Thursday, July 31, 2014

KH Noer Alie, Si Belut Putih dari Bekasi


Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?

Petikan puisi ‘Karawang-Bekasi’ karya Chairil Anwar ini menggambarkan kegigihan ulama Betawi kelahiran Bekasi 1914, KH Noer Alie, dalam berjuang mengusir penjajah Belanda pada dekade 1945-1949.

Alie memimpin sejumlah pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan. Dua peperangan terhebat adalah tragedi Sasak Kapuk pada 29 November 1945 dan peristiwa Rawa Gede, Karawang, pada 9 Desember 1947.

Pada pertempuran Sasak Kapuk, Alie memimpin Lasykar Rakyat melawan pasukan Sekutu di Pondok Ungu, Bekasi. Gema takbir yang dia kumandangkan untuk memberi semangat pasukannya berhasil mendesak Sekutu kala itu. Namun, tentara rakyat yang mulai takabur menjadi lengah menyebabkan sekutu balik memukul mundur.

Tentara rakyat terdesak di Sasak Kapuk, Pondok Kapuk, Bekasi dan beberapa pasukan Alie kocar kacir dan sebagian lagi bertahan. Dalam pertempuran ini sekira 30 pasukan gugur. Alie pun memerintahkan pasukannya untuk mundur.


Peristiwa berdarah yang tidak kalah sengit ialah pembantaian Rawa Gede yang memakan korban lebih dari 40 orang. Tragedi ini berawal dari perang urat syaraf antara KH Noer Alie yang memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawa Gede untuk membuat bendera merah putih ukuran kecil terbuat dari kertas. Ribuan bendera tersebut ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan tujuan membangkitkan moral rakyat di tengah-tengah kekuasaan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Akibat aksi Alie ini, Belanda murka dan mengira pemasangan bendera merah-putih diinisiasi oleh TNI. Pasukan Belanda lantas mencari Mayor Lukas Kustaryo, namun tidak ditemukan.

Belanda yang marah kemudian membantai sekira empat ratus orang warga sekitar Rawa Gede yang dikenal dalam laporan De Exceseen Nota. Nota Ekses itu baru dikeluarkan 20 tahun setelah peristiwa Rawagede. Kendati pada Januari 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah berkesimpulan aksi militer di Rawagede disengaja dan tanpa belas kasihan dan diyakini sebagai tindakan kriminal paling kejam, paling brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949.

Pembantaian keji ini baru diakui dunia pada Rabu 14 September 2011 melalui putusan Pengadilan Den Haag yang mengabulkan tuntutan keluarga korban kejahatan perang di Desa Rawagede, Jawa Barat. Kerajaan Belanda diharuskan membayar kerugian bagi sekira 400 keluarga korban yang dibantai dalam peristiwa berdarah tersebut.

Selain berjuang melawan penjajah Belanda, KH Noer Alie juga aktif di dunia politik. Alie dipilih menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Cabang Babelan dan pada 19 September 1945, dia mengerahkan massa ke Lapangan Ikada untuk mengikuti Rapat Raksasa.

Pada 19 April 1950, KH Noer Alie juga sempat menjabat Ketua Masyumi Cabang Jatinegara, nama Kota Bekasi saat itu. Puncak karier politiknya yakni pada tahun 1958, saat KH Noer Alie terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante menggantikan Sjafruddin Prawiranegara yang mengudurkan diri.

Selain politik KH Noer Ali juga aktif di bidang Sosial dan pendidikan. KH Noer Alie menggagas pembentukan Lembaga Pendidikan Islam (LPI ) yang salah satu programnya mendirikan Sekolah Rakyat Islam di Jakarta dan Jawa Barat. Dalam empat tahun, SRI sudah terbentuk di tujuh desa yaitu di Pulo Asem, Wates, Buni Bhakti, Pondok Soga, Penggarutan, Gabus Pabrik dan Kali Abang Bungur dengan proses belajar mengajar yang sangat sederhana, memanfaatkan rumah, langgar sampai bekas kandang kerbau yang sudah tidak terpakai.

Pada 1953 KH Noer Alie membentuk organisasi pendidikan dengan nama Pembangunan Pemeliharaan Pertolongan Islam (P3) yang dijadikan induk bagi SRI, pesantren dan kegiatan sosial.


Berkat jasanya yang begitu besar bagi bangsa, pada 9 November 2006 KH Noer dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Pemerintah Indonesia menganugerahinya Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana. Hingga kini, masyarakat Bekasi-Karawang masih mengenang jasa-jasa ulama berjuluk ‘Si Belut Putih’ dan ‘Singa Karawang-Bekasi’ itu. Bahkan nama KH Noer Alie kini diabadikan untuk menjadi nama salah satu jalan di ruas Kalimalang, Bekasi.

Sumber: Okezone Jakarta

1 comment:

  1. Bekasi adalah kota santri yang pejuang.... tapi itu dulu.... dulu udah lamaaaaaaaaaa sekali ..... entahlah .....

    ReplyDelete