HEMBUSAN PENUH CINTA
DARI GURUN SAHARA
Oleh : Ahmad Naufal Hasan
Belakangan ini bapak sering sakit-sakitan, usianya yang
lebih dari setengah abad membuat
fisiknya lemah dan mudah terkena penyakit.
Setahun yang lalu bapak terkena penyakit kuning (liper)
walaupun hanya gejala akan tetapi sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit
dan Alhamdulillah bapak sehat kembali, tubuhnya yang kurus akibat sakit
sudah mulai berisi dan sudah beraktivitas seperti biasanya sebagai petani.
Layaknya orang yang mau berangkat ke kantor atau ke tempat
kerjanya dengan memakai pakaian dinas dan dasi yang tak pernah lepas dari putaran
lehernya. Ia pun Setiap pagi memakai pakaian dinasnya pula. Baju dan celana
berubah menguning kecoklat-coklatan akibat lumpur yang menempel lalu terjemur
di badan, sesekali di cuci tapi warnanya
tetap tak berubah, tudung laksana gunung kawi yang selalu menaungi kepalanya
biasa menyangkut di lehernya, begitu juga
tak lupa cangkul selalu menyertai di atas bahunya, dan sebotol air di
pegangnya, sengatan terik matahari sudah
menjadi teman akrab yang selalu menyapa di kala
pagi datang hingga petang menjelang.
Datanglah siang di iringi dengan berkumandangnya adzan
dari kejauhan, lalu ucapnya Alhamdulillah sebagai rasa syukur kepada
Allah yang memberikan segalanya di dunia ini, ucapnya yang lembut merasuk
hingga kedalam rongga jiwa, menyejukkan tubuh yang gersang akibat sengatan
terik matahari dari pagi hingga siang adzan berkumandang, sejuk hatinya bagai
tersiram air pegunungan.
Sejenak ia berteduh di balik gubuk bambu dengan atap
jerami sebagai penghalang teriknya matahari. Di balik gubuk itu, ia dengan
cepat membersihkan tanah lumpur yang menempel pada sebagian tubuhnya,
harapnya ia tidak ingin mengulur-ulur waktu sholat, karna ia tau balasan di
neraka sangatlah berat bagi orang-orang yang mengulur-ngulur sholat, panasnya
matahari tidak seberapa di banding panasnya api neraka, api neraka 70 lebih
panas di banding api yang ada di dunia.
Kembalilah ia kerumah dengan tubuh yang lesu, laksana
pohon yang layu mengharapkan tetesan air yang membawa semangat baru.
Sesampainya
di rumah ia mengganti pakaiannya dengan pakaian
yang biasa di kenakan untuk sholat, di basuhnya wajah dengan air wudhu seolah-olah mengembalikan semangat yang telah
pudar di renggut teriknya hari, setelah sholat ia tak lupa berzikir, perut
keroncongan laksana irama gendang yang bertalu-talu memaksa untuk cepat makan, dengan
lahap ia memakan makanan yang telah di hidangkan oleh istrinya, hidangan yang
ala kadarnya, dan lauk pauk seadanya menghiasi meja makan yang kecil, ditemani
istri tercinta dan buah hati sebagai penyejuk mata, terpancar jelas di wajah
mengisyaratkan keceriaan bersama.
Panas di badan akibat terik matahari sudah lama hilang,
perut keroncong tak lagi berdendang, lelah
dan letih di sapu riang, pakaian yang di kenakan untuk sholatpun di lepasnya, berganti dengan pakaian dinasnya yang sudah
semakin menguning kecoklatan. Ia ingin kembali ke ladang akan tetapi ketika di
depan pintu rumah sengatan matahari langsung menyapanya, rasanya tak kuasa
menahan teriknya, lalu ia kembali ke dalam rumah untuk mengambil sebotol air,
pergilah ia dengan sebotol air di tangan sebagai pengobat dahaga dikala panas
menyerang.
