Tahlilan
Dalam Pandangan Syari’ah[1]
Oleh: Abd Jabbar Natsir[2]
A. Prolog
Bismillahirrahmanirrahim
Tahlilan
atau sering juga disebut "kenduri kirim do'a" merupakan acara ritual
keagamaan ('amaliyah ubudiyah) yang berisi bacaan ayat-ayat Qur'an, dzikir dan
do'a, biasanya dilakukan oleh sebagian masyarakat Islam nusantara khususnya
warga Nahdliyyin (Nahdlatul Ulama) yang berjalan sejak lama dan mengakar
sehingga menjadi tradisi.
Namun
persoalannya kemudian, sebagian orang masih bertanya-tanya, apakah acara tahlilan
itu mempunyai dasar dalam bingkai syariah atau tidak? Bagaimana hukum fikihnya
mengadakan tahlilan? Apakah masalah ini termasuk bid'ah? Jika memang ritual itu
dianggap baru, apakah setiap yang baru mesti ditolak? Apa akar masalahnya? dan masih banyak lagi
permasalahan yang akan muncul dari perbincangan ini, nah inilah yang menjadi
pekerjaan rumah kita bersama sebagai mahasiswa agama atau yang berada dalam
proses belajar ilmu syariah (tafaqquh fiddin) apalagi di lembaga pendidikan
islam tertua sekelas Al-Azhar As-Syarif.
Jadi
memang masalah ini menarik untuk dibahas, dikaji dan diskusikan apalagi spirit
dan ruh keterbukaan (infitah) yang didengung-dengungkan Azhar sangat mendukung
untuk membahas persoalan keumatan dalam berbagai dimensi kehidupan seperti
masalah tahlilan ini, tentu dalam koridor etika diskusi ilmiah.
Diharapkan
dari kajian ini bisa tercapai pemahaman yang benar bagi pengamal tahlil disatu
pihak, dan sikap pengertian bagi yang tidak sependapat dilain pihak, karena
spirit ini yang diajarkan didalam sejarah perbandingan fikih antara imam empat,
dimana masing-masing dari mereka menunjukkan sikap tawadhu' bahkan sekelas Imam
syafi'i ingin melihat pendapat yang benar keluar bukan dari mulutnya, konon
beliau ketika datang ke kampung Imam Hanafi beliau meninggalkan pendapatnya
sementara dalam masalah qunut sebagai bentuk penghormatan atau kaidah "
usaha mencari titik temu" nilai ini yang melahirkan kaidah (Khuruj minal hilaf) dan kisah sikap
kearifan seperti ini sangat kaya dalam
khazanah hukum islam, demikian juga dalam mengkaji masalah tahlilan semestinya
seseorang tidak gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil hukum karena masalah
ini masih didiskusikan dikalangan ulama' sesuai kaidah:
لَا يُنْكِرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهَا وَاِنَّمَا
يُنْكِرُ الْمُتَفَقُّ عَلَيْهِ
" Suatu masalah yang masih dipersoalkan tidak
serta merta diingkari, namun yang boleh diingkari adalah yang jelas-jelas
melanggar prinsip ( ushul) "
Sekilas
tentang tahlilan (tashawur)
Sebelum
lebih jauh mendiskusikan permasalahan ini, sebaiknya kita terlebih dahulu
mencoba memahami defenisi, abstraksi umum tentang tahlil baik secara bahasa
(lughotan / etimologi) maupun secara istilah (istilahan / terminologi) karena
pemahaman terhadap asal-usul kata (isytiqoq) sangat membantu untuk memahami
masalah atau paling tidak sebagai pijakan awal untuk mengerti lebih jauh dan
mendalam tentang persoalan itu.
B. Ulasan Tema
1.
Definisi Tahlilan
a.
Menurut Bahasa (lughotan / etimologi)
Kata tahlil
merupakan struktrur kombinasi ( Naht) atau gabungan dari unsur-unsur kata dan
suku kata, yaitu berasal dari kalimat (لَاإِلَهَ إِلَا
الله)
Struktur ini
banyak terjadi dalam gaya bahasa arab yang sering dikenal dengan struktur Naht
atau Isytiqaq kubar contohnya, basmalah yaitu gabungan dari kalimat بسم
الله
الرحمن الرحيم) ), haulaqah
dari kalimat ( لا
حول ولا قوة إلا بالله) dsb.[3]
Dalam kaidah bahasa arab, jika dua
kata sering dipakai bersamaan maka terkadang diringkas dengan cara
menggabungkan sebagian suku kata lafadl pertama dengan suku kata lafadl kedua.
