Oleh: Misbahul Badri
“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu;
Insyaa Allah kamu akan mendapatiku
Termasuk orang-orang yang sabar”.
(QS. Ash-Shaffat:102)
Ibrahim dan Ismail dalam Alquran
Merujuk pada alquran, ditemukan bahwa para nabi dan rasul selalu membawa ajaran tauhid. Ayat-ayat di dalamnya mengunggah jiwa dan menuntut mereka untuk membangun sebuah masyarakat yang penuh dengan kemakmuran dan keadilan. Hingga datangnya nabi Ibrahim yang merupakan sosok yang dikenal dengan “Bapak para nabi”, “Bapak monoteisme”, serta “proklamator keadilan ilahi”. Karena agama-agama samawi dewasa ini merujuk kepada ajaran beliau.
Berbicara soal Ibrahim, maka ada sosok yang tak bisa kita lepaskan darinya, yaitu Ismail. Kisahnya pun sudah sangat masyhur di telinga kita. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa nabi Ibrahim mempunyai dua Istri, Siti Hajar dan Siti Sarah. Dari siti Sarah, ia mempunyai anak bernama Ishak, sedangkan dari Siti Hajar, ia mempunyai anak bernama Ismail. Pada garis keturunan Ismail bin Ibrahim-lah akan terjadi sejarah panjang tentang lahirnya sosok Khatami an-Nabiyyin.
Di dalam alquran, nabi Ibrahim dan Ismail menjadi salah satu nama yang paling populer disebut di antara 25 nabi yang termaktub kisahnya. Bukan tanpa alasan tentunya Allah sering menyebut dua nabi tersebut dalam alquran, bahkan dari dua nabi inilah lahir syariat haji yang menjadi pilar agama Islam.
M. fuad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Quran menyebutkan bahwa pengulangan kata Ibrahim dalam Alquran sebanyak 69 kali, yang disebutkan secara sharih, tidak dengan kata ganti (dhamir) atau kata lain yang mewakilinya. Sedangkan Ismail terulang sebanyak 12 kali. Beberapa ayat hanya menceritakan masing-masing tokoh, Ibrahim tanpa Ismail atau sebaliknya dan ada pula yang menceritakan kedua tokoh nabi ini.
Dua tokoh ini menjadi panutan dalam segala gerak geriknya, penyebar kabar gembira dan pengingat ketika keluar dari koridor yang ditentukan “(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan dan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. An-Nisa: 165).
Haji; peranan penting Ibrahim dan Ismail
Tidak dapat dipungkiri, bahwa aturan (baca: syariat) dalam sebuah agama merupakan hal yang sangat tidak bisa dilepaskan. Hal ini bisa dilihat dari begitu sentralnya peran yang dimainkan Syariat dalam tatanan kehidupan si penganut agama tersebut. dari meleknya mata, hingga mata ini terpejam, semuanya diatur oleh syariat.
Sependek pengamatan yang penulis lakukan, setidaknya ada tiga cara yang Allah gunakan ketika menyampaikan syariat-Nya. Pertama, perintah atau larangan yang Allah sendiri berperan sebagai mutakallimnya, seperti ayat perintah shalat. Kedua, perintah atau larangan yang Allah sampaikan dengan perantara nabi-Nya, seperti tata cara shalat. Ketiga, perintah atau larangan Allah yang disampaikan melalui kisah-kisah nabi.
Haji dan qurban jika dilihat dari klasifikasi di atas, keduanya merupakan bentuk perintah Allah yang disampaikan secara langsung, Allah sendiri lah yang menjadi mutakallimnya. Namun, untuk merealisasikan perintah ini, Allah menjadikan nabi Ibrahim dan Ismail sebagai tokoh utamanya.
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa yang memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu dari semesta alam.” (Qs. Ali Imran: 66-67)
Lewat ayat inilah kewajiban haji Allah sampaikan kepada kita. Lalu, apa hubungannya perintah haji dengan nabi Ibrahim dan nabi Ismail? Bukankah haji itu sebuah ritual adat jahiliyah? Untuk menjawab peertanyaan-pertanyaan ini, kita bisa menggunakan pendekatan historis haji itu sendiri.
Saat berbicara tentang sejarah haji, maka satu hal yang tidak bisa dipisahkan juga adalah ka’bah. Fungsi ka’bah di sini adalah sebagai objek. Membahas sisi sejarah haji tanpa mendalami sejarah ka’bah bak memasak sayur tanpa air. Sangat tidak mungkin.
Para sejarawan sepakat bahwa ka’bah pada hakikatnya dibangun oleh nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Hal ini karena ka’bah yang ada sekarang identik dengan bangunan yang didirikan oleh nabi Ibrahim dan nabi Ismail. Mereka membangun ka’bah ini karena perintah Allah. Allah berfirman “dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “ya tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 127).
Haji itu sendiri merupakan salah satu bentuk keragaman ritual keagamaan bagi pemeluk agama-agama samawi. Haji telah dilaksanakan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad. Ibadah haji juga menjadi salah satu kewajiban seorang nabi. Tetapi, cara pelaksanaan (manasik) haji antara satu nabi dengan nabi lain memiliki perbedaan. Hal ini disebabkan oleh keragaman kondisi umat manusia dan lingkungan yang ada pada jamannya.
Pelaksaan ibadah haji yang dilakukan nabi Ibrahim mempunyai manasik yang terurai, terutama terkait dengan tempat dan kegiatan. Beberapa manasik tersebut berkaitan dengan sejarah hidup keluarga nabi Ibrahim. Ibadah haji yang dilakukan nabi Ibrahim dimulai dengan tawaf, pada setiap putaran mereka mengusap rukn (sudut ka’bah), Setelah itu mereka melaksanakn shalat di balik makam Ibrahim, dan kemudian melakukan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, lalu mereka berangkat ke Mina untuk melempar jumrah dan dilanjutkan dengan mengunjungi Arafah, ditempat ini lah Allah memerintahkan nabi Ibrahim untuk menyeru manusia untuk melaksanakan ibada haji. Dari Arafah mereka menyembelih kurban dan bercukur.
Setelah melaksanakan ibadah haji, nabi Ibrahim kembali ke Syam dan meninggalkan nabi Ismail di Mekkah. Saat itu nabi Ismail mencapai kedewasaaannya, hingga mampu menggantikan ayahnya dalam mengemban tugas dakwah yang Allah perintahkan.
Hingga saat ini, rentetan tata cara haji persis sesuai dengan apa yang dilakukan nabi Ibrahim dan nabi Ismail kala itu. Artinya, dapat kita simpulkan bahwa nabi Ibrahim dan nabi Ismail berhasil menjalankan tugasnya sebagai tokoh utama dalam proses ibadah haji ini. Sehingga perannya pun masih bisa kita rasakan saat ini. Wallahu a’lam
0 komentar:
Post a Comment