KH. Noer Alie Ulama Mujahid.
Singa Karawang Bekasi atau Si Belut Putih itulah julukan yang di berikan kepada KH Noer Alie, sebuah julukan yang memang layak di berikan kepadanya atas keberanian dan jiwa patriotnya semasa revolusi melawan penjajahan belanda dan atas jasa2nya kepada negara itulah pulalah, pemerintah Indonesia melalui presiden sby menetapkan kepres yang menganugrahkannya gelar Pahlawan Nasional Indonesia dan mendapatkan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana. pada hari Kamis tanggal 09 November 2006 dalam rangka peringatan Hari Pahlawan di Istana Negara Jakarta.
Singa Karawang Bekasi atau Si Belut Putih itulah julukan yang di berikan kepada KH Noer Alie, sebuah julukan yang memang layak di berikan kepadanya atas keberanian dan jiwa patriotnya semasa revolusi melawan penjajahan belanda dan atas jasa2nya kepada negara itulah pulalah, pemerintah Indonesia melalui presiden sby menetapkan kepres yang menganugrahkannya gelar Pahlawan Nasional Indonesia dan mendapatkan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana. pada hari Kamis tanggal 09 November 2006 dalam rangka peringatan Hari Pahlawan di Istana Negara Jakarta.
Bukan
orang Bekasi namanya kalau dia tidak kenal KH. Noer Ali“. Itulah
ungkapan yang sering di dengar dari para orang tua dahulu mengenai KH Noer
Alie. Sosok yang sangat terkenal dimata orang Bekasi karena ia menjadi salah
satu ikon kebanggaan masyarakat Betawi (khususnya di Karawang-Bekasi) pada masa
revolusi. Seorang kiai yang sangat peduli dengan pendidikan, cerdas, berani dan
sangat dihormati oleh lingkungan sekitarnya. Kisah kepahlawanan KH. Noer Alie
pun telah menginspirasi seorang pujangga besar Indonesia, yaitu Khairil Anwar
untuk menulis karya puisi Antara
Karawang-Bekasiyang sangat terkenal itu.
Tulisan
ini adalah ringkasan dari buku KH.
NOER ALIE KEMANDIRIAN ULAMA PEJUANG dan beberapa blog di internet
dengan sedikit modifikasi dari penulis. Berikut ini biografi singkat KH. Noer
Alie :
Masa
Kecil dan Riwayat Pendidikan KH. Noer Ali
KH. Noer
Alie lahir sebagai anak keempat dari sepuluh bersaudara pasangan H. Anwar bin
H. Layu dan Hj. Maimunah binti Tarbin pada tahun 1914 di Desa Ujung Malang,
Onderdistrik Babelan, Distrik Bekasi, Regentschap ( Kabupaten ) Meester
Cornelis, Residensi Batavia, sebelum diganti menjadi Desa Ujung Harapan
Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, atas usulan Menteri
Luar Negeri Adam Malik pada tahun 1970-an ketika berkunjung ke Pesantren
Attaqwa.
Tidak ada
yang tahu persis tanggal dan bulan kelahiran KH. Noer Alie, kecuali tahunnya,
1914. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan penduduk kampung yang tidak terbiasa
mencatat peristiwa dalam bentuk tulisan. Kalaupun menggunakan daya ingat, semua
tergantung dari kemampuan seseorang merangkaikan satu peristiwa dengan
peristiwa lain sehingga kelahiran dapat diduga. Meskipun begitu, keabsahannya
amat diragukan.
Pada awal
usia 3 tahun KH. Noer Alie sudah bisa berbicara dengan bahasa ibu, mengeja
huruf, hitungan dan hafal kata yang baru, baik dari bahasa Arab maupun Melayu.
Bersamaan dengan masa disapih, KH. Noer Alie mulai bergaul dengan teman-teman
sebayanya di luar rumah.
Salah satu
kelebihan KH. Noer Alie sudah nampak sejak kecil yang kelak akan mempengaruhi
kepemimpinannya, yaitu ketika main ia tidak mau tampil di belakang, tidak mau
diiringi, ia selalu ingin tampil di muka sebagai orang yang pertama meskipun
jumlahnya temannya belasan hingga puluhan. Ketika memainkan permainan anak-anak
pun ia tidak mau kalah. Di hampir semua permainan ia selalu tampil sebagai
pemenang, seperti cor, bengkat, peletokan, layang-layang, teprak, dan
perang-perangan.
Semasa kecil
KH Noer Alie sudah memperlihatkan semangat belajar yang sangat baik, di usia
delapan tahun KH. Noer Alie dikhitan dan belajar kepada guru Maksum di kampung
Bulak. Pelajaran yang diberikan lebih dititikberatkan pada pengenalan dan
mengeja huruf Arab, menghafal dan membaca Juz-amma, ditambah menghafal
dasar-dasar rukun Islam dan rukun Iman, tarikh para Nabi, akhlak dan Fiqih.
