Wednesday, April 30, 2014

Tahlilan Dalam Pandangan Syari’ah

Tahlilan Dalam Pandangan Syari’ah[1]

A.  Prolog

Bismillahirrahmanirrahim

Tahlilan atau sering juga disebut "kenduri kirim do'a" merupakan acara ritual keagamaan ('amaliyah ubudiyah) yang berisi bacaan ayat-ayat Qur'an, dzikir dan do'a, biasanya dilakukan oleh sebagian masyarakat Islam nusantara khususnya warga Nahdliyyin (Nahdlatul Ulama) yang berjalan sejak lama dan mengakar sehingga menjadi tradisi.

Namun persoalannya kemudian, sebagian orang masih bertanya-tanya, apakah acara tahlilan itu mempunyai dasar dalam bingkai syariah atau tidak? Bagaimana hukum fikihnya mengadakan tahlilan? Apakah masalah ini termasuk bid'ah? Jika memang ritual itu dianggap baru, apakah setiap yang baru mesti ditolak?  Apa akar masalahnya? dan masih banyak lagi permasalahan yang akan muncul dari perbincangan ini, nah inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama sebagai mahasiswa agama atau yang berada dalam proses belajar ilmu syariah (tafaqquh fiddin) apalagi di lembaga pendidikan islam tertua sekelas Al-Azhar As-Syarif.

Jadi memang masalah ini menarik untuk dibahas, dikaji dan diskusikan apalagi spirit dan ruh keterbukaan (infitah) yang didengung-dengungkan Azhar sangat mendukung untuk membahas persoalan keumatan dalam berbagai dimensi kehidupan seperti masalah tahlilan ini, tentu dalam koridor etika diskusi ilmiah.

Diharapkan dari kajian ini bisa tercapai pemahaman yang benar bagi pengamal tahlil disatu pihak, dan sikap pengertian bagi yang tidak sependapat dilain pihak, karena spirit ini yang diajarkan didalam sejarah perbandingan fikih antara imam empat, dimana masing-masing dari mereka menunjukkan sikap tawadhu' bahkan sekelas Imam syafi'i ingin melihat pendapat yang benar keluar bukan dari mulutnya, konon beliau ketika datang ke kampung Imam Hanafi beliau meninggalkan pendapatnya sementara dalam masalah qunut sebagai bentuk penghormatan atau kaidah " usaha mencari titik temu" nilai ini yang melahirkan kaidah      (Khuruj minal hilaf) dan kisah sikap kearifan  seperti ini sangat kaya dalam khazanah hukum islam, demikian juga dalam mengkaji masalah tahlilan semestinya seseorang tidak gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil hukum karena masalah ini masih didiskusikan dikalangan ulama' sesuai kaidah:
لَا يُنْكِرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهَا وَاِنَّمَا يُنْكِرُ الْمُتَفَقُّ عَلَيْهِ

" Suatu masalah yang masih dipersoalkan tidak serta merta diingkari, namun yang boleh diingkari adalah yang jelas-jelas melanggar prinsip ( ushul) "

Sekilas tentang tahlilan (tashawur)

Sebelum lebih jauh mendiskusikan permasalahan ini, sebaiknya kita terlebih dahulu mencoba memahami defenisi, abstraksi umum tentang tahlil baik secara bahasa (lughotan / etimologi) maupun secara istilah (istilahan / terminologi) karena pemahaman terhadap asal-usul kata (isytiqoq) sangat membantu untuk memahami masalah atau paling tidak sebagai pijakan awal untuk mengerti lebih jauh dan mendalam tentang persoalan itu.

B.    Ulasan Tema

1.     Definisi Tahlilan

a.      Menurut Bahasa (lughotan / etimologi)

Kata tahlil merupakan struktrur kombinasi ( Naht) atau gabungan dari unsur-unsur kata dan suku kata, yaitu berasal dari kalimat (لَاإِلَهَ إِلَا الله)
Struktur ini banyak terjadi dalam gaya bahasa arab yang sering dikenal dengan struktur Naht atau Isytiqaq kubar contohnya, basmalah yaitu gabungan dari kalimat بسم الله
 الرحمن الرحيم)           ), haulaqah dari kalimat  ( لا حول ولا قوة إلا بالله) dsb.[3]

Dalam kaidah bahasa arab, jika dua kata sering dipakai bersamaan maka terkadang diringkas dengan cara menggabungkan sebagian suku kata lafadl pertama dengan suku kata lafadl kedua.

