Seputar Hadis Daif dan Perannya dalam Fadhailul-A'mal[1]
Oleh : Fitrian Nabil[2]
I. Prolog
Pada akhir hayatnya, Rasulullah Saw. mewasiatkan kepada
kita semua umatnya untuk berpegang teguh kepada Alquran dan hadis agar tidak
tersesat di dalam bertindak. Eksistensi hadis untuk Alquran merupakan sesuatu
yang urgen, keterikatan keduanya yang sangat erat dan tidak mungkin dipisahkan,
karena diantara ayat-ayat dalam Alquran ada yang disebutkan secara global, maka
dari itu perlu kepada penjelasan mendalam, disinilahurgensi hadis untuk Alquran sebagai penjelas. Kaum muslimin
sepakat bahwa hadis merupakan sumber kedua sebagai pijakan dan pedoman dalam
hidup karena hadis berasal dari Rasulullah Saw. yang merupakan wahyu Allah Swt.
yang Dia turunkan melalui perkataan, tindakan dan keputusan rasul-Nya.
Ilmu hadis merupakan disiplin ilmu yang mulia, saking
mulianya, banyak ulama yang memuji ahli hadis atau orang-orang yang mendalami
ilmu hadis, diantara ulama yang banyak memuji ahli hadis adalah Imam Syafii,
beliau berkata "Apabila aku melihat ahli hadis seakan-akan aku melihat
sahabat-sahabat Rasulullah Saw.".
Namun di samping itu ada sebagian kecil dari kelompok Islam
sedikit atau bahkan sangat meragukan keotentikan hadis Rasulullah Saw. Ini
merupakan permasalahan yang sejak lama timbul, ulama kita pun tidak pernah
bosan untuk melawan pemikiran-pemikiran seperti ini, karena ini masuk dalam
ranah usul agama, yang tidak boleh sama sekali diabaikan dan dianggap enteng.
Ulama-ulama pakar hadis mengerahkan segala cara untuk menjaga keotentikan
hadis, agar tidak tercampur baur antara perkataan Rasulullah Saw. dengan
perkataan orang lain dan dapat terdekteksi mana yang sahih dan mana yang tidak
sahih. Karena jika tidak, maka hukum dasar umat Islam pun perlu dipertanyakan, dikarenakan
bisa saja orang mengatakan apa yang mereka mau dengan mengatasnamakan
Rasulullah Saw.
Pada awal-awal peletakan ilmu hadis, ulama terdahulu membuat
kodifikasi hadis dari segi diterima atau tidaknya menjadi 2 bagian; Sahih dan
Daif. Kemudian datang setelahnya ulama-ulama yang juga antusias dalam menjaga
kemurnian hadis, seperti Imam at-Tirmidzi, beliaulah orang yang pertama kali membagi hadis menjadi tiga bagian; sahih, hasan
dan daif.[3] Untuk hadis sahih dan
hadis hasan, ulama tidak berbeda pendapat di dalam pengamalan keduanya, adapun
untuk hadis daif, inilah yang akan menjadi poros pembahasan kita.
Seperti apa hadis daif itu? Apakah boleh untuk diamalkan? Karena ini akan mengarah beberapa amalan-amalan yang kita dapatkan di negara kita yang mengacu kepada hadis-hadis yang dinilai daif oleh para ulama.
Semoga dengan pengkajian yang sederhana ini, bisa menghilangkan beberapa pertanyaan dan keraguan yang memenuhi pikiran.
II.
Ulasan Tema
A.
Definisi Hadis
Daif
Kata
Daif berasal dari bahasa Arab "الضّعف" yang secara etimologi adalah lawanan dari kuat;ada yang membedakan, jika huruf dhadnya difathah maka bermakna lemah untuk badan, adapun jika didhommah lemah dari segi pemikiran dan akal.[4]
Adapun artinya dalam terminologi, ulama hadis berbeda
pendapat di dalamnya agar bisa memberikan pengertian yang jami' mani'.