Karena sejak kecil telah terbiasa belajar dengan orangtua dan kakak-kakaknya,
KH Noer Alie pun tidak merasa kesulitan mencerna pelajaran-pelajaran yang
diberikan oleh gurunya.
Setelah
tiga tahun belajar pada guru Maksum. Pada tahun 1925 KH. Noer Alie belajar pada
guru Mughni di Ujung Malang. Di sini ia mendapat pelajaran al-Fiah (tata bahasa
Arab), al-Qur’ân, Tajwid, Nahwu, Tauhid, dan Fiqih. Seiring dengan perkembangan
usia dan pelajaran yang telah didapat, keinginantahuannya terhadap dunia luar
pun semakin kuat. Mula-mula ia dan kawan-kawannya bermain ke kampung-kampung di
sekitarnya. Sampai pada keingintahuannya untuk melihat rumah gedung tuan tanah,
tingkah laku tuan tanah dan aparatnya.
Bersamaan
dengan itu ia pun sudah bisa membandingkan antara konsep normatif yang
diajarkan gurunya dengan kondisi realita penduduk. Kalau gurunya mengajarkan
untuk tidak melakukan kegiatan maksiat, justru pada kenyataannya KH. Noer Alie
dihadapkan pada kondisi realita tersebut. KH. Noer Alie menganggap ini sebagai
akibat dari kurangnya pendidikan agama bagi masing-masing individu masyarakat.
Semangat
cinta tanah air bernuansa keagamaan merasuk dalam dirinya. Kepada adiknya Hj.
Marhamah, ia mengutarakan cita-citanya untuk menjadi pemimpin agama dan
membangun sebuah perkampungan surga. Dimana penduduknya beragama Islam dan
menjalankan syariat Islam.
KH. Noer
Alie juga giat membantu ayah dan ibunya di rumah. Kebiasaan KH. Noer Alie yang
sejak kecil sudah nampak adalah bila kerja tidak mau melakukan pekerjaan yang
sedikit dan tanggung-tanggung. Ia hanya mau bekerja kalau pekerjaan itu
menyeluruh, dari awal sampai akhir, meskipun sarat dengan beban berat.
Di
pengajian guru Mughni, KH. Noer Alie dianggap sebagai murid yang pandai,
cerdas, dan tekun. Semua mata pelajaran dikuasai KH. Noer Alie dengan baik.
Sehingga wajar saja kalau guru Mughni amat sayang kepadanya. Bahkan khusus
untuk pelajaran al-Fiah (pengetahuan tentang kaidah tata bahasa Arab), KH. Noer
Alie mampu menghafal seribu bait lebih awal. Disaat yang sama, yaitu ketika
guru Mughni berkeinginan untuk menjadikan KH. Noer Alie sebagai badalnya, KH.
Noer Alie pun memberitahu kepada orangtua tentang keinginannya mondok ke guru
Marzuki. Mengingat bakat, kesungguhan dan tekad yang besar, akhirnya dengan
berat hati guru Mughni mengizinkan KH. Noer Alie dapat melanjutkan pendidikan
pada guru Marzuki.
Pada tahun
1930-an KH. Noer Alie meneruskan pendidikannya dan mondok pada guru Marzuki di
kampung Cipinang Muara, Klender. Disini KH. Noer Alie menempuh pendidikan
tahap lanjutan setingkat Aliyah dengan mata pelajaran sebagaimana yang
diberikan pada guru Mughni, tetapi materinya dikembangkan dengan aspek
pemahaman yang lebih ditekankan, seperti pelajaran Tauhid, Tajwid, Nahwu,
Sharaf dan Fiqih.
Jika
memiliki waktu senggang terutama saat libur hari jum’at, seminggu sekali guru
Marzuki melakukan kegiatan berburu bajing. Bagi guru Marzuki, bajing sangat
merugikannya dan petani kelapa umumnya, karena bajing mempunyai kegemaran
memakan kelapa yang masih berada di pohon. Dan dari guru Marzuki ia belajar
cara menggunakan senjata.
Pada tahun
1933, karena dinilai cerdas dan mampu mengikuti pelajaran dengan baik, KH. Noer
Alie diangkat menjadi badal, yang fungsinya menggantikan sang guru apabila ia
sedang udzur (halangan).
Di pondok
guru Marzuki, KH. Noer Alie mempunyai banyak teman yang kelak akan menjadi
sahabatnya dan ulama terkenal di bilangan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan
Bekasi, seperti KH. Abdullah Syafi’ie, KH. Abdurrachman Shadri, KH. Abu Bakar,
KH. Mukhtar Thabrani, KH. Abdul Bakir Marzuki, KH. Hasbullah, KH. Zayadi dll.