وَقَالَ اللَّيْثُ : التَّهْلِيْلُ قَََََََوْلُ لَااِلَّهَ اِلَّا الله                                         
             Artinya: telah berkata Allaits:  arti tahlil adalah mengucapkan la ilaha illallah.[4]

b.      Menurut islilah ( istilahan / terminologi)

tahlil atau tahlilan (tambahan partikel –an-) secara istilah  dapat digali dari pengertian bahasa yaitu: suatu rangkaian amaliyah ritual khusus yang mengandung bacaan ayat-ayat alQur'an ( surat alfatihah, surat Al-Ikhlas, Mau’idzatain, awal surat Al-Baqarah, ayat Kursi, akhir surat Al-Baqarah) dan Istighfar, Tahlil, Shalawat, Tahmid, serta do'a yang biasanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal.

Dalam penggunaan harian di masyarakat kegiatan ini lebih masyhur disebut tahlil padahal isinya bukan terbatas pada kalimat la ilaha illallah saja akan tetapi satu paket  yang tersusun dari berbagai macam dzikir dalam arti luas, dalam kajian semantic (balaghah) yaitu, " Ithlaqul juz wa iradatul kul" .

C.   Akar masalah ( tahrir mahallunniza')

Hemat penulis, akar masalah dan penyebab perbedaan dalam masalah tahlil ini adalah cara pandang keagamaan secara umum dan pandangan terhadap sunnah dan bid'ah secara khusus dalam aktifitas-aktifitas religi ( ibadah) yang baru atau dipandang tidak ada pada zaman Rasulullah S.aw seperti, Tahlilan, Istighatsah, Sholawatan, Maulidan dsb.

Sebenarnya inti dibalik acara kenduri tahlil adalah bacaan ayat Qur'an dan kirim do'a bagi orang yang sudah meninggal, bagaimana hukumnya dalam agama, inilah masalahnya? Apakah masuk kategori bid'ah? Apalagi dilakukan dalam teknis khusus? Disinilah terjadi perbedaan (muhimul ikhtilaf dalam bahasa Ibnu Rusyd di bidayatul mujtahid) yang disebabkan adanya Perbedaan  pemahaman terhadap hadis  bid'ah yaitu:

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَََ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدُّ  رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمُ .

Dari Aisyah R.a bahwa Rasulullah Saw bersabda," barang siapa berbuat sesuatu yang baru tidak ada petunjuk dari agama maka tidak akan diterima amalnya. ( Mutafaqun alaih)

Hadis ini dipahami oleh ulama' bahwa bid'ah terjadi pada perbuatan ibadah yang baru dan dikerjakan tanpa ada petunjuk agama, karena hadis ini berbentuk umum khusus (‘aam makshus).

Imam Syafi'i dengan jelas menyatakan bahwa bid'ah itu dibagi dua positif dan negatif, bid’ah hasanah apabila sesuai dengan syariah dan bid'ah sayyiah jika melanggar kaidah agama.[5]

Dalam hukum islam, praktek kegiatan religi yang baru dikategorikan oleh sebagian ulama' seperti imam Nawawi dan Izzudin bin Abdulssalam menjadi bid'ah wajib seperti menjawab isu miring terhadap syariah, kodifikasi Qur'an dan sunnah. Bid'ah sunah seperti membangun sekolah atau yayasan, bid'ah haram, pesta Narkoba. makruh seperti menghias masjid, dan mubah seperti tasyakuran.[6]

Jadi, Bid'ah itu terjadi jika suatu perbuatan itu sama sekali tidak ada landasan agamis dari segala aspek dan kaidah syara', namun bila masih ada tuntunan dan tidak bertentangan dengan nilai umum agama walaupun dalil tidak disepakati ( adilat mukhtalaf fih) seperti asas mashlahat, urf, dll, maka tidak bisa serta merta dikatakan bid'ah.