Ada tiga pendapat ulama :[5]
1. Hadis daif adalah semua hadis yang tidak terkumpul di dalamnya ciri-ciri
hadis sahih dan hadis hasan.
2. Hadis daif adalah hadis yang berada di bawah tingkatan hadis hasan.
3. Hadis daif adalah hadis yang tidak memenuhi lima syarat diterimanya
hadis.
Lima syarat untuk hadis itu diterima adalah :
1. اِتِّصَالُ السَّنَد
: yaitu bersambungnya sanad dari perawi pertama sampai kepada Rasulullah Saw.
Ini yang disebut hadis marfuk, atau bersambung sampai sahabat, ini yang disebut
mauquf, atau yang bersambung sampai tabiin, ini yang disebut hadis maqthu'.
2. عَدَالَةُ جَمِيْعِ الرُّوَاة : semua perawi memiliki sifat adil.
3. ضَبْطُ جَمِيْعِ الرُّوَاة : semua perawi memiliki sifat dhabth, yaitu kuat dari segi hapalan,
juga terjaga dalam segi tulisan.
Di poin inilah yang membedakan hadis sahih,
hadis hasan dan hadis daif.
Hadis sahih adalah yang semua perawinya memiliki sifat تَمَامُ الضَّبْط (dhabth yang sempurna). Adapun hadis hasan adalah ketika sang perawi memiliki sifat مُجَرَّدُ الضَّبْط (dhabth yang tidak mencapai sempurna).
Dan hadis daif adalah sang perawi memiliki sifat lemah dhabth atau
bahkan tidak memiliki.[6]
4. سَلَامَةُ الْحَدِيْثِ مِنَ الشُّذُوْذ : selamatnya hadis dari syadz[7].
5. سَلَامَةُ الْحَدِيْثِ مِنَ الْعِلَّةِ الْقَادِحَة: selamatnya
hadis dari ilat[8].
Jika hadis sudah tidak memiliki salah satu syarat diatas,
maka hadis tersebut sudah masuk kategori hadis daif, meskipun nanti ada
beberapa hadis yang hilang salah satu syarat di atas namun tidak masuk ranah
daif, insya Allah akan datang pembahasannya.
B.
Macam-macam
hadis daif dan tingkat kedaifannya.
Sebuah
hadis akan dikategorikan menjadi hadis daif oleh ulama hadis adalah ketika
hadis tersebut tidak memenuhi lima syarat yang telah disebutkan di atas. Hadis
daif pun bermacam-macam dan itu kembali kepada syarat yang lima, berikut
macam-macam hadis daif :
1. Macam-macam
hadis daif dikarenakan tidak memenuhi syarat ((اِتِّصَالُ السَّنَد :
a. المُعَلَّق : Hadis yang dari awal sanadnya gugur satu perawi
atau lebih secara berturut-turut.
b. المُنْقَطِع
: Hadis yang gugur satu perawi atau lebih dan itu terletak sebelum sahabat
berada di satu tempat atau lebih secara hakiki atau hukmi.
c. المُعْضَل
: Hadis yang gugur dua perawi atau lebih secara berturut-turut baik di awal,
tengah ataupun di akhir sanad.
d. المُرسَل :hadis yang
tidak disebut di dalam sanadnya seorang sahabat, yang kemudian seorang tabiin
menyandarkan perkataan ke Rasulullah Saw tanpa menyebut sahabat.
e. المُرْسَلُ الْخَفِيّ
: bahwa seorang perawi meriwayatkan hadis dari orang yang sezaman dengannya
akan tetapi tidak pernah bertemu, namun menggunakan shighat
f. المُدَلَّس
:di sini terbagi dua macam : tadlis matan dan tadlis sanad. Tadlis
matan adalah perkataan seorang perawi yang dia masukan ke dalam matan hadis,
baik di awal, di tengah atau di akhir, dan ini semakna dengan hadis Mudraj.