Matahari
mulai condong perlahan ke barat, tapi teriknya semakin menyengat, tidak jarang
rasa dahaga menyerang sesekali ia meminum air dari botol yang di bawanya tadi,
terasa sejuk dari ujung rambut hingga ujung jari kaki. Setelah meminum air,
keluar dari pori-pori titikan-titikan air keringat yang membuat tubuhnya basah
kuyup. Tak terasa pagi dan siang sudah berlalu, terdengar pula suara adzan
ashar berkumandang dari kejauhan, petang menjelang. Ia bersegera untuk
bersiap-siap kembali kerumah, tak lupa pula tudung, cangkul dan botol air yang
kosong di bawanya kembali kerumah. Lelah dan letih menyelimuti tubuh, ia
langsung bersegera wudhu untuk menunaikan sholat ashar, tak banyak yang ia
lakukan sambil menunggu waktu maghrib tiba, cuma istirahat dan membersihkan badannya
yang penuh keringat, begitulah ia bekerja setiap hari melawan teriknya matahari.
***
Saat ini aku duduk
di kelas VI Madrasah Ibtidaiyyah, aku anak pertama dari tiga bersaudara, walaupun
bapak tak pernah sekolah tinggi dan hanya tamat pendidikan dasar saja tapi dengan
keuletannya bisa menyekolahkan anak-anaknya ke tingkat yang lebih tinggi, ia
bercita-cita agar anak-anaknya bisa melanjutkan kenegri seribu menara dan menjadi
seorang yang faham tentang ilmu agama, berguna bagi keluarga, masyarakat dan
negara.
Satu tahun telah
berlalu, Alhamdulillah selesai sudah masa belajarku di tingkat dasar, Bapak
menyuruhku untuk melanjutkan ke pesantren, harapnya agar aku lebih mendalami
ilmu agama di pesantren nanti, aku sebagai anak tak mampu menolak kehendak orang
tuaku. Pagi itu di antarnya aku kepesantren yang telah di daftarkan oleh
bapakku. Air mata ibuku berderai mengiringi kepergianku, suasana haru
menyelimuti hatiku, tak kuasa aku menahan kesedihan, air mataku tumpah
seketika, kudekap erat ibuku, keramahan pelukannya membuat tak ingin jauh
darinya. Kewajiban menuntut ilmu suatu amanat dan tugas yang sangat mulia,
berangkatlah aku dengan deraian air mata.
***
Hari berganti
hari, minggu berganti minggu, bulan-bulanpun silih berganti menjadi tahun. Tak
terasa sudah satu tahun di pesantren. Saatnya libur datang, rindu kepada
keluarga tak lagi bisa di pendam. Pagi-pagi Bapak datang ke pesantren lalu di
ajaknya aku pulang, perjalanan kerumah cukup jauh dan melelahkan, di dalam
mobil bus kerap kali mata ini terpejam, tidak jauh lagi aku dan bapak sampai
kerumah. Kulihat di kanan kiri jalan sawah hijau membentang luas laksana permadani yang melapisi bumi sangat indah dan
menentramkan jiwa. Aku yakin yang menciptakan alam ini (Allah) lebih indah dan
sangat indah.
Setibanya
dirumah hari sudah siang, adzan Dzuhur pun sudah lama berkumandang. Lalu, ku
ucapkannya salam ke ibu dan adikku, ku cium tangan ibuku di iringi riak anak
sungai yang mengalir di selaput mataku, ku sangat bahagia berkumpul dengan
keluarga, rasanya ku ingin kebahagiaan ini selalu ada. Hilanglah kerinduan yang
kerap menyesakkan dada berganti
kebahagiaan yang membuat hati tak ingin jauh dari keluarga. Bagiku keluarga
adalah segala-galanya, suka dan duka ku lewati bersama.
Waktu
berjalan begitu cepat, satu bulan berlibur terasa singkat, saatnya ku harus
balik ke pesantren, melanjutkan perjuangan demi masa depan. Aku pamitan kepada
ibuku, ku cium tangannya dan ku ucapkan salam kepadanya, setelah sholat dzuhur
aku berangkat di antar oleh bapakku, sampai di pesantren sudah ashar. Lalu,
bapakku harus cepat pulang karna takut kemalaman di jalan.
Kembali ke
pesantren berarti harus tunduk kepada semua aturan yang ada, suka duka menghiasi
indahnya hidup di pesantren, jenuh, bosan kerap muncul di sela-sela
beraktivitas, ini semua adalah bagian kehidupan yang menuntut untuk bersikap
dewasa.
***
Satu tahun,
dua tahun, sampai lima tahun waktu berjalan seiring bertambahnya usiaku, masa
belajarku di pesantren hanya satu tahun lagi, Alhamdulillah selama ini
aku mendapat nilai tinggi di sekolah tapi sesekali nilaiku pun berada di bawah,
hidup bagaikan roda selalu berputar kesana kemari.
