Friday, September 19, 2014

Hembusan Penuh Cinta Dari Gurun Sahara

HEMBUSAN PENUH CINTA
DARI GURUN SAHARA
Oleh : Ahmad Naufal Hasan

            Belakangan ini bapak sering sakit-sakitan, usianya yang lebih dari  setengah abad membuat fisiknya lemah dan mudah terkena penyakit.
            Setahun yang lalu bapak terkena penyakit kuning (liper) walaupun hanya gejala akan tetapi sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit dan Alhamdulillah bapak sehat kembali, tubuhnya yang kurus akibat sakit sudah mulai berisi dan sudah beraktivitas seperti biasanya sebagai petani.
            Layaknya orang yang mau berangkat ke kantor atau ke tempat kerjanya dengan memakai pakaian dinas dan dasi yang tak pernah lepas dari putaran lehernya. Ia pun Setiap pagi memakai pakaian dinasnya pula. Baju dan celana berubah menguning kecoklat-coklatan akibat lumpur yang menempel lalu terjemur di badan, sesekali di cuci tapi  warnanya tetap tak berubah, tudung laksana gunung kawi yang selalu menaungi kepalanya biasa menyangkut di lehernya, begitu juga  tak lupa cangkul selalu menyertai di atas bahunya, dan sebotol air di pegangnya, sengatan terik matahari  sudah menjadi teman akrab yang selalu menyapa di kala  pagi datang hingga petang menjelang.
            Datanglah siang di iringi dengan berkumandangnya adzan dari kejauhan, lalu ucapnya Alhamdulillah sebagai rasa syukur kepada Allah yang memberikan segalanya di dunia ini, ucapnya yang lembut merasuk hingga kedalam rongga jiwa, menyejukkan tubuh yang gersang akibat sengatan terik matahari dari pagi hingga siang adzan berkumandang, sejuk hatinya bagai tersiram air pegunungan.

            Sejenak ia berteduh di balik gubuk bambu dengan atap jerami sebagai penghalang teriknya matahari. Di balik gubuk itu, ia dengan cepat  membersihkan tanah lumpur  yang menempel pada sebagian tubuhnya, harapnya ia tidak ingin mengulur-ulur waktu sholat, karna ia tau balasan di neraka sangatlah berat bagi orang-orang yang mengulur-ngulur sholat, panasnya matahari tidak seberapa di banding panasnya api neraka, api neraka 70 lebih panas di banding api yang ada di dunia.
            Kembalilah ia kerumah dengan tubuh yang lesu, laksana pohon yang layu mengharapkan tetesan air yang membawa semangat baru.
Sesampainya di rumah ia mengganti pakaiannya dengan  pakaian yang biasa di kenakan untuk sholat, di basuhnya wajah dengan air wudhu  seolah-olah mengembalikan semangat yang telah pudar di renggut teriknya hari, setelah sholat ia tak lupa berzikir, perut keroncongan laksana irama gendang yang bertalu-talu memaksa untuk cepat makan, dengan lahap ia memakan makanan yang telah di hidangkan oleh istrinya, hidangan yang ala kadarnya, dan lauk pauk seadanya menghiasi meja makan yang kecil, ditemani istri tercinta dan buah hati sebagai penyejuk mata, terpancar jelas di wajah mengisyaratkan keceriaan bersama.
            Panas di badan akibat terik matahari sudah lama hilang, perut keroncong  tak lagi berdendang, lelah dan letih di sapu riang, pakaian yang di kenakan untuk sholatpun di lepasnya,  berganti dengan pakaian dinasnya yang sudah semakin menguning kecoklatan. Ia ingin kembali ke ladang akan tetapi ketika di depan pintu rumah sengatan matahari langsung menyapanya, rasanya tak kuasa menahan teriknya, lalu ia kembali ke dalam rumah untuk mengambil sebotol air, pergilah ia dengan sebotol air di tangan sebagai pengobat dahaga dikala panas menyerang.
Matahari mulai condong perlahan ke barat, tapi teriknya semakin menyengat, tidak jarang rasa dahaga menyerang sesekali ia meminum air dari botol yang di bawanya tadi, terasa sejuk dari ujung rambut hingga ujung jari kaki. Setelah meminum air, keluar dari pori-pori titikan-titikan air keringat yang membuat tubuhnya basah kuyup. Tak terasa pagi dan siang sudah berlalu, terdengar pula suara adzan ashar berkumandang dari kejauhan, petang menjelang. Ia bersegera untuk bersiap-siap kembali kerumah, tak lupa pula tudung, cangkul dan botol air yang kosong di bawanya kembali kerumah. Lelah dan letih menyelimuti tubuh, ia langsung bersegera wudhu untuk menunaikan sholat ashar, tak banyak yang ia lakukan sambil menunggu waktu maghrib tiba, cuma istirahat dan membersihkan badannya yang penuh keringat, begitulah ia bekerja setiap hari melawan teriknya matahari.