Sebagai
murid yang mempunyai keinginan besar dalam menempuh pendidikan, KH. Noer Alie
mempunyai keinginan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Dan dari
cerita guru Marzuki, KH. Noer Alie mendengar bahwa pendidikan tingkat lanjut
dan agar menjadi ulama yang baik adalah di Makkah. Awalnya guru Marzuki dan H.
Anwar pun keberatan, karena melihat ekonomi yang pas-pasan. Guru Marzuki hanya
dapat menyarankan agar KH. Noer Alie melanjutkan belajarnya ke guru Abdul
Madjid di Pekojan. Tapi KH. Noer Alie menilai, ia tidak akan berkembang jika
masih berada di lingkungan Batavia. Mendengar rengekan anak kesayangannya yang
berbakat itu, H. Anwar tidak dapat menahan haru. Sebelum berangkat KH. Noer
Alie dan KH. Hasbullah menemui guru Marzuki untuk meminta restu. Di akhir
pertemuan guru Marzuki berpesan pada kedua murid kesayangannya itu, “meskipun
di Makkah belajar dengan banyak Syeikh, tapi kalian tidak boleh lupa untuk
tetap belajar pada Syeikh Ali al-Maliki”.
Tahun 1934
KH. Noer Alie ditemani sahabatnya KH. Hasbullah berangkat menuju Makkah dengan
uang pinjaman dari tuan tanah Wat Siong. Sesampainya di pelabuhan Jeddah, KH.
Noer Alie disambut oleh Syeikh Ali Betawi yang bertugas menyambut jamaah haji
atau para pelajar yang bermukim di Makkah. Selanjutnya KH. Noer Alie
melanjutkan perjalanan menuju Makkah dengan kendaraan Onta selama dua hari satu
malam.
Baru
beberapa minggu di Makkah, KH Noer Alie mendapat kabar dari jamaah haji yang
baru datang, bahwa guru yang sangat dicintai dan dihormatinya, guru Marzuki,
meninggal dunia. Untuk sementara waktu, KH. Noer Alie, KH. Hasbullah dan
orang-orang yang kenal dengan guru Marzuki berkabung dan melakukan shalat ghaib.
Sesuai
dengan pesan gurunya, KH. Noer Alie langsung menghubungi Syeikh Ali al-Maliki.
Adalah wajar jika guru Marzuki meminta KH. Noer Alie untuk belajar kepada
Syeikh Ali al-Maliki karena guru Marzuki adalah murid kesayangan Syeikh Ali
al-Maliki ketika mukim di Makkah sejak tahun 1900-1910.
Saat itu
Syeikh Ali al-Maliki berusia 75 tahun. Syeikh Ali al-Maliki adalah Syeikh
yang mengajarkan berbagai macam cabang ilmu agama Islam, tapi ajarannya lebih
dititikberatkan pada Hadits.
Kedekatan
KH. Noer Alie dengan Syeikh Ali al-Maliki terwujud pula dalam kegiatan
sehari-hari. Hampir setiap hari, apabila menuju dan dari Masjidil Haram KH.
Noer Alie memapah Syeikh yang sudah renta itu, yang membutuhkan waktu berjalan
sekitar 15 menit.
Selain
dengan Syeikh Ali al-Maliki, KH. Noer Alie pun menggali ilmu agama dari syeikh
lain, terutama Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Ahmad Fatoni, Syeikh Ibnul Arabi,
Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi, Syeikh Achyadi, Syeikh Abdul Zalil dan Syeikh
Umar at-Turki.
Kepada
Syeikh Umar Hamdan yang berusia sekitar 70 tahun, KH. Noer Alie belajar
Kutubussittah. Syeikh Ahmad Fatoni adalah Syeikh yang berasal dari Patani (Muangthai),
berumur sekitar 40 tahun, yang memberikan pelajaran Fiqih dengan kitab Iqna
sebagai acuannya. Melalui Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi yang berusia 45 tahun,
KH. Noer Alie belajar ilmu Nahwu, Qawafi (Sastra), dan Badi’ (Mengarang).
Selain itu Syeikh Quthbi pun mengajarkan ilmu Tauhid dan Mantiq (ilmu logika
yang mengandung Falsafah Yunani) dengan kitab Asmuni sebagai acuannya.
Sedangkan dari Syeikh Abdul Zalil diperoleh ilmu politik, Syeikh Umar at-Turki
dan Syeikh Ibnul Arabi, diperoleh ilmu Hadits dan Ulumul Qur’an.
Berada
jauh dengan tanah air tidak membuat KH. Noer Alie lupa dengan bangsanya.