Adapun tadlis sanad adalah bahwa seorang perawi meriwayatkan dari orang yang
sezaman, sempat bertemu dan pernah mendengar hadis darinya kemudian
meriwayatkan hadis yang dia tidak dengar darinya.
2. Macam-macam hadis yang tidak diterima karena
terdapat celaan terhadap perawi. Disana ada 10
celaan, lima diantaranya berkaitan dengan sifat 'adalah dan lima
diantaranya berkaitan dengan sifat dhabth.
a. Lima yang
berkaitan dengan sifat 'adalah : al-Kadzib (berbohong), at-Tuhmah bil-Kadzib (tertuduh
berbohong), al-Fisq (fasiq), al-Bid'ah (melakukan bid'ah),
al-Jahalah (tidak diketahui siapa sang perawi).
b. Lima yang
berkaitan dengan sifat dhabth: fuhsyul-ghalath (sering salah),
su`ul-hifzh (hapalan yang buruk), al-ghaflah (lalai),
katsratul-Auham (sering keliru), mukhalafatuts-tsiqot (berbeda dengan
para perawi yang tsiqat).
3. Macam-macam
hadis daif berdasarkan 10 celaan yang terdapat di perawi dan matan:[9]
a. Al-Maudhu' :
hadis yang dibuat-buat oleh para pembohong dan menisbahkannya kepada Rasulullah
Saw.
b. Al-Matruk: hadis
yang di dalam sanadnya terdapat perawi yang tertuduh berbohong.
c. Al-Munkar: ada
dua pendapat di dalam pengertiannya :
1. Hadis yang
terdapat di dalamnya perawi yang selalu salah atau kebanyakan lalai atau fasiq.
2. Hadis yang
diriwayatkan oleh perawi yang daif yang dimana hadis tersebut tidak sejalan
dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqat.
d. Al-Mubham:hadis
yang pada sanad dan matannya seorang
perawi yang tidak jelas namanya baik laki-laki
ataupun perempuan.
e. Al-Majhul: tidak diketahui siapa sang perawi hadis atau hukum
sang perawi (tsiqat atau tidak tsiqat)
f. Al-Mubtadi' :hadis
yang diriwayatkan oleh perawi mubtadi' (orang yang melakukan bid'ah)
g. Asy-Syadz : hadis
yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqatyang dimana hadis tesebut tidak
sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqat darinya
atau kumpulan perawi tsiqat.
h. Al-Mu'al :
hadis yang ditemukan di dalamnya ilatyang tersamar yang membuat cela
kesahihan hadis padahal secara zahirnya selamat dari ilat tersebut.
i. Al-Mudraj: hadis
yang di dalamnya terdapat tambahan yang bukan termasuk dari hadis tersebut baik
tambahan itu di sanad maupun di matan.
j. Al-Mudhtharib: hadis
yang mempunyai dua periwayatan yang kontradiksi, namun tidak mungkin jama' diantara
keduanya, tidak juga bisa ditarjih salah satunya.
k. Al-Maqlub :
hadis yang didalamnya terdapat penggantian satu lafaz dengan lafaz
yang lain terdapat di matan atau di sanad dengan sebab taqdim, ta'khir
kalimat atau yang lainnya.
l. Al-Mazid fi muttashilis-sanad: hadis yang di dalamnya ada penambahan perawi
di pertengahan sanad namun secara zahirnya bersambung.
m.
Al-Mushahhaf :
hadis yang di dalamnya terdapat perubahan kata ke kata yang tidak diriwayatkan
oleh para perawi tsiqat secara lafaz maupun makna.
n. Al-Muharraf: hadis yang di dalamnya terdapat
perubahan kata yang memang sudah dikenal ke kata yang lain, dengan cara merubah
satu huruf atau lebih, namun secara tulisan tidak ada perubahan.