وَقَالَ
اللَّيْثُ : التَّهْلِيْلُ قَََََََوْلُ لَااِلَّهَ اِلَّا الله
Artinya: telah berkata
Allaits: arti tahlil adalah mengucapkan
la ilaha illallah.[4]
b. Menurut islilah
( istilahan / terminologi)
tahlil atau tahlilan (tambahan
partikel –an-) secara istilah dapat
digali dari pengertian bahasa yaitu: suatu rangkaian amaliyah ritual khusus
yang mengandung bacaan ayat-ayat alQur'an ( surat alfatihah, surat Al-Ikhlas,
Mau’idzatain, awal surat Al-Baqarah, ayat Kursi, akhir surat Al-Baqarah) dan
Istighfar, Tahlil, Shalawat, Tahmid, serta do'a yang biasanya dihadiahkan untuk
orang yang meninggal.
Dalam penggunaan harian di
masyarakat kegiatan ini lebih masyhur disebut tahlil padahal isinya bukan terbatas
pada kalimat la ilaha illallah saja akan tetapi satu paket yang tersusun dari berbagai macam dzikir
dalam arti luas, dalam kajian semantic (balaghah) yaitu, " Ithlaqul juz wa
iradatul kul" .
C.
Akar
masalah ( tahrir mahallunniza')
Hemat
penulis, akar masalah dan penyebab perbedaan dalam masalah tahlil ini adalah
cara pandang keagamaan secara umum dan pandangan terhadap sunnah dan bid'ah
secara khusus dalam aktifitas-aktifitas religi ( ibadah) yang baru atau
dipandang tidak ada pada zaman Rasulullah S.aw seperti, Tahlilan, Istighatsah,
Sholawatan, Maulidan dsb.
Sebenarnya
inti dibalik acara kenduri tahlil adalah bacaan ayat Qur'an dan kirim do'a bagi
orang yang sudah meninggal, bagaimana hukumnya dalam agama, inilah masalahnya?
Apakah masuk kategori bid'ah? Apalagi dilakukan dalam teknis khusus? Disinilah
terjadi perbedaan (muhimul ikhtilaf dalam bahasa Ibnu Rusyd di bidayatul
mujtahid) yang disebabkan adanya Perbedaan
pemahaman terhadap hadis bid'ah
yaitu:
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَََ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
: مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدُّ رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمُ .
Dari
Aisyah R.a bahwa Rasulullah Saw bersabda," barang siapa berbuat sesuatu
yang baru tidak ada petunjuk dari agama maka tidak akan diterima amalnya. (
Mutafaqun alaih)
Hadis ini dipahami oleh ulama' bahwa bid'ah terjadi
pada perbuatan ibadah yang baru dan dikerjakan tanpa ada petunjuk agama, karena
hadis ini berbentuk umum khusus (‘aam makshus).
Imam Syafi'i dengan jelas menyatakan bahwa bid'ah itu
dibagi dua positif dan negatif, bid’ah hasanah apabila sesuai dengan syariah
dan bid'ah sayyiah jika melanggar kaidah agama.[5]
Dalam hukum islam, praktek kegiatan religi yang baru
dikategorikan oleh sebagian ulama' seperti imam Nawawi dan Izzudin bin
Abdulssalam menjadi bid'ah wajib seperti menjawab isu miring terhadap syariah,
kodifikasi Qur'an dan sunnah. Bid'ah sunah seperti membangun sekolah atau
yayasan, bid'ah haram, pesta Narkoba. makruh seperti menghias masjid, dan mubah
seperti tasyakuran.[6]
Jadi,
Bid'ah itu terjadi jika suatu perbuatan itu sama sekali tidak ada landasan
agamis dari segala aspek dan kaidah syara', namun bila masih ada tuntunan dan
tidak bertentangan dengan nilai umum agama walaupun dalil tidak disepakati (
adilat mukhtalaf fih) seperti asas mashlahat, urf, dll, maka tidak bisa serta
merta dikatakan bid'ah.