Melalui wesel dari orangtua dan surat kabar yang terbit di Saudi Arabia dan
Hindia Belanda, KH. Noer Alie mengetahui situasi dan kondisi dunia dan tanah
airnya. Adanya sarana organisasi seperti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia
(PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo), dan Perhimpunan Pelajar
Indonesia-Malaya (Perindom), telah menggerakkan hati KH. Noer Alie untuk turut
andil didalamnya. Pada beberapa kesempatan ia sempat berdialog dengan beberapa
pelajar asal jepang, diantaranya adalah Muhammad Abdul Muniam Inada.
Betapapun
pentingnya organisasi, KH. Noer Alie menyadari bahwa menuntut harus ilmu itu
lebih diutamakan. Selain itu faktor yang membuat KH. Noer Alie tidak memasuki
organisasi yang lebih besar adalah karena masih banyak teman-temannya yang
kesulitan keuangan, dan lemahnya kemampuan intelektual dan pengalaman
organisasi dari individu masing-masing teman-temannya. KH. Noer Alie pun sadar
bahwa kekuatan bisa dibina dari yang kecil, dari yang bawah. Sebagai
realisasinya, KH. Noer Alie dan beberapa temannya seperti KH. Hasan Basri
membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi (PPB), dengan KH. Noer Alie
sebagai ketuanya.
Ketika
suasana mendekati perang dunia II ( akhir 1939 ), KH. Noer Alie yang sudah
memiliki cukup ilmu memutuskan untuk kembali ke tanah air. Syeikh Ali al-Maliki
yang melihat potensi keulamaan KH. Noer Ali, berpesan diakhir pertemuan:
“Kalau kamu mau pulang, silahkan pulang. Tapi Ingat, jika bekerja
jangan jadi penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya
akan ridha dunia-akhirat”.
Mendirikan
Pesantren dan Berjuang Mempertahankan Kemerdekaan
Kepulangan
KH. Noer Alie ke kampung halamannya Ujung Malang pada awal Januari tahun 1940,
telah menjadi duri dalam daging bagi tuan tanah dan pemerintah Hindia Belanda.
Setelah mendirikan pesantren, maka di tahun yang sama tepatnya pada bulan
April, ia menikah dengan Hj. Siti Rahmah binti KH. Mughni.
Salah satu
karya KH Noer Alie yang dapat kita rasakan manfaatnya sampai sekarang adalah
pembangunan dan pembukaan akses jalan secara besar–besaran antara kampung Ujung
Malang, Teluk Pucung, dan Pondok Ungu. Dalam setiap jalan yang dibangun beliau
tidak pernah mengeluarkan biaya untuk pembebasan tanah warga, tetapi apabila
itu merupakan instruksi dari Engkong Kiai, semua warga dengan sukarela dan
ikhlas akan mewakafkan, dan beliau terjun langsung memimpin gotong-royong
pengerjaannya pada pertengahan tahun 1941.
Sebagai
salah satu pemimpin agama yang namanya sudah masuk dalam daftar Shimubu (Kantor
Urusan Agama), pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), KH. Noer Alie
menyikapinya dengan sangat hati–hati.
Pada
pertengahan April 1942 KH. Noer Alie memenuhi undangan tentara Jepang menghadap
pimpinan Shimubu di kantor Shimubu, dekat masjid Matraman, Jatinegara. Ternyata
disana ada Muhammad Abdul Muniam Inada, pelajar Jepang yang menjadi temannya di
Makkah menjadi ketua Shimubu.
Secara
formal, atas nama pemerintahan pendudukan, Muniam meminta kepada KH. Noer Alie
agar bersedia membantu Jepang dalam bentuk partisipasi langsung dalam aktifitas
yang diprogramkan Shimubu. Menyadari posisinya dalam kondisi serba salah,
dengan kemahirannya berdiplomasi, KH. Noer Alie secara halus menolak ajakan
Muniam dengan alasan “Saya sedang memimpin pesantren yang baru didirikan. Kalau
saya terjun bersama ulama lain, bagaimana nasib santri saya, mereka akan
tercerai berai tak terurus”. Dengan alasan yang masuk akal tersebut Muniam mengijinkan
KH. Noer Alie untuk tetap mengurus pesantren sambil tetap berdoa demi
kemakmuran Asia Raya.
Untuk
mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu bangsa Indonesia harus bertempur secara
fisik, KH. Noer Alie menyalurkan santrinya ke dalam Heiho (pembantu prajurit),
Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung, dan menyuruh salah seorang
santrinya untuk mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air (PETA).
Ketika
Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah
(KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat
Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, KH. Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir.
Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Laskar Rakyat Bekasi,
selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Gelar kiai haji
sendiri beliau dapatkan dari bung Tomo yang dalam pidatonya melalui pemancar
Radio Surabaya atau Radio Pemberontaknya berkali-kali menyebut nama KH. Noer
Alie, akhirnya gelar guru pun tergeser dan berganti dengan makna yang sama,
Kiai Haji.
Ketika
terjadi Agresi Militer Juli 1947 KH. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip
Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat
dengan tidak menggunakan nama TNI. KH. Noer Alie pun kembali ke Jawa Barat
dengan berjalan kaki dan mendirikan sekaligus menjadi Komandan Markas Pusat
Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang.
Untuk
menunjukkan bahwa pertahanan Indonesia masih eksis, dibeberapa tempat MPHS
melakukan perang urat syaraf (psy-wars).
KH Noer Alie memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok,
Rawa Gede dan Karawang untuk membuat bendera merah-putih ukuran kecil yang
terbuat dari kertas.
Ribuan
bendera tersebut lalu ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan
tujuan membangkitkan moral rakyat bahwa ditengah-tengah kekuasaan Belanda masih
ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan.
Aksi
herois tersebut membuat Belanda terperangah dan mengira pemasangan bendera
merah-putih tersebut dilakukan oleh TNI, Belanda langsung mencari Mayor Lukas
Kustaryo, karena tidak ditemukan Belanda marah dan membantai sekitar empat
ratus orang warga sekitar Rawa Gede.
Pembantaian
yang terkenal dalam laporan De
Exceseen Nota Belanda itu
disatu sisi mengakibatkan terbunuhnya rakyat, namun disisi lain para para
petinggi Belanda dan Indonesia tersadar bahwa disekitar Karawang, Cikampek,
Bekasi dan Jakarta masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan citra Belanda kiat
terpuruk karena telah melakukan pembunuhan keji terhadap penduduk yang tidak
bedosa.
Pada
tanggal 29 November 1945 terjadi pertempuran sengit antara pasukan KH Noer Alie
dengan Sekutu di Pondok Ungu. Pasukan yang sebelumnya telah telah diberikan
motifasi juang seperti puasa, doa hizbun
nasr, ratib al-haddad, wirid, shalat tasbih, shalat hajat, dan
shalat witir, lupa dengan pesan KH. Noer Alie agar tidak sombong dan angkuh.
Melihat gelagat yang tidak baik, KH. Noer Alie menginstruksikan seluruh
pasukannya untuk mundur. Sebagian yang masih bertahan akhirnya menjadi korban
di pertempuran Sasak Kapuk.
Kecintaan
terhadap bidang pendidikan telah membuat KH. Noer Alie berinisiatif untuk
membentuk Lembaga Pendidikan Islam (LPI) bersama KH. Rojiun, yang salah satu
programnya adalah mendirikan Sekolah Rakyat Islam di Jakarta dan Jawa Barat. Di
Ujung Malang, KH Noer Alie kembali mengaktifkan pesantrennya dengan SRI sebagai
lembaga pendidikan pertama.
Pada bulan
Juli 1949 KH. Noer Alie diminta oleh Wakil Residen Jakarta Muhammad Moe’min
untuk menjadi Bupati Jatinegara. Teringat pesan gurunya Syeikh Ali al-Maliki
agar tidak menjadi pegawai pemerintah, maka KH. Noer Alie pun menolak dengan
halus tawaran tersebut.
Membangun
Politik Membentengi Ummat
Paska
perang kemerdekaan perjuangan KH. Noer Alie terus berlanjut dalam bidang
politik, pendidikan, dan sosial. Maka pada tanggal 19 April 1950 KH. Noer Alie
ditunjuk sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara.
Peran
Politik KH Noer Alie cukup besar dalam perjuangan pergerakan Republik Indonesia
terutama untuk wilayah Bekasi. KH. Noer Alie juga tercatat sebagai salah
seorang yang membidani lahirnya kabupaten bekasi yang sebelumnya bernama
kabupaten Jatinegara.
Setelah
LPI tidak aktif, maka pada tahun 1953 KH. Noer Alie membentuk organisasi sosial
yang diberi nama Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (P3) yang
kedepannya akan berganti nama menjadi Yayasan Attaqwa. Yayasan P3 adalah induk
dari pendidikan SRI, pesantren, dan kebutuhan ummat Islam lainnya. Kemudian
pada tahun 1954 KH. Noer Alie menginstruksikan kepada KH. Abdul Rahman untuk
membangun Pesantren Bahagia yang murid pertamanya adalah lulusan SRI Ujung
Malang yang berjumlah 54 orang. Setelah dinilai mandiri oleh KH. Noer Alie,
maka pada tanggal 6 agustus 1956 Yayasan P3 telah mendapat pengakuan secara
hukum melalui notaris Eliza Pondang di Jakarta.