Sekarang umur
bapak sudah lanjut usia, sakit kerap menyapanya di sela-sela aktivitasnya,
selama aku di sekolah ia sering sakit-sakitan, berkebun pun terhenti sejenak
dan SPP sekolahku pun menjadi terhambat,
liburan kembali datang, senang dan sedih bercampur menjadi satu, kali ini aku
pulang tidak di jemput oleh Bapak karna ku tau ia sedang sakit, penyakit yang
sudah lama mengendap di tubuhnya kambuh kembali, setibanya di rumah ku ucapkan
salam kepada kedua orang tuaku dan sanak keluarga yang menemani di rumahku, ku
cium tangan kedua orang tuaku, ku peluk bapak yang sedang berbaring lemas di
atas tempat tidur, seketika air mataku pun tumpah di pembaringannya.
Aku selalu
menemani bapak di tempat tidurnya, ku bercerita banyak di sisinya,
pesan-pesanpun banyak terucap darinya, sesekali berderai air mataku tak kuasa
menahan haru.
Tiga minggu
telah berlalu, beberapa hari lagi aku harus kembali ke pesantren, akan tetapi
aku tak kuasa pergi karna Bapakku masih terbaring walaupun sudah agak baikkan
dari sebelumnya. Tibalah harinya, aku harus berangkat ke pesantren, terasa
berat sekali kaki ini melangkah bagai terjerat rantai besar, ‘azam yang kuat
dan pesan yang selalu teringat
memberikan semangat untuk melangkah, deraian air mata mengeringi di
setiap langkahku. Sampailah aku di pesantren membaur kembali dengan
teman-teman, walaupun ragaku jauh dari rumah akan tetapi pikiranku jauh menerawang
kerumah. Makan tak enak, tidur tak lelap segalanya menjadi berubah,
Bayang-bayang Bapak kerap muncul dalam benakku, dua minggu telah berlalu, ku
dengar kabar bapakku masih terbaring sakit dan bertambah parah. Entah berapa
dokter di temuinya. Beragam pula konsultasi yang di lakukan, namun kondisi
Bapak tak banyak berubah. Mendengar kabar itu, deraian air mata menambah isak
tangisku, ku semakin gelisah, air mataku tumpah.
Hari kehari
kerapuhan fisiknya semakin membuatku gelisah, bagaimanapun aku harus kembali
kerumah. Lalu, ku minta izin unuk kembali kerumah, berangkatlah aku di iringi riak
anak sungai yang mengalir di pipiku, mataku lelah memandang keluar dari balik
kaca mobil bus yang ku tumpangi, hatiku gelisah rasanya ingin cepat sampai
rumah.
Sesampainya di
rumah, aku langsung masuk kekamar tempat terbaringnya Bapakku, ku ucapkan
salam, ku cium tangannya. Lalu, kusapanya tapi ia tak mampu bicara hanya terdengar
sayup-sayup suara, ibuku menangis melihatku. Beberapa hari dirumah, tubuh
Bapakku semakin melemah, kurus badannya, ringkih dan renta, itulah yang tampak
darinya, kesedihan selalu menyelimuti rumahku, niat balik ke pesantren tak ada,
memikirkan keluarga adalah yang utama. Tepat malam jum’at, pekat malam semakin
melekat, keheningan menelisik sukma. malam ini sangat berbeda dari biasanya,
hening dan sunyi menyelimuti pekatnya malam. Waktu sudah tengah malam aku tidur di ruang tamu,
dan Bapakku di temani ibuku. Lalu, terdengar isak tangis dari balik tirai kamar
Bapakku yang membuat aku terbangun, ternyata itu adalah tangisan dari ibuku
yang sedang mendengarkan pesan-pesan di balik suara sayup bapakku, aku
terperanjat dan langsung mendekati, kudengarkan pula pesan-pesan terakhir
darinya, berderai hebat air mataku, adik-adikku dan sanak keluarga pun
terbangun dari tidur lelapnya, deraian air mata menyapa, ayat-ayat suci Alquran
berkumandang mengringi, akupun membisikkan kalimat tahlil di telinganya. Lalu,
hembusan nafasnya menghilang, ajal telah merenggut, malaikat telah menjemput,
detak jantungnya pun tak lagi berdenyut, ucapku “innâ lillâhi wa innâ ilaihi
râji’un” ia pergi dengan tenang, wajahnya berseri-seri, bagaikan bayi yang
baru di lahirkan. Ku cium keningnya, air mataku tumpah tak kuasa melihat
kepergiaannya, ku dekap erat ibuku dan adikku, isak tangis menyelimutiku. Pagi
datang, tepat hari jum’at jenazah bapakku akan di sholatkan bersama jama’ah
jum’at di masjid. Lalu, di bawa ketempat persingggahan terakhirnya, aku
sekeluarga melihat wajahnya ketika jenazah sudah masuk kedalam liang, itu yang
terakhir aku melihatnya, duka lara selalu menyelimuti sekeluarga, pesan-pesan
yang ia ucapkan masih terngiang di telinga, salah satu pesannya aku harus
melanjutkan sekolah, itu yang selalu membuat hatiku tergugah dan terngiang
setiap saat.