            ***

Saat ini aku duduk di kelas VI Madrasah Ibtidaiyyah, aku anak pertama dari tiga bersaudara, walaupun bapak tak pernah sekolah tinggi dan hanya tamat pendidikan dasar saja tapi dengan keuletannya bisa menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi, ia bercita-cita agar anak-anaknya bisa melanjutkan kenegri seribu menara dan menjadi seorang yang faham tentang ilmu agama, berguna bagi keluarga, masyarakat dan negara.
Satu tahun telah berlalu, Alhamdulillah selesai sudah masa belajarku di tingkat dasar, Bapak menyuruhku untuk melanjutkan ke pesantren, harapnya agar aku lebih mendalami ilmu agama di pesantren nanti, aku sebagai anak tak mampu menolak kehendak orang tuaku. Pagi itu di antarnya aku kepesantren yang telah di daftarkan oleh bapakku. Air mata ibuku berderai mengiringi kepergianku, suasana haru menyelimuti hatiku, tak kuasa aku menahan kesedihan, air mataku tumpah seketika, kudekap erat ibuku, keramahan pelukannya membuat tak ingin jauh darinya. Kewajiban menuntut ilmu suatu amanat dan tugas yang sangat mulia, berangkatlah aku dengan deraian air mata.

      ***
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan-bulanpun silih berganti menjadi tahun. Tak terasa sudah satu tahun di pesantren. Saatnya libur datang, rindu kepada keluarga tak lagi bisa di pendam. Pagi-pagi Bapak datang ke pesantren lalu di ajaknya aku pulang, perjalanan kerumah cukup jauh dan melelahkan, di dalam mobil bus kerap kali mata ini terpejam, tidak jauh lagi aku dan bapak sampai kerumah. Kulihat di kanan kiri jalan sawah hijau  membentang luas laksana permadani  yang melapisi bumi sangat indah dan menentramkan jiwa. Aku yakin yang menciptakan alam ini (Allah) lebih indah dan sangat indah.
Setibanya dirumah hari sudah siang, adzan Dzuhur pun sudah lama berkumandang. Lalu, ku ucapkannya salam ke ibu dan adikku, ku cium tangan ibuku di iringi riak anak sungai yang mengalir di selaput mataku, ku sangat bahagia berkumpul dengan keluarga, rasanya ku ingin kebahagiaan ini selalu ada. Hilanglah kerinduan yang kerap menyesakkan dada  berganti kebahagiaan yang membuat hati tak ingin jauh dari keluarga. Bagiku keluarga adalah segala-galanya, suka dan duka ku lewati bersama.

Waktu berjalan begitu cepat, satu bulan berlibur terasa singkat, saatnya ku harus balik ke pesantren, melanjutkan perjuangan demi masa depan. Aku pamitan kepada ibuku, ku cium tangannya dan ku ucapkan salam kepadanya, setelah sholat dzuhur aku berangkat di antar oleh bapakku, sampai di pesantren sudah ashar. Lalu, bapakku harus cepat pulang karna takut kemalaman di jalan.
Kembali ke pesantren berarti harus tunduk kepada semua aturan yang ada, suka duka menghiasi indahnya hidup di pesantren, jenuh, bosan kerap muncul di sela-sela beraktivitas, ini semua adalah bagian kehidupan yang menuntut untuk bersikap dewasa.