Sedangkan aktifitas-aktifitas duniawi tidak disebut bid'ah karena Sabda Nabawi ada unsur pengikat " fi amrina" yaitu dalam masalah agama.[7]

Imam Zaruq dari madzhab Maliki melihat  bahwa batasan bid'ah adalah makruh tidak bisa dikatakan haram karena tidak ada kepastian melanggar yang wajib dan juga tidak menghilangkan hukum asal.[8]

Memang Hadis Aisyah R.a diatas  menjadi separuh dasar-dasar agama dan termasuk kategori hadis pokok dalam ajaran islam disamping hadis tentang halal haram, hadis niat, [9]

Jadi kalau yang menjadi objek kajian dan masalah adalah hukum tahlilan dalam bentuk teknis dan formal seperti yang berlaku di sebagian masyarakat itu maka studi tentang sunnah bid'ah menjadi acuan, namun bila yang dimaksdud adalah tujuan pengiriman do'a, dibawah ini kita mencoba bersama mengkaji hukumnya dalam agama

1.      Pendapat ulama' tentang tahlilan dan kirim do'a

Seperti disinggung diatas, bahwa ritual tahlilan subtansinya adalah kirim do'a kepada orang yang telah meninggal, maka wacana ini sudah sejak lama diperbincangkan dikalangan ulama', Imam Nawawi misalnya, mengutarakan bahwa dalam masalah bacaan untuk orang yang meninggal terdapat perbedaan pendapat yaitu Imam Syafi'i bukan madzhab syafi'iyah yang mengatakan tidak berguna untuk si mayit, sedangkan Imam Hambali dan sebagian madzhab syafi'i berpendapat bermanfaat dan boleh, tentu semua pendapat mempunyai landasan masing-masing, dan perbedaan itu tidak merusak hubungan guru dan murid antara Imam Syafi'i dan Hambali.[10]

Imam Ibnu Hajar al-Haitami dari madzhab Syafi'i dengan jelas menyatakan bacaan jamaah untuk mayit baik tahlil, dzikir, do'a dll diperbolehkan dalam agama.[11]

Lembaga fatwa yang kredibel Daarul Ifta' Misriyyah dibawah asuhan Syekh Atiyah Shaqar juga menfatwakan hal yang sama karena memang ada prakteknya di masyarakat mesir dengan membeberkan pendapat ulama' seperti dilansir Imam Nawawi dengan tetap meluruskan praktek lapangan yang kurang tepat.

Nah, Memang harus diakui bahwa kata "tahlilan" sebagai sebuah bentuk tradisi seperti yang kita pahami sekarang tidak ada pada masa Rasulullah SAW, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi tahlilan adalah dzikir dan berdoa untuk si mayit. berdoa untuk si mayit yang muslim supaya mendapatkan pengampunan dari Allah -tidak diragukan lagi- terlalu banyak penjelasannya di dalam dalil agama yang disepakati ( mutafaq alaih) dan dalil penyempurna (mukhtalaf fih).

Dalil Qur'an:

Allah Swt berfirman:

وَالَّذِيْنَ جَاؤُا مِنْ بَعْدِهِمْ يَِقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِأِاخْوَانَنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا اِنَّكَ رُءُوْفٌ رَّحِيْمٌ(الحشر:10)

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." )Q.S. alHasyr ayat: 10)

Penggalian dan rumusan dalil (wajhul istidlal) bahwa, di ayat ini Allah Swt memuji para sahabat mendoakan orang-orang yang telah mendahului mereka dengan rahmat dan maghfirah, mohon ampunan .[12]
Dan firman Allah Swt.

وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِِإيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ [الطور : 21]

dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam ke imanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka. (ath-thuur:21).

Analisa dalil( istidlal) ayat ini menunjukkan seseorang itu dapat memberi bantuan apapun kepada orang lain materi atau immateri seperti do'a, istighfar untuk dia, dsb.


Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang memberi indikasi (isyarat) masalah ini,

Dalil hadits:

Hadis dari Ibnu Abbas r. a dan Ibnu umar r.a di Sahih Bukhari:

عَنِ ابْنُ عُمَرِ وَابْنُ عَبَّاسٍ ( أَنَّهُمَا أَفَتَيَا امْرَأَةٌ جَعَلَتْ أُمَّهَا عَلَى نَفْسِهَا صَلَاةً بِمَسْجِدِ قُبَاءَ وَلَمْ تَفِ بِنَذْرِهَا أَنْ تُصَلِّيَ عَنْهَا بِمَسْجِدِ قُبَاءَ ) .

