Ketika Keyakinan Diragukan[1]
- Prolog
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan
akal juga petunjuk untuk mencari kebenaran, untuk memilih sebuah keyakinan,
untuk dapat memiliki pengetahuan agar tidak selalu salah dalam mencari
kebenaran, agar tidak salah dalam menjalani kehidupan dan agar selalu
terbimbing dalam mengarungi lautan keraguan.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan teruntuk manusia paling mulia dan dicintai di Bumi bahkan di alam semesta ini, Nabi
Muhammad Saw. yang dengan perantara Beliau, kita semua bisa berada pada jaman
seperti sekarang ini, jaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Mungkin, jika
Beliau tidak pernah dihadirkan di kehidupan ini, kita akan menjadi makhluk
sosial yang tidak bersosial, makhluk berakal yang tidak berakal, makluk yang
diberi rasa namun tidak berperasaan. Sungguh suatu rahmat yang sangat besar
yang diberikan oleh Allah dengan pengutusan beliau. Sungguh suatu kenikmatan
dan keindahan yang tidak bisa untuk ditandingkan. Alhamdulillah wassyukru
lillah wasshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah.
Di dalam kehidupan ini, banyak sekali fatamorgana yang
menghanyutkan pandangan, bahkan mengelabui cara pandang berpikir. Di jaman era
globalisasi saat ini, banyak sekali cara berpikir yang mengaduk-aduk sebuah
keyakinan yang sudah lama tertaut di hati. Gelombang lautan yang terarah dan
tenang tiba-tiba bisa menjadi penghancur dan pembunuh super dahsyat yang
disebabkan getaran hebat yang dapat menghancurkan segalanya, hanya beberapa bangunan
dan pepohonan yang kuat dan kokoh yang tidak bisa tergoyahkan. Begitupun
keyakian umat islam saat ini, banyak sekali “meteor-meteor” yang tidak terduga
yang menghantam dan mencoba menghancurkan struktur keteraturan komposisi “bumi”.
"واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا..."
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imran: 103)
Rasulullah Saw. bersabda,
“Sesungguhnya
Allah meridlai kamu tiga perkara dan membenci kamu tiga perkara; Dia meridlai
kamu apabila kamu beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu
kepada-Nya, dan apabila kamu berpegang teguh kepada tali Allah semua dan kamu
tidak berpecah-belah…” (HR. Muslim : 3236)
- Mimpi Bertemu Nabi
Mimpi adalah bunga tidur yang bisa dirasakan oleh
manusia. Entah itu mimpi baik ataupun mimpi buruk. Bermimpi sesuatu yang disenangi
adalah mimpi yang baik, begitu pula sebaliknya, bermimpi sesuatu yang tidak
disenangi adalah mimpi yang buruk. Dengan mimpi, banyak orang yang mempercayai bahwa
itu akan menjadi kenyataan dikehidupannya kelak. Bahkan banyak orang yang
mencoba menakwilkan mimpi yang dia alami, entah dia menakwilkan dengan
kemampuan dia sendiri atau meminta bantuan orang lain. Namun yang jelas, jika
kita bermimpi dengan mimpi yang kita senangi, hendaklah kita memuji Allah Swt.,
dan mengabarkannya. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw,
"Apabila seseorang di antara
kalian bermimpi yang disenangi maka itu adalah dari Allah. Karena itu hendaklah
dia memuji Allah, dan memberitahukannya. Dan kalau dia bermimpi buruk, maka itu
adalah dari syetan" (HR. Bukhari).
Tapi hendaklah ia memberitahukannya kepada orang yang
ia cintai, sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah
hadist riwayat Imam Muslim "…dan
jangan memberitahunya (mimpi baik tersebut) kecuali kepada orang yang dia
cintai."