***
Satu tahun, dua tahun, sampai lima tahun waktu berjalan seiring bertambahnya usiaku, masa belajarku di pesantren hanya satu tahun lagi, Alhamdulillah selama ini aku mendapat nilai tinggi di sekolah tapi sesekali nilaiku pun berada di bawah, hidup bagaikan roda selalu berputar kesana kemari.
Sekarang umur bapak sudah lanjut usia, sakit kerap menyapanya di sela-sela aktivitasnya, selama aku di sekolah ia sering sakit-sakitan, berkebun pun terhenti sejenak dan SPP sekolahku pun  menjadi terhambat, liburan kembali datang, senang dan sedih bercampur menjadi satu, kali ini aku pulang tidak di jemput oleh Bapak karna ku tau ia sedang sakit, penyakit yang sudah lama mengendap di tubuhnya kambuh kembali, setibanya di rumah ku ucapkan salam kepada kedua orang tuaku dan sanak keluarga yang menemani di rumahku, ku cium tangan kedua orang tuaku, ku peluk bapak yang sedang berbaring lemas di atas tempat tidur, seketika air mataku pun  tumpah di pembaringannya.
Aku selalu menemani bapak di tempat tidurnya, ku bercerita banyak di sisinya, pesan-pesanpun banyak terucap darinya, sesekali berderai air mataku tak kuasa menahan haru.
Tiga minggu telah berlalu, beberapa hari lagi aku harus kembali ke pesantren, akan tetapi aku tak kuasa pergi karna Bapakku masih terbaring walaupun sudah agak baikkan dari sebelumnya. Tibalah harinya, aku harus berangkat ke pesantren, terasa berat sekali kaki ini melangkah bagai terjerat rantai besar, ‘azam yang kuat dan pesan yang selalu teringat  memberikan semangat untuk melangkah, deraian air mata mengeringi di setiap langkahku. Sampailah aku di pesantren membaur kembali dengan teman-teman, walaupun ragaku jauh dari rumah akan tetapi pikiranku jauh menerawang kerumah. Makan tak enak, tidur tak lelap segalanya menjadi berubah, Bayang-bayang Bapak kerap muncul dalam benakku, dua minggu telah berlalu, ku dengar kabar bapakku masih terbaring sakit dan bertambah parah. Entah berapa dokter di temuinya. Beragam pula konsultasi yang di lakukan, namun kondisi Bapak tak banyak berubah. Mendengar kabar itu, deraian air mata menambah isak tangisku, ku semakin gelisah, air mataku tumpah.
Hari kehari kerapuhan fisiknya semakin membuatku gelisah, bagaimanapun aku harus kembali kerumah. Lalu, ku minta izin unuk kembali kerumah, berangkatlah aku di iringi riak anak sungai yang mengalir di pipiku, mataku lelah memandang keluar dari balik kaca mobil bus yang ku tumpangi, hatiku gelisah rasanya ingin cepat sampai rumah.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk kekamar tempat terbaringnya Bapakku, ku ucapkan salam, ku cium tangannya. Lalu, kusapanya tapi ia tak mampu bicara hanya terdengar sayup-sayup suara, ibuku menangis melihatku. Beberapa hari dirumah, tubuh Bapakku semakin melemah, kurus badannya, ringkih dan renta, itulah yang tampak darinya, kesedihan selalu menyelimuti rumahku, niat balik ke pesantren tak ada, memikirkan keluarga adalah yang utama. Tepat malam jum’at, pekat malam semakin melekat, keheningan menelisik sukma. malam ini sangat berbeda dari biasanya, hening dan sunyi menyelimuti pekatnya malam. Waktu   sudah tengah malam aku tidur di ruang tamu, dan Bapakku di temani ibuku. Lalu, terdengar isak tangis dari balik tirai kamar Bapakku yang membuat aku terbangun, ternyata itu adalah tangisan dari ibuku yang sedang mendengarkan pesan-pesan di balik suara sayup bapakku, aku terperanjat dan langsung mendekati, kudengarkan pula pesan-pesan terakhir darinya, berderai hebat air mataku, adik-adikku dan sanak keluarga pun terbangun dari tidur lelapnya, deraian air mata menyapa, ayat-ayat suci Alquran berkumandang mengringi, akupun membisikkan kalimat tahlil di telinganya. Lalu, hembusan