Hadis lain dari alFadlul bin Abbas r.a di Muwatta'

أَن امرأة من خثعم سألت رسول الله فقالت : إن فريضة الله على عباده في الحج أدركت أبي شيخاً كبيراً لا يثبت على الراحلة أفيجزىء أن أحج عنه ؟ قال : نعم حُجّي عنه

Hadis lain dari Ibnu Abbas r.a , Amru bin Ash r.a dan Buraidah di Sunan Abi Daud:

( أن امرأة أتت رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) فقالت : إن أمي ماتت وعليها صوم شهر أفيجزىء أو يَقضي عنها أن أصوم عنها ؟ قال : نعم . قالت : وإنها لم تحج أفيجزىء أو يقضي أن أحج عنها ؟ قال : نعم )
وعن ابن عباس ( أن رجلاً قال : يا رسول الله إن أمي توفيت أفينفعها إن تصدقت عنها ؟ قال : نعم )
عن عمرو بن العاص وقد أعتق أخوه هشام عن أبيهم العاص بن وائل عبيداً فسأل عَمرو رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) عن أَن يفعل مثل فعل أخيه فقال له ( لو كان أبوكَ مسلماً فأعتقتم عنه أو تصدقتم عنه أو حججتم عنه بلغه ذلك ) .

Rumusan dalil, bahwa perbuatan para sahabat yang masih hidup dan ditujukan untuk orang yang meninggal tidak dilarang oleh Rasulullah Saw..

Dan masih banyak lagi sabda-sabda Nabawi ( Nusus sunnah) dalam masalah ini akan tetapi ini barang kali menjadi contoh saja.

Hadis lain dari Abu Hurairah r.a di sunan Ibnu Majah:

عن أبي هريرة رضي اللّه عنه قال: قال رسول اللّه «إنما يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته: علماً نشره، وولداً صالحاً تركه ومصحفاً ورثه، ومسجداً بناه، وبيتاً لابن السبيل بناه، ونهراً أجراه، وصدقة أخرجه من ماله في صحته وحياته تلحقه من بعد موته»

Rumusan dalil (istidlal): Hadis ini menunjukkan amalan-amalan yang tidak terputus selain tiga amalan dalam hadis popular  walaupun orangya sudah meninggal dan ulama' pun berbeda pendapat dalam pemahaman, apakah dibatasi dengan tiga, tujuh atau mutlak? Kontek hadis bagi si mayit, bagaimana dengan amalan orang lain untuk dia?

Dalil Ijma'

Sebagian ulama' seperti Imam Nawawi menyatakan hal ini menjadi ijma', dan tidak berarti semua ulama' secara total setuju dan sependapat seperti uraian diatas karena ketidaksepakatan sebagian ulama' lain tidak menghalangi ijma'

Dalil Qiyas

Lebih lanjut imam Nawawi menjelaskan bahwa bila do'a an dhohril ghoi (tidak diminta) diperbolehkan apalagi do'a kepada saudara, guru dll yang diminta.

Dalil Adat

Karena perjalanan tahlil yang sudah sekian lama mengakar di sebagian masyarakat Indonesia sehingga sudah bisa dikategorikan adat, kaidah syariah melihat suatu tradisi apapun bentuknya selama tidak bertentangan dengan syara' diperbolehkan agama, bahkan dalam madzhab syafi'i dijadikan salah satu dasar perumusan hukum.
العادة محكمة مالم تخالف الشرع

Dalil Logika (aqli)

Sebagaimana diketahui bahwa inti Syari’at sholat jenazah  adalah do'a, memintakan ampunan, rahmat dari Allah Swt  untuk si mayit, begitu juga halnya dengan tahlil, jika hal itu tidak berguna pasti tidak diajarkan oleh guru-guru kami (ustadzuna) yang sudah teruji pemahamannya di dalam masalah agama.