Sedangkan
aktifitas-aktifitas duniawi tidak disebut bid'ah karena Sabda Nabawi ada unsur
pengikat " fi amrina" yaitu dalam masalah agama.[7]
Imam
Zaruq dari madzhab Maliki melihat bahwa
batasan bid'ah adalah makruh tidak bisa dikatakan haram karena tidak ada
kepastian melanggar yang wajib dan juga tidak menghilangkan hukum asal.[8]
Memang Hadis Aisyah R.a diatas menjadi separuh dasar-dasar agama dan
termasuk kategori hadis pokok dalam ajaran islam disamping hadis tentang halal
haram, hadis niat, [9]
Jadi
kalau yang menjadi objek kajian dan masalah adalah hukum tahlilan dalam bentuk
teknis dan formal seperti yang berlaku di sebagian masyarakat itu maka studi
tentang sunnah bid'ah menjadi acuan, namun bila yang dimaksdud adalah tujuan
pengiriman do'a, dibawah ini kita mencoba bersama mengkaji hukumnya dalam agama
1.
Pendapat ulama' tentang tahlilan dan
kirim do'a
Seperti
disinggung diatas, bahwa ritual tahlilan subtansinya adalah kirim do'a kepada
orang yang telah meninggal, maka wacana ini sudah sejak lama diperbincangkan
dikalangan ulama', Imam Nawawi misalnya, mengutarakan bahwa dalam masalah
bacaan untuk orang yang meninggal terdapat perbedaan pendapat yaitu Imam
Syafi'i bukan madzhab syafi'iyah yang mengatakan tidak berguna untuk si mayit,
sedangkan Imam Hambali dan sebagian madzhab syafi'i berpendapat bermanfaat dan
boleh, tentu semua pendapat mempunyai landasan masing-masing, dan perbedaan itu
tidak merusak hubungan guru dan murid antara Imam Syafi'i dan Hambali.[10]
Imam
Ibnu Hajar al-Haitami dari madzhab Syafi'i dengan jelas menyatakan bacaan jamaah
untuk mayit baik tahlil, dzikir, do'a dll diperbolehkan dalam agama.[11]
Lembaga
fatwa yang kredibel Daarul Ifta' Misriyyah dibawah asuhan Syekh Atiyah Shaqar
juga menfatwakan hal yang sama karena memang ada prakteknya di masyarakat mesir
dengan membeberkan pendapat ulama' seperti dilansir Imam Nawawi dengan tetap
meluruskan praktek lapangan yang kurang tepat.
Nah, Memang harus diakui bahwa kata "tahlilan" sebagai
sebuah bentuk tradisi seperti yang kita pahami sekarang tidak ada pada masa
Rasulullah SAW, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi tahlilan adalah
dzikir dan berdoa untuk si mayit. berdoa untuk si mayit yang muslim supaya
mendapatkan pengampunan dari Allah -tidak diragukan lagi- terlalu banyak
penjelasannya di dalam dalil agama yang disepakati ( mutafaq alaih) dan dalil
penyempurna (mukhtalaf fih).
Dalil
Qur'an:
Allah
Swt berfirman:
وَالَّذِيْنَ جَاؤُا
مِنْ بَعْدِهِمْ يَِقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِأِاخْوَانَنَا الَّذِيْنَ
سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا
تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا رَبَّنَا اِنَّكَ رُءُوْفٌ
رَّحِيْمٌ(الحشر:10)
"Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa:
"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah
beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." )Q.S. alHasyr ayat: 10)
Penggalian dan rumusan dalil (wajhul istidlal) bahwa, di
ayat ini Allah Swt memuji para sahabat mendoakan orang-orang yang telah
mendahului mereka dengan rahmat dan maghfirah, mohon ampunan .[12]
Dan firman Allah Swt.
وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا
وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِِإيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ
[الطور : 21]
“dan
orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam ke
imanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka. (ath-thuur:21).
Analisa dalil( istidlal) ayat ini menunjukkan
seseorang itu dapat memberi bantuan apapun kepada orang lain materi atau
immateri seperti do'a, istighfar untuk dia, dsb.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang memberi indikasi (isyarat)
masalah ini,
Dalil hadits:
Hadis dari Ibnu Abbas r. a dan Ibnu umar r.a di Sahih
Bukhari:
عَنِ ابْنُ عُمَرِ وَابْنُ عَبَّاسٍ ( أَنَّهُمَا أَفَتَيَا
امْرَأَةٌ جَعَلَتْ أُمَّهَا عَلَى نَفْسِهَا صَلَاةً بِمَسْجِدِ قُبَاءَ وَلَمْ تَفِ
بِنَذْرِهَا أَنْ تُصَلِّيَ عَنْهَا بِمَسْجِدِ قُبَاءَ ) .