Dan apabila ia bermimpi buruk, maka hendaklah ia meniup
ke arah kiri tiga kali, berlindung kepada Allah, merubah posisi tidur,
melaksanakan shalat jika bisa dan tidak memberitahukannya kepada siapa pun,
insya Allah mimpi itu tidak bisa membahayakannya sedikit pun. Sebagaimana yang
disabdakan oleh Nabi,
“Mimpi baik itu dari Allah, sedangkan
mimpi buruk itu dari syetan. Maka siapa yng bermimpi dan tidak menyukainya
hendaklah dia meniup ke arah kiri sebanyak tiga kali, berlindung kepada Allah
dari (gangguan syetan) niscaya itu tidak membahayakannya, dan jangan
memberitahukannya kepada siapa pun" (HR. Bukhari dan Muslim).
Juga disebutkan dalam riwayat Muslim agar orang yang
bermimpi buruk mengubah posisi tidurnya.
Salah satu mimpi yang baik, bahkan sangat baik adalah
mimpi bertemu Rasulullah Saw. karena jika kita mimpi bertemu Rasulullah berarti
kita telah benar-benar melihat Rasulullah Saw. berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut,
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه
وسلم قال : "مَنْ رَآنِى فِى الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِى حقا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ
لاَ يَتَمَثَّلُ فى صورتي..."
Abu Hurairah ra. Meriwayatkan dari
Nabi Saw., beliau bersabda: “Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia
telah melihatku secara benar. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai
bentukku…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan,
وعن جابر بن عبد الله عن النبي صلى الله
عليه وسلم أنه قال : "من رآني في النوم فقد رآني فإنه لا ينبغي للشيطان أن يتشبه
بي"
Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Saw. bahwasanya Ia
bersabda: “Siapa saja yang melihatku dalam mimpi, maka sungguh ia telah
melihatku. Sesungguhnya setan tidak sepatutnya ia bisa menyerupaiku.” (HR.
Muslim)
Dari hadits-hadits ini jelas menunjukan kebenaran
melihat Nabi lewat mimpi, maka siapa saja melihatnya dalam mimpi, maka ia
benar-benar telah melihat Nabi Saw. karena setan tidak bisa menyerupai bentuk
maupun rupa Nabi Saw.[2]
Seseorang yang melihat Rasulullah Saw. dalam mimpi,
maka sesungguhnya ia benar-benar telah melihatnya. Apabila ciri-ciri sifat
fisiknya sesuai dengan gambaran yang terdapat dalam hadits-hadits shahih. Jika
ciri-ciri sifatnya fisiknya tidak sesuai, para Ulama berbeda pendapat tentang
hal ini. Sebagian Ulama berpendapat, bahwa makna mimpinya perlu ditakwilkan.
Hal itu pertanda tentang kekurangan yang terdapat pada diri orang yang bermimpi
tersebut dalam hal beragama. Atau sebagai pertanda terjadinya kerusakan dalam
kehidupan beragama di tengah-tengah masyarakat. Sebagian Ulama lain berpendapat
bahwa ia tidak melihat Rasulullah Saw. karena ciri-ciri sifat fisiknya tidak
sesuai dengan ciri-ciri sifat Rasulullah Saw. Tetapi setan berupaya menipunya
dalam mimpi tersebut dengan cara mengaku sebagai Nabi Saw., sekalipun setan
tersebut tidak mampu menyerupai ciri-ciri sifat fisik Nabi Saw. Oleh sebab itu,
sebagian para sahabat dan tabi’in jika ada orang yang mengaku mimpi bertemu
Nabi Saw., mereka mempertanyakan ciri-ciri sifat fisiknya. Hal ini ditegaskan
oleh Ibnu Sirîn dalam ungkapan beliau: “Apabila ia melihatnya dalam bentuk rupa
Rasulullah Saw. yang sebenarnya”.[3]
Sebagaimana Ibnu Hajar menyebutkan sebuah riwayat
dengan sanad yang shahih dari Ibnu Sirîn rahimahullah: “Apabila ada seorang
mengisahkan kepadanya bahwa ia melihat Nabi Saw. (dalam mimpi), maka Ibnu Sirîn
rahimahullah berkata: “Sebutkanlah padaku ciri sifat-sifat orang yang engkau
lihat tersebut?” Jika orang tersebut menyebutkan sifat yang tidak dikenalnya,
maka Ibnu Sirîn katakan: “Sesungguhnya engkau tidak melihatnya”.