2.      Persoalan dan diskusi dalil

Bagi kalangan yang tidak sependapat juga akan menyangkal dengan dalil-dalil yang ada, diantaranya:

Dalil Qur'an:

Di dalam al-Quran, terdapat banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa setiap insan hanya bertanggungjawab di atas apa yang telah diamalkan oleh dirinya sendiri semasa di dunia. Tidak ada keterangan bahawa seseorang itu akan memikul tanggungjawab di atas amalan yang dilakukan oleh orang lain seperti ayat:
اَلاَّ تَزِرُوْا وَازِرَةٌ وِزْرَ اُخْرَى ، وَاَنْ لَيْسَ لِلاِنْسَانِ اِلاَّ مَا سَعَى.
"Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahawasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan".  ( Q.S. Annajm: 53)

Sanggahan:

Tafsir terhadap ayat diatas tidak ada kesepakatan di antara ahli tafsir, misalnya Sahabat Ibnu Abbas R.a ( Habrul Ummah) mengatakan bahwa ayat ini dinasakh (dihapus) dengan ayat:

والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان ألحقنا بهم ذريتهم [الطور : 21]

dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam ke imanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka. (ath-thuur:21).

Dimana Allah Swt  akan memberikan syafa'at kepada orang tua karena anak demikian juga sebaliknya, sesuai firman Allah Swt

آباؤكم وأبناؤكم لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعا [النساء : 11].

“Orang tuamu dan anak – anakmu kamu tidak mengetahui siapa yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu”

Terdapat tafsir lain yang mengatakan bahwa huruf "lam" dalam ayat bermakna keharusan, maksudnya: si mayit tidak lagi dibebani kewajiban karena tidak mukallaf, sebagai rahmat ilahiyah seperti anak kecil yang masuk surga tanpa amal, masih ada tafsir lain dari Imam Rabi' bin Anas yang menyatakan bahwa  ayat ini berlaku bagi umat terdahulu (ahlul kitab) dan kafir sedangkan orang beriman perbuatannya sendiri dan do'a orang lain sama-sama berguna.[13]

ada juga pendapat lain di ayat ini, bahwa ayat itu menunjukkan penafian kewajiban bagi si mayit bukan yang masih hidup, amalan seseorang juga berguna bagi orang lain seperti pahala shalat jamaah.

Dan perlu diyakini bersama bahwa tidak ada sama sekali pertentangan subtansial (tanaqudh maknawi) antara dalil- dalil Qur'an dan sunnah, kalaupun terjadi hanyalah perbedaan lahir (taarudh dhahiri) saja.

Dalil Hadits:

اِذَا مَاتَ اْلاِنْسَـان اِنـْقـَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : صَدَقَـةٍ جَارِيَةٍ ، اَوْعِلْمٍ يـُنـْتـَفَعُ بـِهِ ، أوْوَلـَدٍ صَالحٍ يـَدْعُـوْلَهُ
"Apabila mati anak Adam, putuslah semua amalannya kecuali tiga perkara:  Sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak soleh yang mendoakannya."[14]

Sanggahan:

Terkait dengan pemahaman hadis (fiqhul hadis) dimana sebagian ulama' mengkategorikan dalam hadis yang belum final pemahamanya ( mukhtalaf) karena masih ada riwayat lain seperti dalam hadis Abu hurairah r.a diatas yang tidak menentukan bilangan pasti, dan hadis ini menjelaskan amal dari pihak mayit karena tidak mukallaf lagi sedangkan bagi saudaranya seiman yang masih hidup maka amalanya yang ditujukan untuk mayit tadi tetap berguna .


D.  Epilog

Walhasil, kontroversi tahlilan berada pada wilayah permasalahan perbedaan furu'/fiqih (parsial/ yurispundensi) bukan persoalan ushul/tauhid ( prinsipil/ teologi) karena bila diangkat menjadi persoalan ushul akan berdampak terhadap status keimanan dan keislaman, artinya bila persoalan didudukkan dalam ruang furu' sudah menjadi keniscayaan akan melahirkan perbedaan pendapat hukum islam yang semestinya disikapi dengan arif dan hikmah atas dasar :

المسامحة في الأمور المختلف فيها والمشاححة في الأمور المتفق عليها
" Sikap saling pengertian dalam permasalahan perbedaan, dan kokoh dalam masalah prinsip"

latar belakang ini kemudian melahirkan fikih islam dan khazanah ilmu agama  yang kaya, padat, dan indah.