Ulama hadis
sendiri berbeda pendapat di dalam tingkatan kerendahan hadis daif, namun Ibnu
Hajar al-Asqalani memberikan tingkatan tersendiri dalam hadis daif dari yang
paling rendah yaitu al-Maudhu' kemudian al-Matruk, al-Munkar,
al-Mu'allal, al-Mudraj, al-Maqlub, al-Mudhtharib.[10]
C. Beberapa macam
hadis daif yang terdapat di kitab sahih Bukhari dan sahih Muslim.
Kitab
pedoman umat Islam setelah Alquran adalah kitab sahih bukhari, sahih Muslim
kemudian kitab-kitab hadis lainnya. Umat Islam secara sepakat menerima kitab
sahih bukhari dan sahih muslim semuanya berisi hadis sahih, karena manhaj
keduanya yang sangat ketat di dalam menerima hadis. Namun apa yang terjadi
bilamana di dalam dua kitab ini terdapat hadis yang dihukumi daif.
Semua
permasalah itu sudah dijawab oleh ulama, karena memang kitab hadis sahih
Bukhari dan Muslim sangat ketat dalam hadisnya. Secara umum semua hadis daif
yang ada di kitab sahih bukhari dan sahih muslim adalah hadis muttashil
di tempat lain, namun keduanya mendatangkan seperti itu karena beberapa tujuan.
Berikut contoh hadis daif yang ada di kitab sahih bukhari dan sahih muslim
adalah hadis mu'allaq, hadis mu'allaq yang ada di "sahih
muslim"semuanya sanadnya muttashil. Adapun hadis mu'allaq
yang ada di "sahih bukhari" semuanya juga muttashil di beberapa
tempat di kitab sahihnya itu kecuali ada 160 hadis, namun datang Ibnu Hajar
al-Asqalani menjadikan hadis tersebut muttashil, beliau kumpulkan dalam
kitabnya "Ta'liqut-Ta'liq".
Maka
dengan ini bisa kita simpulkan kenapa Imam Bukhari dan Muslim mendatangkan hadis mu'allaq
di dalam kitab sahihnya karena :
1. Sudah muttashil sanadnya
di kitab tersebut namun berada di pembahasan lain.
2. Sudah muttashil sanadnya
namun berada di kitab hadis yang lain.
Ini mengindikasikan bahwa hadis mua'allaq di kitab
mereka bukanlah termasuk hadis daif.[11]
D.
Hukum
Mengamalkan Hadis Daif
Ulama
berbeda pendapat mengenai periwayatan dan pengamalan hadis daif, ada tiga
pendapat:[12]
1. Melarang
pengamalan hadis daif secara mutlak, baik untuk masalah hukum maupun fadhailul-a'mal.
Ulama yang berpendapat seperti ini diantaranya Abu Bakar bin al-Arabi, Yahya
bin Ma'in, Asy-Syaukani, Ahmad Syakir (ulama kontemporer), ada juga yang
mengatakan Imam Bukhari dan Imam Muslim juga berpendapat seperti ini, namun ada
yang membantah dan mengatakan bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak melarang
pegamalan hadis daif, dengan bukti Imam Bukhari sendiri mengarang sebuah kitab
hadis yang berisi hadis daif, diantaranya adalah kitab "al-Adabul-Mufrad",
untuk apa Imam Bukhari mengumpulkan hadis di kitab ini kalau bukan untuk
diamalkan.
Adapun
dalil orang-orang yang melarang pengamalan hadis daif adalah :
a.
Hadis sahih
mengandung zhan yang kuat dan wajib beramal dengannya, adapun hadis daif
mengandung zhan yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
b.
Dengan hadis
daif sebenarnya sudah cukup tanpa harus mencari-cari di hadis daif
c.
Tidak ada dalil
yang meyakinkan tentang perbedaan pengamalan hadis daif untuk ranah hukum atau fadhailul-a'mal.
d.