Pada
pemilu 1955, Masyumi Bekasi memperoleh suara terbanyak. Kemenangan ini tidak
terlepas dari kemahiran politik dan kharisma KH. Noer Alie. Atas dasar itu ia
ditunjuk Masyumi Pusat sebagai salah satu anggota Dewan Konstituante pada bulan
September 1956.
Saat aktif
di pusat. Ia pun hadir dalam Muktamar Alim Ulama Seluruh Indonesia di Palembang
pada 8-11 Sepetember 1957. Dan dihadiri oleh lebih dari seribu ulama dari Aceh
hingga Papua. Disini KH. Noer Alie diangkat sebagai anggota Seksi Hukum Majelis
Permusyawaratan Ulama Indonesia.
Setelah
redupnya kejayaan DPP Masyumi dan diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PPRI) yang didirikan untuk menandingi Pemerintahan Pusat.
Maka untuk melindungi umat agar tidak terombang-ambing oleh kekuatan luar yang
tidak baik, KH. Noer Alie pun bergabung dengan Badan Kerjasama Ulama-Militer
(BKS-UM) dan diangkat sebagai anggota Majelis Ulama di Resimen Infanteri 7/III
Purwakarta.
Mewujudkan
Perkampungan Surga
Setelah
pengunduran dirinya dari pentas politik praktis, kembalinya KH. Noer Alie di
tengah-tengah umat dimaknai oleh murid dan para pecintanya sebagai hikmah dan
rahmat. Bagaimana tidak, kalau sebelumnya mereka jarang bertemu KH. Noer Alie,
sejak saat itu dapat bertemu setiap hari. Berbagai persoalan, terutama yang
menyangkut masalah agama dan politik yang sulit dimengerti umat dapat terjawab
memuaskan. Kehadiran KH. Noer Alie dirasakan sebagai pembawa kesejukan dan
pelindung umat.
Dipindahkannya
Pesantren Bahagia dari kampung Dua Ratus ke Ujung Malang memudahkan KH. Noer
Alie dan para guru dalam proses belajar-mengajar. selanjutnya tahun 1962 KH.
Noer Alie mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Persiapan Madrasah
Menengah Attaqwa (SPMMA). Sedangkan untuk pendidikan putri, pada tahun 1964 KH.
Noer Alie mendirikan Madrasah al-Baqiyatus-Shalihat.
Tahun 1963
ia nyaris ditangkap, ketika banyaknya tamu dari luar Bekasi yang berkunjung ke
kediaman KH. Noer Alie. Kondisi ini dimanipulasi oleh PKI yang membuat isu
bahwa tamu yang berkunjung itu adalah anggota DI/TII. Mendengar pengaduan
tersebut aparat keamanan segera mengepung Pesantren Attaqwa. KH. Noer Alie pun
menyangkal tuduhan itu, dan meminta tentara agar menggeledah. “Sekarang kita
geledah kampung ini. Kalau terdapat anggota DI, tembak saya. Tapi kalau nggak
dapat, ente yang ana tembak”. Medengar keseriusan dan kebenaran argumentasi KH.
Noer Ale, akhirnya pasukan ditarik mundur.
Ketika
terjadi peristiwa G30S/PKI meletus, para santri KH. Noer Alie yang tergabung
dalam Cabang PII ikut membantu pemberantasan PKI bersama dengan TNI dan
generasi muda lainnya. Saat itu juga KH. Noer Alie membagikan fotocopy Hizb Shagir kepada
masyarakat Ujung Harapan dan sekitarnya yang harus diamalkan ketika bahaya
terjadi.
Melihat
kemunduran pesantren-pesantren yang disebabkan karena intervensi pemikiran dan
modernisasi sekuler, ataupun karena faktor kiayinya yang banyak meninggalkan
pondok pesantren. Maka melalui musyawarah antara para kiai dan ulama pemimpin
pondok pesantren di Jawa Barat, yang diadakan di Cianjur 4-6 Maret 1972 (19-21
Muharram 1392 H) sepakat membentuk Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP)
Jawa Barat, dengan KH. Noer Alie sebagai Ketua Umum Majelis Pimpinan BKSPP
didampingi KH. Sholeh Iskandar sebagai Ketua Badan Pelaksana BKSPP, KH.
Khair Effendi, dan KH. Tubagus Hasan Basri.
