Logika
Melawan Sabda[1]
Oleh:
Mohammad Hanif Fikri[2]
A.
Pendahuluan
Segala puja
dan puji syukur terucap hanyalah untuk-Nya. Tuhan yang tidak pernah mati dan
memang takan pernah mati. Tuhan yang menciptakan akal namun tidak bisa dicapai
dengan akal. Tuhan yang menciptakan logika namun tidak bisa dibahas dengan
logika. Tuhan yang Maha Mencipta tapi
takan bisa dicipta. Tuhan yang menciptakan manusia tapi tidak bisa disamakan
dengan manusia. Dialah Allah, Tuhan yang Maha Menguasai alam semesta. Semoga
kita selalu berada dalam naungan Rahman dan Rahim-Nya. Amien ya Mujîbassâilin.
Kemudian shalawat
dan salam teruntuk makhluk-Nya yang paling dicintai. Makhluk yang paling suci. Makhluk
yang tidak ada duanya di muka bumi, bahkan di luasnya jagad raya ini.
Kesuciannya tidak akan pernah tertandingi. Kemuliaanya tidak akan pernah turun
dari tempat tertinggi, walaupun makhluk diseluruh dunia menghina dan mencaci. Beliau
adalah Rasulullah Saw. sang pembawa cahaya Illahi. Semoga kita bisa berkumpul
dan mendapat syafa’atnya di yaumil hisab
nanti. Dan semoga kita bisa bertemu beliau di dunia lewat mimpi. Amien, amien
ya Rabbal ‘Izzati.
Wahyu yang
diturunkan oleh Allah Swt. merupakan kalam Illahi yang suci, begitu juga sabda
Nabi yang telah diucapkan tidaklah keluar dari kehendak hawa nafsunya,
melainkan sesuatu yang diilhamkan dari-Nya. Sabdanya bukan logikanya. Tapi
bukankah permasalah bisa terselesaikan dengan baik dengan logika? Dan tanpa
wahyupun manusia bisa hidup dan menjalani kehidupan di dunia? Lalu, bisakah
logika menjadi sabda? Dalam memahami segala aspek dan problematika yang ada?
Pemahaman
madzhab Mu’tazilah banyak sekali dipertentangkan oleh para ulama, karena selalu
mengedapankan logika daripada al-Qur’an dan as-Sunnah. Golongan mereka selalu
dianggap salah bahkan sesat dan menyesatkan. Tapi, bukankah mereka yang
mengklaim bahwa golongan mu’tazilah itu sesat juga menggunakan logika? Jika
mu’tazilah sesat, apakah mereka (golongan selain faham mu’tazilah) yakin kalau
golongan mereka adalah golongan yang benar yang diridlai oleh-Nya? Jika benar,
lalu apa buktinya?
Perbedaan
pendapat memang seringkali kita ketemukan pada para ulama yang ingin mencari
titik kebenaran. Tapi yang perlu diingat, kita tidak bisa mengklaim begitu saja
bahwa pendapat ini salah dan pendapat inilah yang benar sebelum kita mengetahui
dasar hukum yang mereka gunakan dalam berijtihad. Kebenaran hakikatnya hanyalah
di sisi Allah. Dialah yang pantas menilai ini salah dan itu benar. Oleh
karenanya, alangkah baiknya sebelum kita mengatakan golongan ini salah atau
benar, setidaknya kita mengetahui sedikit yang membuat mereka berpendapat
seperti itu. Dan melalui makalah yang sangat sederhana ini, mudah-mudahan kita
bisa mengetahui yang sedikit itu. Amien ya Rabbal ‘Alamin.
B.
Asal usul
faham Mu’tazilah
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pendapat-pendapat yang
dikeluarkan oleh golongan mu’tazilah, alangkah lebih baiknya kita sedikit
mengetahui asal mula lahirnya faham mu’tazilah tersebut.
Di
makalah ini penulis tidak akan menyebutkan banyaknya pendapat mengenai
sebab-sebab kenapa aliran ini dinamakan Mu’tazilah. Penulis hanya akan mengemukakan
pendapat yang dianggap paling benar dan sesuai.