Fadhailul-a'mal diperoleh
dari syariat, adapun menetapannya menggunakan hadis daif, maka hal itu adalah
sesuatu yang dibuat-buat untuk masalah agama.
e.
Mengamalkan
hadis daif adalah dilarang, karena hal itu mengambil hukum tanpa ilmu
"وَلَا تَقْفُ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ"
Dan janganlah mengikuti sesuatu yang tidak kamu
ketahui ilmunya. (QS. al-Isra :
36)
f.
Pendapat yang
membolehkan pengamalan hadis daif akan mengakibatkan banyak sisi negatif,
diantaranya dapat membuka kesempatan untuk melakukan kebohongan atas nama
Rasulullah Saw. dan melakukan bid'ah dengan cara mensyariatkan sesuatu
yang tidak disyariatkan karena menggunakan dalil yang tidak sahih.
2.
Boleh
mengamalkan hadis daif dalam ranah hukum-hukum syariat, seperti dalam masalah
halal dan haram, bahkan lebih mendahulukan hadis daif dari pada qiyas.
Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Ahmad, Abu Daud, Nasa`i, Ibn AbiHatim. Bahkan Imam Syafii terkadang menggunakan
hadis Mursal apabila tidak ada lagi dalil yang lain. Maka dari sini bisa
disimpulkan bahwa hadis daif disini lebih mereka sukai dari pada ijtihad dan
pendapat, dengan dalih bahwa bisa jadi hadis daif sebenarnya sahih, hanya saja kita
menghukuminya daif karena berdasarkan sanad. Dengan ini mengindikasikan bahwa
hadis daif mempunyai peran penting bagi mereka dalam ranah hukum.
Namun
kebanyakan ulama mengkritik pendapat ini dan mereka pun mencoba memahami dan
mentakwilkan perkataan ulama terdahulu mengapa mereka mendahulukan hadis daif
dari pada ijtihad atau pendapat, bahwa yang dimaksud hadis daif menurut
ulama-ulama terdahulu adalah hadis hasan menurut ulama terkini.[13]
3.
Membolehkan
periwayatan dan pengamalan hadis daif dengan beberapa syarat, ulama yang berada
di dalam pendapat ini adalah Ibnu Hajar al-Asqalani, as-Sakhawi, an-Nawawi dan
lain-lain. Syarat pengamalan hadis daif adalah :
a.
Hadis tesebut
berkisar tentang cerita, nasihat, fadhailul-a'mal, sejarah, atau yang
lainnya yang tidak berkaitan dengan tauhid dan tidak berkaitan dengan hukum
syariat.
b.
Bahwa tingkat
kedaifannya tidak parah, maka tidak diterima hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang tertuduh berdusta.
c.
Hadis daif ini
bukan merupakan hadis pijakan dalam dasar syariat, artinya ada hadis sahih yang
menjadi dasar hukum yang kemudian datang hadis daif ini sebagai penguat.
d.
Orang yang
mengamalkan hadis daif ini tidak meyakini kuatnya hadis ini melainkan sekedar
untuk berjaga-jaga.
e.
Seorang yang
mengamalkan hadis daif tetap meyakini kedaifannya dan tidak menyebarluaskan
kepada orang-orang yang tidak paham.
E.
Hadis Daif yang
Terangkat Derajatnya Menjadi Hadis Hasan dan Hadis Sahih
Hadis
daif bisa terangkat derajatnya jika hadis tersebut tidak terlalu parah
kedaifannya dan ada beberapa thariq[14]yang
menguatkannya menjadi hadis hasan lighairih. Namun tidak selamanya hadis
daif terangkat derajatnya menjadi hadis hasan lighairih, bahkan ada yang
terangkat derajatnya menjadi sahih lighairih, dikarenakan ada hadis lain
yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqat, inilah yang diamalkan oleh
beberapa ulama hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Nasa`i.[15]
F.