Pada tahun
1982-1983 ramai dibicarakan masalah pelarangan jilbab bagi siswi Muslim di SLTP
dan SLTA. KH. Noer Alie bersama BKSPP membuat Fatwa Ulama Pondok Pesantren
tentang busana Muslimah. KH. Noer Alie juga menentang RUU Perkawinan 1973 yang
menyimpang dari ajaran Islam. Pada puncaknya ia kerahkan 1000 orang ulama di
Pesantren Asyafi’iyyah Jatiwaringin untuk berbaiat tetap memperjuangkan RUU
Perkawinan yang sesuai dengan ajaran Islam. Terkenal pula kegiatannya menentang
judi-judi resmi seperti Porkas dan SDSB.
Sebagai
upaya menghadapi tantangan zaman, sudah waktuknya tampuk kepemimpinan
dilimpahkan kepada para kader yang sudah ditempanya sejak lama. Bersamaan
dengan itu nama Yayasan Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (P3)
juga ikut diganti menjadi Yayasan Attaqwa. Maka KH. Noer Alie yang bertindak
sebagai Pendiri dan Pelindung, memilih putra tertuanya, KH. M. Amin Noer, MA,
sebagai Ketua Yayasan Attaqwa.
Bersama H.
Suko Martono, pejabat Pemerintah Daerah Bekasi, dan tokoh Islam di Bekasi, KH.
Noer Alie turut serta membentuk Yayasan Nurul Islam, yang salah satu programnya
adalah membangun gedung Islamic
Centre Bekasi, yang ide pembangunannya berasal dari KH. Noer
Alie.
Dari
catatan lain ditemukan bahwa pada tahun 1984 KH. Noer Alie kedatangan tamu
pakar sejarah dari Belanda yang ditemani oleh seorang penterjemah dari wartawan
koran Pelita.
Dari
pembicaraan Pakar sejarah dari Belanda tersebut terkuak bahwa KH. Noer Alie,
yang oleh penjajah Belanda lebih
dikenal
sebagai Kolonel Noer Alie. Pakar sejarah dari Belanda itu kagum akan sosok KH.
Noer Alie dan berkata:
“Ternyata
seorang Kolonel Noer Alie bukan tentara yang gagah perkasa. Penampilan anda
begitu bersahaja. Bahkan sangat sederhana. Malah pakai kain dan kopiah putih.
Saya takjub dengan jati diri Anda“.
Tatkala
benih “perkampungan surga” mulai dirintis, dan tatkala cahaya Islam mulai
menunjukkan tanda-tanda kecerahannya, sejak awal Mei 1991 KH. Noer Alie jatuh
sakit. Sembilan bulan kemudian, tepatnya pada 29 Januari 1992, KH. Noer Alie
wafat, dipanggil Sang Khaliq di rumahnya, di tengah-tengah kompleks Pondok
Pesantren Attaqwa Putri yang dirintisnya sejak muda.
Pejuang
Sepanjang Hayat
Mengenang
KH Noer Alie
adalah
mengenang
pejuang
sepanjang hayat,
dibidang
manapun
diperlukan
bangsa dan umat.
Nama
beliau mesti tercatat
di “tugu
syuhada” Indonesia
sebagai
ulama teladan
yang
selalu bersama rakyat.
Jakarta,
1991
Jenderal
TNI (Purn) Abdul Haris Nasution
Sumber Tulisan:
Sumber: voa-islam.com
Setelah pengunduran dirinya dari pentas politik praktis, kembalinya KH. Noer Alie di tengah-tengah umat dimaknai oleh murid dan para pecintanya sebagai hikmah dan rahmat. Bagaimana tidak, kalau sebelumnya mereka jarang bertemu KH. Noer Alie, sejak saat itu dapat bertemu setiap hari. Berbagai persoalan, terutama yang menyangkut masalah agama dan politik yang sulit dimengerti umat dapat terjawab memuaskan. Kehadiran KH. Noer Alie dirasakan sebagai pembawa kesejukan dan pelindung umat.
Dipindahkannya Pesantren Bahagia dari kampung Dua Ratus ke Ujung Malang memudahkan KH. Noer Alie dan para guru dalam proses belajar-mengajar. selanjutnya tahun 1962 KH. Noer Alie mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Persiapan Madrasah Menengah Attaqwa (SPMMA). Sedangkan untuk pendidikan putri, pada tahun 1964 KH. Noer Alie mendirikan Madrasah al-Baqiyatus-Shalihat.
Tahun 1963 ia nyaris ditangkap, ketika banyaknya tamu dari luar Bekasi yang berkunjung ke kediaman KH. Noer Alie. Kondisi ini dimanipulasi oleh PKI yang membuat isu bahwa tamu yang berkunjung itu adalah anggota DI/TII. Mendengar pengaduan tersebut aparat keamanan segera mengepung Pesantren Attaqwa. KH. Noer Alie pun menyangkal tuduhan itu, dan meminta tentara agar menggeledah. “Sekarang kita geledah kampung ini. Kalau terdapat anggota DI, tembak saya. Tapi kalau nggak dapat, ente yang ana tembak”. Medengar keseriusan dan kebenaran argumentasi KH. Noer Ale, akhirnya pasukan ditarik mundur.