Lahirnya aliran mu’tazilah tidak terlepas dari peristiwa berbeda
pendapatnya seorang murid yang bernama Wâshil
bin ‘Atho terhadap gurunya Hasan
al-Bashri pada abad ke-2 Hijriyah mengenai munculnya masalah bagaimana
hukum orang yang melakukan dosa besar (dosa besar di bawah syirik). Apakah ia
dihukumkan sebagai Kafir seperti yang dikemukakan oleh kaum Khawarij, atau ia
masih dikatakan sebagai orang Mukmin seperti yang diutarakan oleh kaum
Murji’ah?
Ada suatu riwayat: (Suatu hari)
datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai
imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan
pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai
suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah
kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku
dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap
keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari
keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana
ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini.
Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya
sebagai prinsip (dalam beragama)?”. Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak
dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya
Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin,
namun ia juga tidak kafir, tapi ia berada pada suatu keadaan di antara dua
keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir”. Lalu ia berdiri dan duduk
menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan
Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: (I’tazala ‘annâ wâshil) “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka
disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.[3] Dan dalam arti etimologi
Mu’tazilah bermakna: Orang-orang yang memisahkan diri. Sebab inilah para
pengikut aliran ini disebut Mu’tazilah, karena Wasil bin Atha’ memisahkan diri
dari yang lainnya.
C.
Af’âlul
‘Ibâd
Segala perbuatan seorang hamba menurut Mu’tazilah adalah usahanya
sendiri, bahkan hamba itu sendiri yang menciptakan perbuatannya, baik ataupun
buruknya. Karena jika perbuatan itu adalah ciptaan Allah, berarti Allah juga
yang menciptakan keburukan. Berarti Allah itu buruk juga zhalim, padahal Allah
itu tidak zhalim kepada hamba-hamba-Nya, melainkan Allah itu sangat Agung dan
Mulia.
Mereka berpendapat jika ada orang yang mengatakan bahwa Allah yang
menciptakan perbuatan, maka itu adalah kesalahan yang besar.
Dan ta’wil mereka terhadap Firman Allah ta’ala yang berbuyi: خالق كل شيئ[4]dan خلق كل شيئ[5]
meciptakan disini bermaksud menciptakan langit
dan bumi, siang dan malam, manusia dan jin, dan semisalnya dan bukan bermaksud
menciptakan kekafiran, kezhaliman dan kebohongan. Dan tidak boleh Allah itu
zhalim dan bohong.[6] Karena
jika begitu, maka otomatis Allah itu zhalim? Padahal Allah tidaklah berbuat
zhalim, tapi manusia sendirilah yang menzhalimi diri mereka sendiri. Suatu
pensucian yang sangat agung kepada Allah yang dilakukan oleh Mu’tazilah ini.
Mereka tidak mau Tuhan yang sangat Agung itu menjadi rendah ataupun hilang
keagungan-Nya dengan mengatakan Allah juga yang menciptakan kezhaliman dan hal
buruk lainnya.
Namun, pasti banyak yang akan bertanya, dimana ke-Maha Kuasa-an Allah
atas menciptakan seluruh sesuatu di dunia ini? Jika benar seperti itu, berarti
manusia juga sebagai pencipta? Darimana manusia mendapatkan kemampuan untuk
menciptakan perbuatan itu?
Disinilah cantik dan pintarnya kaum Mu’tazilah, manusia memang menciptakan
perbuatan itu, tapi tidak mempunyai kemampuan dalam berbuat. Oleh karena itu
Allahlah yang memberikan manusia itu sebuah kemampuan untuk berbuat. Jadi,
dengan kemampuan yang diberikan oleh Allah itulah manusia bisa menciptakan
perbuatannya. Karena suatu hal yang sangat aneh jika manusia harus bertanggung
jawab atas apa yang memang bukan kehendaknya, tapi kehendak-Nya. Seperti yang
dikatakan oleh aliran Jabariyah bahwa manusia atau hamba hanyalah seperti robot
atau boneka Tuhan yang perbuatannya itu sudah diciptakan oleh Allah Swt.