Hadis lain dari alFadlul bin Abbas r.a di Muwatta'
أَن امرأة من خثعم سألت رسول الله فقالت : إن فريضة الله
على عباده في الحج أدركت أبي شيخاً كبيراً لا يثبت على الراحلة أفيجزىء أن أحج عنه
؟ قال : نعم حُجّي عنه
Hadis lain dari Ibnu Abbas r.a , Amru bin Ash r.a dan
Buraidah di Sunan Abi Daud:
( أن امرأة أتت رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) فقالت
: إن أمي ماتت وعليها صوم شهر أفيجزىء أو يَقضي عنها أن أصوم عنها ؟ قال : نعم .
قالت : وإنها لم تحج أفيجزىء أو يقضي أن أحج عنها ؟ قال : نعم )
وعن ابن عباس ( أن رجلاً قال : يا رسول الله إن أمي
توفيت أفينفعها إن تصدقت عنها ؟ قال : نعم )
عن عمرو بن العاص وقد أعتق أخوه هشام عن أبيهم العاص بن
وائل عبيداً فسأل عَمرو رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) عن أَن يفعل مثل فعل
أخيه فقال له ( لو كان أبوكَ مسلماً فأعتقتم عنه أو تصدقتم عنه أو حججتم عنه بلغه
ذلك ) .
Rumusan dalil, bahwa perbuatan para sahabat yang masih
hidup dan ditujukan untuk orang yang meninggal tidak dilarang oleh Rasulullah
Saw..
Dan masih banyak lagi sabda-sabda Nabawi ( Nusus
sunnah) dalam masalah ini akan tetapi ini barang kali menjadi contoh saja.
Hadis lain dari Abu Hurairah r.a di sunan Ibnu Majah:
عن أبي هريرة رضي اللّه
عنه قال: قال رسول اللّه «إنما يلحق المؤمن من عمله وحسناته بعد موته: علماً نشره،
وولداً صالحاً تركه ومصحفاً ورثه، ومسجداً بناه، وبيتاً لابن السبيل بناه، ونهراً
أجراه، وصدقة أخرجه من ماله في صحته وحياته تلحقه من بعد موته»
Rumusan dalil (istidlal): Hadis ini menunjukkan
amalan-amalan yang tidak terputus selain tiga amalan dalam hadis popular walaupun orangya sudah meninggal dan ulama'
pun berbeda pendapat dalam pemahaman, apakah dibatasi dengan tiga, tujuh atau
mutlak? Kontek hadis bagi si mayit, bagaimana dengan amalan orang lain untuk
dia?
Dalil Ijma'
Sebagian ulama' seperti Imam Nawawi menyatakan hal ini
menjadi ijma', dan tidak berarti semua ulama' secara total setuju dan
sependapat seperti uraian diatas karena ketidaksepakatan sebagian ulama' lain
tidak menghalangi ijma'
Dalil Qiyas
Lebih lanjut imam Nawawi menjelaskan bahwa bila do'a
an dhohril ghoi (tidak diminta) diperbolehkan apalagi do'a kepada saudara,
guru dll yang diminta.
Dalil Adat
Karena perjalanan tahlil yang sudah sekian lama
mengakar di sebagian masyarakat Indonesia
sehingga sudah bisa dikategorikan adat, kaidah syariah melihat suatu tradisi
apapun bentuknya selama tidak bertentangan dengan syara' diperbolehkan agama,
bahkan dalam madzhab syafi'i dijadikan salah satu dasar perumusan hukum.
العادة
محكمة مالم تخالف الشرع
Dalil Logika (aqli)
Sebagaimana diketahui bahwa inti Syari’at sholat
jenazah adalah do'a, memintakan ampunan,
rahmat dari Allah Swt untuk si mayit, begitu
juga halnya dengan tahlil, jika hal itu tidak berguna pasti tidak diajarkan
oleh guru-guru kami (ustadzuna) yang sudah teruji pemahamannya di dalam
masalah agama.
2.