Ketika terjadi peristiwa G30S/PKI meletus, para santri KH. Noer Alie yang tergabung dalam Cabang PII ikut membantu pemberantasan PKI bersama dengan TNI dan generasi muda lainnya. Saat itu juga KH. Noer Alie membagikan fotocopy Hizb Shagir kepada masyarakat Ujung Harapan dan sekitarnya yang harus diamalkan ketika bahaya terjadi.
Melihat kemunduran pesantren-pesantren yang disebabkan karena intervensi pemikiran dan modernisasi sekuler, ataupun karena faktor kiayinya yang banyak meninggalkan pondok pesantren. Maka melalui musyawarah antara para kiai dan ulama pemimpin pondok pesantren di Jawa Barat, yang diadakan di Cianjur 4-6 Maret 1972 (19-21 Muharram 1392 H) sepakat membentuk Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat, dengan KH. Noer Alie sebagai Ketua Umum Majelis Pimpinan BKSPP didampingi KH. Sholeh Iskandar sebagai Ketua Badan Pelaksana BKSPP, KH. Khair Effendi, dan KH. Tubagus Hasan Basri.
Pada tahun 1982-1983 ramai dibicarakan masalah pelarangan jilbab bagi siswi Muslim di SLTP dan SLTA. KH. Noer Alie bersama BKSPP membuat Fatwa Ulama Pondok Pesantren tentang busana Muslimah. KH. Noer Alie juga menentang RUU Perkawinan 1973 yang menyimpang dari ajaran Islam. Pada puncaknya ia kerahkan 1000 orang ulama di Pesantren Asyafi’iyyah Jatiwaringin untuk berbaiat tetap memperjuangkan RUU Perkawinan yang sesuai dengan ajaran Islam. Terkenal pula kegiatannya menentang judi-judi resmi seperti Porkas dan SDSB.
Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman, sudah waktuknya tampuk kepemimpinan dilimpahkan kepada para kader yang sudah ditempanya sejak lama. Bersamaan dengan itu nama Yayasan Pembangunan Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (P3) juga ikut diganti menjadi Yayasan Attaqwa. Maka KH. Noer Alie yang bertindak sebagai Pendiri dan Pelindung, memilih putra tertuanya, KH. M. Amin Noer, MA, sebagai Ketua Yayasan Attaqwa.
Bersama H. Suko Martono, pejabat Pemerintah Daerah Bekasi, dan tokoh Islam di Bekasi, KH. Noer Alie turut serta membentuk Yayasan Nurul Islam, yang salah satu programnya adalah membangun gedung Islamic Centre Bekasi, yang ide pembangunannya berasal dari KH. Noer Alie.
Dari catatan lain ditemukan bahwa pada tahun 1984 KH. Noer Alie kedatangan tamu pakar sejarah dari Belanda yang ditemani oleh seorang penterjemah dari wartawan koran Pelita.
Dari pembicaraan Pakar sejarah dari Belanda tersebut terkuak bahwa KH. Noer Alie, yang oleh penjajah Belanda lebih
dikenal sebagai Kolonel Noer Alie. Pakar sejarah dari Belanda itu kagum akan sosok KH. Noer Alie dan berkata:
“Ternyata seorang Kolonel Noer Alie bukan tentara yang gagah perkasa. Penampilan anda begitu bersahaja. Bahkan sangat sederhana. Malah pakai kain dan kopiah putih. Saya takjub dengan jati diri Anda“.
Tatkala benih “perkampungan surga” mulai dirintis, dan tatkala cahaya Islam mulai menunjukkan tanda-tanda kecerahannya, sejak awal Mei 1991 KH. Noer Alie jatuh sakit. Sembilan bulan kemudian, tepatnya pada 29 Januari 1992, KH. Noer Alie wafat, dipanggil Sang Khaliq di rumahnya, di tengah-tengah kompleks Pondok Pesantren Attaqwa Putri yang dirintisnya sejak muda.
Pejuang Sepanjang Hayat
Mengenang KH Noer Alie
adalah mengenang
pejuang sepanjang hayat,
dibidang manapun
diperlukan bangsa dan umat.
Nama beliau mesti tercatat
di “tugu syuhada” Indonesia
sebagai ulama teladan
yang selalu bersama rakyat.
Jakarta, 1991
Jenderal TNI (Purn) Abdul Haris Nasution
Sumber Tulisan:
Anwar, Ali. 2006. K.H. NOER ALIE KEMANDIRIAN ULAMA PEJUANG, Bekasi : Yayasan Attaqwa.
Sumber: voa-islam.com