Manusia hanyalah menjalankan skenario yang diberikan oleh-Nya. Berarti pendapat
semacam ini seolah-olah mengatakan manusia itu disiksa karena kehendak-Nya dan
diberi pahala karena kehendak-Nya. Manusia hanyalah mainan yang tidak bisa
melakukan apa-apa terhadap keinginan Penciptanya. Mana mungkin orang yang tidak
melakukan sesuatu harus bertanggungjawab atas apa yang bukan mereka lakukan?
Sungguh suatu kezhaliman jika seperti itu. Dan inilah yang sangat tidak
diinginkan oleh kaum Mu’tazilah kalau Allah melakukan kezhaliman.
Mu’tazilah menafikan iradatullah untuk
keburukan ataupun kekafiran dengan Firman Allah ta’ala yang berbunyi:
وما خلقت الجن والإنس الا ليعبدون[7]
Az-Zamakhsary berkata bahwa sesungguhnya Allah menginginkan hambanya itu
untuk memilih dalam beribadah bukanlah sebagai paksaan terhadap mereka.
Dan Allah juga berlepas diri dari kaum musyrikin sebagaimana Firman-Nya:
ان الله برئ من المشركين و رسوله[8]
Ini menunjukan bahwa ada kaitan antara yang berbuat dengan yang menjadi
tanggungjawabnya. Karena tidak boleh Allah berlepas diri dari mereka karena
kesyirikan mereka kecuali jika mereka sendiri yang berbuat kepada kesyirikan tersebut.[9]
Dan Firman-Nya yang berbunyi:
والله لا يحب الفساد[10]
Karena Allah tidak menyukai kerusakan, maka Allah bukan pencipta
kerusakan. Oleh karenanya, manusialah yang menciptakan kerusakan. Disini bukan
berarti Mu’tazilah merendahkan Allah karena Allah bukanlah pencipta segalanya,
melainkan mereka tidak ingin Allah itu dipandang rendah, hina atau zhalim.
Dengan pendapat mereka ini malah mereka mensucikan Allah karena dengan apa yang
mereka kemukakan bahwa Allah itu tidak menciptakan kezhaliman yang berarti
Allah itu tidak zhalim. Dan mereka tidak mengenal sosok Tuhan yang zhalim.
D.
Ru’yatullah
Melihat adalah suatu kenikmatan yang luar biasa yang
diberikan Allah untuk manusia. Tapi apakah semua objek bisa dilihat dengan mata
manusia?
Golongan Mu’tazilah berpendapat adalah suatu hal
yang mustahil bisa melihat Allah baik itu di dunia maupun di akhirat. Mereka
mengambil dalil dalam al-Qur’an yang berbunyi:
[11]الْخَبِيرُ
اللَّطِيفُ وَهُوَ اْلأَبْصَارَ يُدْرِكُ وَهُوَ اْلأَبْصَارُ تُدْرِكُهُ لَا
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,
sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha Halus lagi
Maha Teliti”.
Lafadz
الإدراك menurut mereka adalah sama dengan Ru’yah. Karena lafadz الإدراك tersebut jika diiringi dengan البصر maka artinya adalah ru’yah yaitu melihat.
Al-Qadli
Abdul Jabbar berkata bahwa melihat –Allah– dengan penglihatan itu adalah hal
yang mustahil.[12]
Dan
melihat itu berarti menetapkan jism. Jika
begitu berarti kita menyerupai Allah dengan makhluknya yang berjism. Hal ini adalah mustahil bagi
Allah, karena kita tidak boleh menyamakan Allah dengan makluk-Nya. Sebab hal
ini bisa menyebabkan kekafiran.
Firman
Allah ta’ala dalam al-Qur’an yang berbunyi:
قال رب أرنى أنظر
إليك قال لن ترانى[13]
“Musa berkata: “Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu)
kepadaku agar aku dapat melihat Engkau”, Allah berfirman: “Kamu tidak akan
(sanggup) melihatku”
Di
sini jelas bahwa ayat ini menggunakan lafadz لن
yang berarti tidak akan dan juga sebagai
penta’kidan bahwa Allah tidak akan bisa dilihat selamanya, baik itu di dunia
maupun di akhirat.[14]
E.