Persoalan dan diskusi dalil
Bagi
kalangan yang tidak sependapat juga akan menyangkal dengan dalil-dalil yang
ada, diantaranya:
Dalil
Qur'an:
Di
dalam al-Quran, terdapat banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa setiap insan
hanya bertanggungjawab di atas apa yang telah diamalkan oleh dirinya sendiri
semasa di dunia. Tidak ada keterangan bahawa seseorang itu akan memikul
tanggungjawab di atas amalan yang dilakukan oleh orang lain seperti ayat:
اَلاَّ تَزِرُوْا وَازِرَةٌ وِزْرَ اُخْرَى ، وَاَنْ لَيْسَ
لِلاِنْسَانِ اِلاَّ مَا سَعَى.
"Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa
seseorang yang lain dan bahawasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran
melainkan apa yang telah ia kerjakan". ( Q.S. Annajm: 53)
Sanggahan:
Tafsir terhadap ayat diatas tidak ada kesepakatan di
antara ahli tafsir, misalnya Sahabat Ibnu Abbas R.a ( Habrul Ummah)
mengatakan bahwa ayat ini dinasakh (dihapus) dengan ayat:
والذين آمنوا
واتبعتهم ذريتهم بإيمان ألحقنا بهم ذريتهم [الطور : 21]
“dan
orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam ke
imanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka. (ath-thuur:21).
Dimana Allah Swt
akan memberikan syafa'at kepada orang tua karena anak demikian juga
sebaliknya, sesuai firman Allah Swt
آباؤكم وأبناؤكم
لا تدرون أيهم أقرب لكم نفعا [النساء : 11].
“Orang tuamu dan anak – anakmu kamu tidak mengetahui siapa yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu”
Terdapat
tafsir lain yang mengatakan bahwa huruf "lam" dalam ayat bermakna
keharusan, maksudnya: si mayit tidak lagi dibebani kewajiban karena tidak
mukallaf, sebagai rahmat ilahiyah seperti anak kecil yang masuk surga tanpa
amal, masih ada tafsir lain dari Imam Rabi' bin Anas yang menyatakan bahwa ayat ini berlaku bagi umat terdahulu (ahlul
kitab) dan kafir sedangkan orang beriman perbuatannya sendiri dan do'a orang
lain sama-sama berguna.[13]
ada
juga pendapat lain di ayat ini, bahwa ayat itu menunjukkan penafian kewajiban
bagi si mayit bukan yang masih hidup, amalan seseorang juga berguna bagi orang
lain seperti pahala shalat jamaah.
Dan
perlu diyakini bersama bahwa tidak ada sama sekali pertentangan subtansial
(tanaqudh maknawi) antara dalil- dalil Qur'an dan sunnah, kalaupun terjadi
hanyalah perbedaan lahir (taarudh dhahiri) saja.
Dalil Hadits:
اِذَا مَاتَ اْلاِنْسَـان
اِنـْقـَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ : صَدَقَـةٍ جَارِيَةٍ ،
اَوْعِلْمٍ يـُنـْتـَفَعُ بـِهِ ، أوْوَلـَدٍ صَالحٍ يـَدْعُـوْلَهُ
"Apabila
mati anak Adam, putuslah semua amalannya kecuali tiga perkara: Sedekah
jariah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak soleh yang mendoakannya."[14]
Sanggahan:
Terkait
dengan pemahaman hadis (fiqhul hadis) dimana sebagian ulama' mengkategorikan
dalam hadis yang belum final pemahamanya ( mukhtalaf) karena masih ada riwayat
lain seperti dalam hadis Abu hurairah r.a diatas yang tidak menentukan bilangan
pasti, dan hadis ini menjelaskan amal dari pihak mayit karena tidak mukallaf
lagi sedangkan bagi saudaranya seiman yang masih hidup maka amalanya yang
ditujukan untuk mayit tadi tetap berguna .
D. Epilog
Walhasil,
kontroversi tahlilan berada pada wilayah permasalahan perbedaan furu'/fiqih
(parsial/ yurispundensi) bukan persoalan ushul/tauhid ( prinsipil/ teologi)
karena bila diangkat menjadi persoalan ushul akan berdampak terhadap status
keimanan dan keislaman, artinya bila persoalan didudukkan dalam ruang furu'
sudah menjadi keniscayaan akan melahirkan perbedaan pendapat hukum islam yang
semestinya disikapi dengan arif dan hikmah atas dasar :
المسامحة في
الأمور المختلف فيها والمشاححة في الأمور المتفق عليها
" Sikap saling pengertian dalam permasalahan
perbedaan, dan kokoh dalam masalah prinsip"
latar
belakang ini kemudian melahirkan fikih islam dan khazanah ilmu agama yang kaya, padat, dan indah.
