Kami yang kini terbaring antara
Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak
"Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi
mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap
hati?
Petikan
puisi ‘Karawang-Bekasi’ karya Chairil Anwar ini menggambarkan kegigihan ulama
Betawi kelahiran Bekasi 1914, KH Noer Alie, dalam berjuang mengusir penjajah
Belanda pada dekade 1945-1949.
Alie
memimpin sejumlah pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah
diproklamirkan. Dua peperangan terhebat adalah tragedi Sasak Kapuk pada 29
November 1945 dan peristiwa Rawa Gede, Karawang, pada 9 Desember 1947.
Pada
pertempuran Sasak Kapuk, Alie memimpin Lasykar Rakyat melawan pasukan Sekutu di
Pondok Ungu, Bekasi. Gema takbir yang dia kumandangkan untuk memberi semangat
pasukannya berhasil mendesak Sekutu kala itu. Namun, tentara rakyat yang mulai
takabur menjadi lengah menyebabkan sekutu balik memukul mundur.
Tentara
rakyat terdesak di Sasak Kapuk, Pondok Kapuk, Bekasi dan beberapa pasukan Alie
kocar kacir dan sebagian lagi bertahan. Dalam pertempuran ini sekira 30 pasukan
gugur. Alie pun memerintahkan pasukannya untuk mundur.
Peristiwa
berdarah yang tidak kalah sengit ialah pembantaian Rawa Gede yang memakan
korban lebih dari 40 orang. Tragedi ini berawal dari perang urat syaraf antara
KH Noer Alie yang memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung
Karekok, Rawa Gede untuk membuat bendera merah putih ukuran kecil terbuat dari
kertas. Ribuan bendera tersebut ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk
dengan tujuan membangkitkan moral rakyat di tengah-tengah kekuasaan Belanda
yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Akibat
aksi Alie ini, Belanda murka dan mengira pemasangan bendera merah-putih
diinisiasi oleh TNI. Pasukan Belanda lantas mencari Mayor Lukas Kustaryo, namun
tidak ditemukan.
Belanda
yang marah kemudian membantai sekira empat ratus orang warga sekitar Rawa Gede
yang dikenal dalam laporan De Exceseen Nota. Nota Ekses itu baru dikeluarkan 20
tahun setelah peristiwa Rawagede. Kendati pada Januari 1948, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) sudah berkesimpulan aksi militer di Rawagede disengaja dan
tanpa belas kasihan dan diyakini sebagai tindakan kriminal paling kejam, paling
brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945
sampai 1949.
Pembantaian
keji ini baru diakui dunia pada Rabu 14 September 2011 melalui putusan
Pengadilan Den Haag yang mengabulkan tuntutan keluarga korban kejahatan perang
di Desa Rawagede, Jawa Barat. Kerajaan Belanda diharuskan membayar kerugian
bagi sekira 400 keluarga korban yang dibantai dalam peristiwa berdarah
tersebut.
Selain
berjuang melawan penjajah Belanda, KH Noer Alie juga aktif di dunia politik.
Alie dipilih menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah Cabang Babelan dan
pada 19 September 1945, dia mengerahkan massa ke Lapangan Ikada untuk mengikuti
Rapat Raksasa.
Pada
19 April 1950, KH Noer Alie juga sempat menjabat Ketua Masyumi Cabang
Jatinegara, nama Kota Bekasi saat itu. Puncak karier politiknya yakni pada
tahun 1958, saat KH Noer Alie terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante
menggantikan Sjafruddin Prawiranegara yang mengudurkan diri.
Selain
politik KH Noer Ali juga aktif di bidang Sosial dan pendidikan. KH Noer Alie
menggagas pembentukan Lembaga Pendidikan Islam (LPI ) yang salah satu
programnya mendirikan Sekolah Rakyat Islam di Jakarta dan Jawa Barat. Dalam
empat tahun, SRI sudah terbentuk di tujuh desa yaitu di Pulo Asem, Wates, Buni
Bhakti, Pondok Soga, Penggarutan, Gabus Pabrik dan Kali Abang Bungur dengan
proses belajar mengajar yang sangat sederhana, memanfaatkan rumah, langgar
sampai bekas kandang kerbau yang sudah tidak terpakai.
Pada
1953 KH Noer Alie membentuk organisasi pendidikan dengan nama Pembangunan
Pemeliharaan Pertolongan Islam (P3) yang dijadikan induk bagi SRI, pesantren
dan kegiatan sosial.
Berkat
jasanya yang begitu besar bagi bangsa, pada 9 November 2006 KH Noer dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional. Pemerintah Indonesia menganugerahinya Tanda Kehormatan
Bintang Maha Putra Adipradana. Hingga kini, masyarakat Bekasi-Karawang masih
mengenang jasa-jasa ulama berjuluk ‘Si Belut Putih’ dan ‘Singa Karawang-Bekasi’
itu. Bahkan nama KH Noer Alie kini diabadikan untuk menjadi nama salah satu
jalan di ruas Kalimalang, Bekasi.
Sumber: Okezone Jakarta
Bekasi adalah kota santri yang pejuang.... tapi itu dulu.... dulu udah lamaaaaaaaaaa sekali ..... entahlah .....
ReplyDelete