Pendaifan hadis
yang dilakukan oleh SyekhAlbani
Sudah menjadi pembicaraan yang tidak asing bagi seorang
pelajar/mahasiswa mengenai sosok Syekh Nasirudin al-Albani, seorang ulama hadis
terkenal dari daratan al-Albania yang dilahirkan pada tahun 1914 M dan
meninggal pada tahun 1999 M.Kepribadiannya yang menjadi sorotan para ulama
adalah bahwa beliau tidak mengambil ilmu hadis langsung dari ulama hadis,
meskipun pengikut dari pada Al-Albani telah membantahnya, namun bantahan itu
dirasa kurang cukup. [16]
Tindakannya yang kontroversial di
dalam pentashihan dan pendaifan hadis juga membuat beberapa kelompok
dari pada kaum muslimin memandang sebelah mata dalam keilmuan beliau, karena
tindakan beliau juga banyak ulama sibuk untuk meluruskan beberapa keputusannya
yang tidak tepat di dalam penilaian hadis, diantara mereka ada DR. Mahmud Said
Mamduh, beliau mengarang kitab "tanbihul-muslim ila ta'addial-Albani" dan "at-Ta'rif"untuk membantah
penilaian yang dilakukan oleh Al-Albani terhadap hadis sahih yang di kitab "Sahih
Bukhari" dan "Sahih Muslim", namun lagi-lagi dibantah oleh
pengikut Al-Abani baik berupa lisan maupun tulisan, baik di buku maupun di
situs, diantaranya adalah yang dilakukan oleh Thariq bin 'Awadallah dengan
mengarang kitab "Thali'at Fiqhul-Isnad" bantahan terhadap kitab
“at-Ta’rif”.
Namun kita tidak akan memperpanjang lebar dalam meneliti
semua tentang beliau, melainkan kita akan mengambil beberapa contoh penilaian
Nasirudinal-Albani terhadap hadis yang ada di Sahih Bukhari dan Sahih Muslim
dan sikap ulama di dalamnya.
Kitab sahih Bukhari dan Muslim sebagaimana yang telah
lalu pembahasannya, merupakan kitab yang sudah diterima oleh umat Islam,
dikarenakan manhaj mereka di dalam memilih hadis yang sangat ketat. Namun ada
beberapa hadis yang menjadi perhatian Nasirudin al-Albani untuk ditinjau kembali
kesahihannya. Kenapa beliau sampai berani tidak setuju dengan keputusan
ulama-ulama terdahulu tentang kesahihan semua hadis yang ada di kitab sahih
bukhari dan muslim. Ada dua sebab mengapa al-Albani mengkritik kembali hadis
kitab sahih Bukhari dan muslim dan bantahan ulama terhadap keputusan al-Albani[17] :
1.
Al-Albani
menganggap kitab "sahih bukhari" dan "sahih muslim" sama
seperti kitab-kitab hadis lainnya, dengan dalil bahwa tidak ada yang maksum
kecuali Nabi. Maka kemungkinannya adalah Imam Bukhari dan Imam Muslim melakukan
kesalahan di dalam pengumpulan hadis di kitab sahih mereka dan yang sudah
diketahui bahwa Allah hanya menjaga kemurnian dan kesahihan Alquran. Namun
pernyataan ini dibantah, dengan dalil bahwa umat Islam menyatakan sahih semua
hadis yang ada di dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim, dan Rasulullah Saw.
bersabda "Umatku tidak bersekongkol di dalam kesesatan", adapun
pernyataan bahwa Allah hanya membuat Alquran sebagai kitab yang sempurna, maka
Allah Swt. juga akan menentukan orang-orang yang menjaga kemurnian hadis,
sehingga kesahihan hadis pun terjaga, karena hadis adalah sumber kedua hukum
syariat Islam.
2.