Semoga
kita juga bisa meniru para fuqaha dalam pengayaan karya-karya fikih sesuai
tuntutan zaman masing-masing. Amin..
Semoga
makalah singkat dapat menggugah teman-teman diskusi untuk lebih semangat
menggali, memeras otak untuk berfikir tentang masalah keumatan khususnya
berkaitan dengan hukum karena pertanyaan mereka kebanyakan berkutat pada
masalah hukum berdasarkan pengalaman dan kenyataan yang ada.
Wallau
‘alam bisawab
E.
Referensi
- Al-quran dan
Terjemahnya,(al-Huda:
Depok,2002)
- al -Qurtubi,
Abu Abdillah, Jaami al-Ahkam, ( Saudi: Daru al-Alamil Kutub)
- as -Shan'ani, Muhamad
bin Isma'il, Subulu as-Salam, (Mesir: Maktabah Musthafa Babi Halabi)
- as -Syaukani,
Muhamad bin Ali, Nailu al- Authar, (mesir: Matba ah Muniriyah)
- al -Kasani,
Alauddin bin Mas'ud, Badai'usshanai' , fi tartibissyarai', (mesir: Darul
Kitab Arabi, 1982).
- An-Nawawi, Al-
majmu' syarh Muhadzab,
-
Ibnu rusyd, Bidayatul Mujtahid wa nihayatul muqtashid,
(Mesir: Darul Hadits)
- al-Maqdisi, Ibnu
Quddamah, Almughni, (siria: Darul Fikr, 1405)
- al-Hadzami,
Muhammad syafi’ie, taudhihul adhillah,( Indonesia: menara kudus)
Team Pembentukan
Buku Fikih Tradisional
Departemen Intelektual IKPMA
Periode XVIII, 2009- 2010 M
Buku Fikih Tradisional
Departemen Intelektual IKPMA
Periode XVIII, 2009- 2010 M
[1]. Dipresentasikan dalam kajian pembentukan buku Fikih Tradisional,
13 Oktober 2010.
[2]
. Mahasiswa
tingkat 3 Syariah Islamiyah Universitas al-Azhar
[3]. Lisan al- Arab, ibnu mandzur al-ifriqy, juz
11 hal-229
[4]
. taudihul adhillah, muhammad syafi’ie al-hadzam, juz 2 hal-203
[5]
.alamru bil ittiba' wannahyu
anil ibtida', Jalaludin asSuyuti, juz: 1 hal: 6
[6]
. Subulussalam, asSan'ani,
Darul Hadis, juz: 2 hal: 48. Syarah muslim, Nawawi, juz:6 hal: 154. alI'tishom,
asSyatibi juz: 26
[7]
alMughni, Ibnu Qudamah alMaqdisi, juz: 1 hal: 833. alMajmu', Nawawi,
juz: 4 hal: 519
[8]
. Mawahibul Jalil Syarah
Mukhtashor Khalil, juz: 1 hal: 371
[9]
. Nailul author, Ibnu
taimiyah, juz: 2 hal: 69
[10]
. Majmu' , Nawawi, juz: 15
hal: 522. Badaius shanai', alKasani, juz:1 hal: 115
[11]
. fatawa hadisiyah, Ibnu Hajar
Haitami, juz: 1 hal: 109. fatawa darul ifta' misriyah, juz: 5 hal: 471.
[12]
. alJami' liahkamil Qur'an (
tafsir Qurtubi), Qurtubi, juz:17 hal:
114. tafsir Kayaharas, alKayaharas, juz: 5 hal: 13.
[13]
tafsir Qurtubi, op cit . tafsir
Kayaharas, op cit ( marji' sabiq)
[14]
. H/R Muslim (3084) al-Wasaya. Turmizi (1298)
al-Ahkam. Nasaii (3591) al-Wasaya. Abu Daud (2494)
al-Wasaya. Ahmad di Musnad (8489).
Tapi kok ada pengkususan gitu ya.. pada orang mati.. bacaannya khusus.. padahal Nabi kalau ada yg meninggal nggak gitu. Brati bikin ajaran baru dong. Kan ada dalil yang menyatakan Kullu bid'atin dzolalah, Wakullu dzolalatin finnar?
ReplyDelete