Sudah tiga
minggu di rumah, wasiat dan pesan Bapakku harus ku laksanakan, ku minta izin ke
ibuku untuk kembali ke pesantren. Lalu, ibu mengizinkan, akan tetapi nanti
siapa yang akan menemani ibu di rumah, sedangkan adikku masih kecil, di iringi
riak anak sungai dari pelupuk mata dan dengan tekad yang sudah bulat dan pesan
Bapak, akhirnya aku kembali ke pesantren, masalah uang Alhamdulillah ada
bantuan bagi para pelajar yang tidak mempunyai orang tua.
Sampailah aku
di masa-masa akhir sekolah, hanya menunggu raport kelulusan saja, setelah itu
selesai sudah di Aliyah, dan keluar dari pesantren, aku punya niat dari Aliyah ingin
melanjutkan ke luar negri, tapi bantuan hanya sampai di Aliyah saja, aku tak tahu
harus bagaimana merealisasikan niatku ini, aku bercerita kepada ibuku, dan
ibuku akan mengusahakan agar aku bisa melanjutkan ke kuliyah yang aku inginkan,
ibu akan menjual sebagian kebunnya. Akhirnya kebun di jual dan uangnya di
tabung untuk biayaku belajar. Tak lama kemudian, aku berangkat, banyak air
mataku mengiri kepergianku, riak tangis pun tak mampu aku hindari, aku sudah
sampai ke tempat yang Bapakku cita-citakan. Negri seribu menara sudah ku
singgahi, piramid dan sungai nile bukan lagi kulihat dalam buku cerita, aku
kuliyah di al-Azhar Kairo, di situlah tempatku mendalami ilmu agama.
Untuk Bapak dan Ibu.
Pak, Bu…!
Ini anakmu,
yang sedang menuntut ilmu, jauh dari sisimu. Anak yang selalu sibuk menghalangi
untaian do’a terhatur untukmu. Anak yang tak pernah menyenangkanmu, Pak.
Menyusahkanmu
di masa kecil, pun sering mengecewakanmu.
Pak, Bu …!
Anakmu ini
tak bisa, bahkan tak akan pernah bisa membahagiakanmu. Membalas segala
pengorbanan yang telah engkau berikan selama hidupku.
Maafkan
anakmu ini, Pak. maafkan kalau lidah ini pernah terucap kata makian hingga
membuat goresan luka di hatimu. Maafkan pula jika mata ini pun pernah sinis
memandang dan telinga yang tak pernah menghiraukan nasihat darimu.
Pak, Bu…!
Anakmu ini
hanya bisa, dan hanya selalu bisa meminta, sama sekali tak pernah memberi,
doakan dan mintakan kepada-Nya agar bahagia dunia akhirat.
Pak, Bu…!
Begitu jauh
jarak yang terbentang di antara kita. Jarak yang selalu melahirkan kerinduan
dalam riak anak sungai di pelupuk mata.
Pak, Bu…!
Air mataku
berderai, karena selalu rindu dengan belai kasih sayangmu. Tapi aku tahu,
engkau lebih merindukan anak-anakmu.
Aku akan
pulang, pasti aku akan pulang, bukan gelar atau uang, atau kemewahan yang akan
ku persembahakan, tapi curahan kasih sayang di sisa umurmu, sebagaimana engkau
pun mengasihi aku di masa kecilku.
Pak, Bu…!
Tak akan
pernah keindahan dunia ini dapat menggantikan keindahan cintamu. Riuh rendah
pesona dunia pun tak ada artinya ketika surga terletak di telapak kakimu.
0 komentar:
Post a Comment