Dari sudut
pandang itu, maka al-Albani berani menghukumi beberapa hadis yang kiranya daif,
karena Allah Swt. memberikan kelebihan kepada beliau di dalam memahami ilmu
hadis. Lagi-lagi dibantah oleh ulama, bahwa al-Albani sendiri banyak melakukan kesalahan
dan kekeliruan di dalam menghukumi hadis dan beliau juga kontradiksi dalam
menghukumi satu hadis. Semua dikupas di kitab
"Tanaqudhat al-Albani al-Wadhihah".
Ulama berbeda pendapat dalam pengambilan sikap terhadap
hadis-hadis yang dilakukan oleh al-Albani :[18]
1.
Semua hadis
yang didaifkan oleh al-Albani dapat dipercaya dan tidak ada orang yang berilmu
yang mampu menghukumi sahih atau hasan akan hadis yang didaifkan oleh beliau.
2.
Hadis-hadis
yang didaifkan oleh al-Albani tidak bisa diambil semua dan dia juga tidak bisa
dipercaya dalam mendaifkan hadis juga tidak bisa dijadikan hujah, karena beliau
bukan seorang yang ahli dalam menghukumi hadis.
3.
Kesungguhan
yang dilakukan oleh al-Albani di dalam penghukuman hadis menjadidaif tidak bisa
dipungkiri seluruhnya.
Akan tetapi al-Albani taraju' (menarik kembali
pendapatnya) tentang penghukuman beberapa hadis yang telah dilakukannya. Ada
ratusan hadis yang beliau taraju' di dalam pendaifannya. Banyak kitab-kitab
yang mengumpulkan hadis-hadis yang dahulu dihukumi daif oleh al-Albani kemudian
beliau taraju' darinya.[19]
III. Epilog
Sudah seyogyanya kita sebagai praktisi ilmu
agama untuk menjadi pribadi yang
tidak terlalu ekstrim ke kanan juga tidak ekstrim ke kiri. Sangat menjadi tantangan untuk kita ketika kembali ke kampung halaman kita
Indonesia yang di mana adat istiadat dan ritual ibadah yang masih terasa kental,
seperti tahlilan, maulidan, shalat-shalat sunah dan beberapa amalan lain yang
memang menjadikan hadis daif sebagai acuan.
Namun kita tidak usah khawatir,
karena permasalahan ini adalah permasalahan furuk. Jika suatu saat nanti ada orang yang
menanyakan kita tentang dalil kita melakukan ritual ibadah ini dan itu, kemudian dia tidak menerima karena dalil
yang kita gunakan adalah hadis daif, maka akan kita jawab bahwa pengamalan dengan hadis daif ada perbedaan pendapat,
dan pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang
membolehkan pengamalan hadis daif namun dengan beberapa kriteria tertentu.
Bahkan saya mendapatkan kaidah yang
indah dari Syekh Hisyam Kamil di sela-sela muhadarahnya[20] untuk menjawab
orang-orang yang melarang beberapa ibadah fadhailul-a’mal dan kemudian menanyakan dalil dalam ibadah yaitu dengan kaidah
:
"اَلْمَانِعُ المُطَلُوْب بِالدَّلِيْلِ"
Orang yang melarang adalah orang yang
ditanyakan dalilnya (pelarangan tersebut).
Hal ini karena ibadah itu luas,
tidak terbatas, maka orang yang membatasinya itulah yang
harus mendatangkan dalil pembatasan suatu ibadah itu.
Mungkin hanya ini yang
bisa penulis paparkan seputar hadis daif dan pengaplikasiannya dalam fadhailul-a’mal.
Wallahua’lam.
Kajian Reguler
Departemen Intelektual IKPMA
Sabtu, 15 Maret 2014
Daftar Pustaka
-
Alqurandanterjemahnya.
-
Al-Bayyumi, Ahmad Muhammad Ali, Al-Maktubul-lathiffil-hadisidh-dho’if,(Kairo,cet.
