Nailul Authar juz 3 hal. 304
[14] Lihat Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi juz 12 hal 93.
[15] Lihat Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi juz 12 hal 93.
[16] Lihat Fathul Bari juz 11 hal. 52
[17] HR. Abu Daud. Lihat juga al-Mu’jam al-Ausath juz 9, hal. 130.
[18] Lihat Ruhul Ma’ani, juz 22, hal. 38.
[19] Lihat Masalik al-Hunafa fi Walidai al-Mustafa, Bihar al-Anwar dan Syirah Ibnu Hisyam.
[20] Lihat juga Syirah Ibn Hisyam, juz.4, hal. 252
[21] Lihat Biharul Anwar, juz.15, hal. 144.
[22] Lihat Biharul Anwar, juz 15, hal.,127

0 komentar:

Post a Comment