nafasnya menghilang, ajal telah merenggut, malaikat telah menjemput, detak jantungnya pun tak lagi berdenyut, ucapku “innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un” ia pergi dengan tenang, wajahnya berseri-seri, bagaikan bayi yang baru di lahirkan. Ku cium keningnya, air mataku tumpah tak kuasa melihat kepergiaannya, ku dekap erat ibuku dan adikku, isak tangis menyelimutiku. Pagi datang, tepat hari jum’at jenazah bapakku akan di sholatkan bersama jama’ah jum’at di masjid. Lalu, di bawa ketempat persingggahan terakhirnya, aku sekeluarga melihat wajahnya ketika jenazah sudah masuk kedalam liang, itu yang terakhir aku melihatnya, duka lara selalu menyelimuti sekeluarga, pesan-pesan yang ia ucapkan masih terngiang di telinga, salah satu pesannya aku harus melanjutkan sekolah, itu yang selalu membuat hatiku tergugah dan terngiang setiap saat.
Sudah tiga minggu di rumah, wasiat dan pesan Bapakku harus ku laksanakan, ku minta izin ke ibuku untuk kembali ke pesantren. Lalu, ibu mengizinkan, akan tetapi nanti siapa yang akan menemani ibu di rumah, sedangkan adikku masih kecil, di iringi riak anak sungai dari pelupuk mata dan dengan tekad yang sudah bulat dan pesan Bapak, akhirnya aku kembali ke pesantren, masalah uang Alhamdulillah ada bantuan bagi para pelajar yang tidak mempunyai orang tua.
Sampailah aku di masa-masa akhir sekolah, hanya menunggu raport kelulusan saja, setelah itu selesai sudah di Aliyah, dan keluar dari pesantren, aku punya niat dari Aliyah ingin melanjutkan ke luar negri, tapi bantuan hanya sampai di Aliyah saja, aku tak tahu harus bagaimana merealisasikan niatku ini, aku bercerita kepada ibuku, dan ibuku akan mengusahakan agar aku bisa melanjutkan ke kuliyah yang aku inginkan, ibu akan menjual sebagian kebunnya. Akhirnya kebun di jual dan uangnya di tabung untuk biayaku belajar. Tak lama kemudian, aku berangkat, banyak air mataku mengiri kepergianku, riak tangis pun tak mampu aku hindari, aku sudah sampai ke tempat yang Bapakku cita-citakan. Negri seribu menara sudah ku singgahi, piramid dan sungai nile bukan lagi kulihat dalam buku cerita, aku kuliyah di al-Azhar Kairo, di situlah tempatku mendalami ilmu agama.
Surat cinta dari gurun sahara
Untuk Bapak dan Ibu.
            Pak, Bu…!
Ini anakmu, yang sedang menuntut ilmu, jauh dari sisimu. Anak yang selalu sibuk menghalangi untaian do’a terhatur untukmu. Anak yang tak pernah menyenangkanmu, Pak.
Menyusahkanmu di masa kecil, pun sering mengecewakanmu.
Pak, Bu …!
Anakmu ini tak bisa, bahkan tak akan pernah bisa membahagiakanmu. Membalas segala pengorbanan yang telah engkau berikan selama hidupku.
Maafkan anakmu ini, Pak. maafkan kalau lidah ini pernah terucap kata makian hingga membuat goresan luka di hatimu. Maafkan pula jika mata ini pun pernah sinis memandang dan telinga yang tak pernah menghiraukan nasihat darimu.
Pak, Bu…!
Anakmu ini hanya bisa, dan hanya selalu bisa meminta, sama sekali tak pernah memberi, doakan dan mintakan kepada-Nya agar bahagia dunia akhirat.
Pak, Bu…!
Begitu jauh jarak yang terbentang di antara kita. Jarak yang selalu melahirkan kerinduan dalam riak anak sungai di pelupuk mata.
Pak, Bu…!
Air mataku berderai, karena selalu rindu dengan belai kasih sayangmu. Tapi aku tahu, engkau lebih merindukan anak-anakmu.
Aku akan pulang, pasti aku akan pulang, bukan gelar atau uang, atau kemewahan yang akan ku persembahakan, tapi curahan kasih sayang di sisa umurmu, sebagaimana engkau pun mengasihi aku di masa kecilku.
Pak, Bu…!

Tak akan pernah keindahan dunia ini dapat menggantikan keindahan cintamu. Riuh rendah pesona dunia pun tak ada artinya ketika surga terletak di telapak kakimu.

0 komentar:

Post a Comment