I, 2011)
-
As-Syafi’i,Ahmad
bin Abdullah,Mutunmustholah
hadis wal hadis Syarif, (Kairo: Dar Ibn Al-Jauzi,cet.
I, 2012)
-
Aswad, DR. Muhammad Abdurrazzaq, al-ittijahat
al-mu’ashirah, (Damaskus: Darul-Kalimath-Thayyib, cet. I, 2008) pdf.
-
Bakkar,Muhammad Mahmud Ahmad,Bulughul-Amal
min musthalahil-hadis war-rijal, (Kairo:Darus-salam, cet. I, 2012)
-
KBBI Offline versi 1. 1
-
Manzhur,Ibnu,Lisanul-Arab, (Beirut:
Dar Shadir,cet. IX)
-
Mazid,Prof. DR. Ali Abdul Basit,Atta’qqubatal-hadisiyyah,
(Kairo: Maktabah al-Iman,cet. I, 2013)
-
Mesir, Menteri Agama Republik Arab, Mausu’ahulumul-hadisasy-syarif,(Kairo:
MajelisA’la, cet. IV, 2013)
-
Zakariya, RidhaBin,al-Irsyadilakaifiyatdirasatil-isnad,(Kairo:
Maktabah al-Iman, cet. III, 2011)
[2]Mahasiswa tingkat IV jurusan Hadis fakultas Ushuludin Universitas Al-Azhar.
[3]Ahmad bin Abdullah As-Syafi’i,Mutunmustholah hadis wal hadis Syarif, Dar Ibn Al-Jauzi,Kairo, cet.
I, 2012,hal 122.
[4]IbnuManzhur, Lisanul-Arab,
vol. 9,Dar Shadir,Beirut, cet. IX, hal. 44.
[5] Muhammad Mahmud
Ahmad Bakkar, Bulughul-Amal min musthalahil-hadis war-rijal,
Darus-salam, Kairo, cet. I, 2012, hal. 211.
[6]Ahmad Muhammad Ali
al-Bayyumi, Al-Maktubul-lathiffil-hadisidh-dho’if, cet. I, 2011, hal.10.
[7]Hadis yang
diriwayatkanolehperawi yang tsiqat, namunbertentangandenganhadis yang
diriwayatkanolehperawi yang lebihtsiqatdarinyaataubertentangandenganhadis
yang diriwayatkanolehkumpulanperawi yang tsiqat.
[8]Sesuatu yang
membuathadisitumenjaditercela.
[9] Muhammad Mahmud
Ahmad Bakkar, op.cit.,hal. 222.
[10]Ahmad Muhammad Ali
Bayyumi, op.cit., hal. 186.
[11]Ibid.hal. 85.
[12]Ahmad Muhammad Ali
Bayyumi, op. cit., Hal. 36
[13]Menteri Agama
Republik Arab Mesir, Mausu’ahulumul-hadisasy-syarif,MajelisA’la, Kairo,
cet. IV, 2013, hal. 494.
[14]Sanadatauhadisselainhadistersebut.
[15]Ridha bin Zakariya, al-Irsyadilakaifiyatdirasatil-isnad,Maktabah
al-Iman, Kairo, cet. III, 2011, hal. 372.
[16]DR. Muhammad
AbdurrazzaqAswad, al-ittijahat al-mu’ashirah, Darul-Kalimath-Thayyib,
Damaskus, cet. I, 2008, hal. 405, pdf.
[17] Prof. DR. Ali Abdul
BasitMazid, Atta’qqubatal-hadisiyyah, Maktabah al-Iman,Kairo, cet. I,
2013, hal. 9.
[18]DR. Muhammad
AbdurrazzaqAswad, op. cit., hal.420
[19]Ibid.,hal. 420.
[20]MuhadarahkitabFathul-‘allampadatanggal
10 Maret 2013 di kawasanRab’ah al-‘Adawiyah
0 komentar:
Post a Comment