Semoga kita juga bisa meniru para fuqaha dalam pengayaan karya-karya fikih sesuai tuntutan zaman masing-masing. Amin..

Semoga makalah singkat dapat menggugah teman-teman diskusi untuk lebih semangat menggali, memeras otak untuk berfikir tentang masalah keumatan khususnya berkaitan dengan hukum karena pertanyaan mereka kebanyakan berkutat pada masalah hukum berdasarkan pengalaman dan kenyataan yang ada.

Wallau ‘alam bisawab




E.    Referensi

-       Al-quran dan Terjemahnya,(al-Huda: Depok,2002)
-       al -Qurtubi, Abu Abdillah, Jaami al-Ahkam, ( Saudi: Daru al-Alamil Kutub)
-       as -Shan'ani, Muhamad bin Isma'il, Subulu as-Salam, (Mesir: Maktabah Musthafa Babi Halabi)
-       as -Syaukani, Muhamad bin Ali, Nailu al- Authar, (mesir: Matba ah Muniriyah)
-       al -Kasani, Alauddin bin Mas'ud, Badai'usshanai' , fi tartibissyarai', (mesir: Darul Kitab Arabi, 1982).
-       An-Nawawi, Al- majmu' syarh Muhadzab,
-       Ibnu rusyd, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid, (Mesir: Darul Hadits)
-       al-Maqdisi, Ibnu Quddamah, Almughni, (siria: Darul Fikr, 1405)
-       al-Hadzami, Muhammad syafi’ie, taudhihul adhillah,( Indonesia: menara kudus)



Team Pembentukan
Buku Fikih Tradisional
Departemen Intelektual IKPMA
Periode XVIII, 2009- 2010 M





[1].  Dipresentasikan dalam kajian pembentukan buku Fikih Tradisional, 13 Oktober 2010.

[2] . Mahasiswa tingkat 3 Syariah Islamiyah Universitas al-Azhar
[3].  Lisan al- Arab, ibnu mandzur al-ifriqy, juz 11 hal-229
[4] . taudihul adhillah, muhammad syafi’ie al-hadzam, juz 2 hal-203
[5] .alamru bil ittiba' wannahyu anil ibtida', Jalaludin asSuyuti, juz: 1 hal: 6
[6] . Subulussalam, asSan'ani, Darul Hadis, juz: 2 hal: 48. Syarah muslim, Nawawi, juz:6 hal: 154. alI'tishom, asSyatibi juz: 26
[7] alMughni, Ibnu Qudamah alMaqdisi, juz: 1 hal: 833. alMajmu', Nawawi, juz: 4 hal: 519
[8] . Mawahibul Jalil Syarah Mukhtashor Khalil, juz: 1 hal: 371
[9] . Nailul author, Ibnu taimiyah, juz: 2 hal: 69
[10] . Majmu' , Nawawi, juz: 15 hal: 522. Badaius shanai', alKasani, juz:1 hal: 115
[11] . fatawa hadisiyah, Ibnu Hajar Haitami, juz: 1 hal: 109. fatawa darul ifta' misriyah, juz: 5 hal: 471.
[12] . alJami' liahkamil Qur'an ( tafsir  Qurtubi), Qurtubi, juz:17 hal: 114. tafsir Kayaharas, alKayaharas, juz: 5 hal: 13.
[13] tafsir  Qurtubi, op cit . tafsir Kayaharas, op cit ( marji' sabiq)
[14] . H/R  Muslim (3084) al-Wasaya.  Turmizi (1298) al-Ahkam.  Nasaii  (3591) al-Wasaya.  Abu  Daud (2494) al-Wasaya.  Ahmad di Musnad (8489).


1 comment:

  1. Tapi kok ada pengkususan gitu ya.. pada orang mati.. bacaannya khusus.. padahal Nabi kalau ada yg meninggal nggak gitu. Brati bikin ajaran baru dong. Kan ada dalil yang menyatakan Kullu bid'atin dzolalah, Wakullu dzolalatin finnar?

    ReplyDelete