Epilog
Tidak ada yang sempurna di dunia ini, dan memang tidak akan ada yang bisa
sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik-Nya. Dzat yang Maha Sempurna. Oleh
karenanya penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan ataupun kekurangan dalam
menyajikan permasalahan Af’alul ‘ibad
dan Ru’yatullah dalam pandangan
Madzhab Mu’tazilah di dalam makalah yang sangat sederhana ini.
Dan penulispun menekankan bahwa penulis tidak bermaksud mendukung aliran
Mu’tazilah karena dalam makalah ini penulis tidak mendatangkan
bantahan-bantahan atas pendapat yang dikemukakan oleh aliran Mu’tazilah. Bukan
karena itu, tapi lebih kepada kesadaran dan kemauan kita dalam mencari tahu
atau menggali lebih dalam kepada aliran-aliran yang bertentangan dengan
pendapat Mu’tazilah.
Tidak ada gading yang tak retak, sekali lagi penulis pribadi memohon maaf
jika terdapat kesalahan tulisan maupun kekurangan dalam menyajikan. Inilah seorang
hamba dengan segala keterbatasannya. Semoga Allah memberikan ampunan kepada
kita semua terhadap kesalahan-kesalahan yang kita perbuat, baik yang disengaja
maupun tidak, dan semoga kita selalu berada dalam petunjuk-Nya juga selalu
dalam bimbingan-Nya dalam menjalani kehidupan di dunia ini, Amien ya Hayyu ya
Qayyum.
Wallâhu a’lam bi
ash-Shawâb
Kepustakaan
Al-Quran dan terjemahannya
dalam Bahasa Indonesia, al-Huda, Jakarta-Indonesia, 2005.
Adl-Dluwaihi, Ali bin
Sa’ad bin Shâlih, Dr., Arâ’ul Mu’tazilah
al-Ushûliyah, Maktabah ar-Rusyd, Riyad-Saudi, 2000.
Al-‘Umruji, Ahmad Syauqi
Ibrâhim, al-Mu’tazilah fi baghdâdi wa
atsaruhum fi al-Hayâti al-Fikriyyati wa as-Siyasiyati, Maktabah Madbûli,
Kairo-Mesir, 2000.
Faragli, Ali Ma’bad, Min ‘Aqâid at-Tauhid, Maktabah Dar
ath-Thibâ’ah al-Muhammadiyah, Kairo-Mesir, 2000.
Az-Zamakhsyari, Abi al-Qâsim
Jârullah Mahmud bin Umar, al-Kasysyaf, Maktabah
Misr, Kairo-Mesir,
Al-Bâjûri, Burhanuddin Ibrâhim, Tuhfatul Murîd ‘ala Jauharah at-Tauhîd, Dar
as-Salam, Kairo-Mesir, 2008.
Al-Baghdâdi, Abu Mansûr Abdul Qâhir bin Thâhir
bin Muhammad, al-Farqu baina al-firaq, Dar
ath-Thalâi’, Kairo-Mesir, 2005.
Kajian Pemikiran
Departemen Intelektual IKPMA
Ahad, 11 April 2010
[1] Judul ini tidak
membahas semua permasalahan yang berkaitan tentang logika, tapi lebih membahas
permasalahan Ru’yatullah dan Af’alul ‘Ibad menurut madzhab Mu’tazilah yang
notabene menggunakan logika
[2] Seorang penuntut ilmu
di Universitas al-Azhar, Tafahna-Mesir. yang selalu tertatih-tatih dalam meraih
ilmu dan ridla-Nya.
[3]
Lihat Milal wa an-Nihal, 1/48.
[4]
QS. Al-An’am: 102
[5]
QS. Al-Furqan:2
[6]
Lihat Syarhul Ushul al-Khamsah, hal. 358.
[7]
QS. Adz-Dzariyat:56
[8]
QS. At-Taubah:3
[9]
Al-Qadli Abdul Jabbar, al-Mughni, juz 8, hal. 263.
[10]
QS. Al-Baqarah:205
[11]
QS. Al-‘An’am:103
[12]
Lihat al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, 1/220.
[13]
QS. Al-A’raf:143
[14]
Lihat al-Kasysyaf, Juz 2, hal. 198.
0 komentar:
Post a Comment