Berikutnya Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan pula
riwayat dari Ibnu Abbas ra. dengan sanad yang Jayyid; Ibnu Kulaib
berkata: “Aku katakan pada Ibnu Abbas: “Aku melihat Nabi Saw. dalam mimpi!”
Ibnu Abbas ra. berkata: “Sebutkan ciri sifat-sifatnya kepadaku!” Ibnu Kulaib
berkata: “Aku sebutkan Hasan bin Ali, lalu aku serupakan dengannya.” Ibnu Abbas
ra. berkata: “Sungguh engkau telah melihatnya.”[4]
Jadi tidak semua orang yang mengaku mimpi bertemu Nabi
Saw. harus langsung diyakini bahwa ia benar-benar melihat Nabi Saw. Mereka yang
mengaku bermimpi bertemu Nabi harus ditanya lebih dahulu bagaimana rupa atau
sifat Nabi dalam mimpi tersebut, sesuai dengan kriteria yang disebutkan dalam
hadits-hadits dan kitab-kitabkah? atau sebaliknya. Jika sesuai, berarti ia
benar-benar telah melihatnya. Jika tidak, kemungkinan itu adalah tipu muslihat
dari setan yang mencoba mengganggunya lewat bunga tidur tersebut. Wallâhu a’lam.
- Kehidupan Para Nabi Setelah Wafat
"كُلُّ نَفْسٍ ذآئِقَةُ الْمَوْتِ..."
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati…” (QS. Ali
Imran: 185)
Sudah menjadi sunnah Illahi bahwa setiap yang bernyawa
pasti mati. Setiap yang bergerak pasti berhenti. Tidak ada yang bisa merubahnya
atau menghentikannya walau dengan taruhan seluruh alam ini. Itulah Qudrah
Illahi.
Begitu pula para Nabi yang diutus oleh Allah, mereka
semua pun mengalami kematian, tidak bisa tidak, ini adalah ketetapan Allah di
muka bumi ini. Allah sendiri yang memberitahukan kepada kita dalam firman-Nya
yang disebutkan di atas. Bahkan Rasulullah Saw. pun tak luput dari sunnah
Illahi ini, Allah Ta’ala berfirman:
"وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ
مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئاً..."
“Dan Muhammad
hanyalah seorang Rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa Rasul. Apakah jika
dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Siapa saja yang
berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikitpun…” (QS. Ali
Imran: 144)
"إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ"
“Sesungguhnya
engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati pula” (QS. Az-Zumar: 30)
Dari ayat-ayat di atas jelas menunjukan bahwa semua manusia
akan mati, termasuk Rasulullah Saw. juga para Nabi yang lain. Namun Allah
memberikan keutamaan kepada para Nabi-Nya. Diantara keutamaan para Nabi dan
Rasul selama dan sepanjang apapun, jasadnya tetap terpelihara dari kerusakan
(utuh)[5]. Sebagaimana dalam sebuah hadits,
“إنّ
الله حرّم على الأرض أن تأكل أجساد الأنبياء”
“Sesungguhnya Allah
mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.”[6]
Dalam Sebuah hadis shohih dari Nabi disebutkan bahwa:
“الأنبياء أحياء في قبورهم يصلون”
“Sungguh para nabi hidup dalam kuburnya, mereka sholat.”[7]
Dan diriwayatkan pula bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“مررت على موسى ليلة أسري به عند الكثيب
الأحمر وهو قائم يصلي في قبره”
“Aku berjalan bersama Nabi Musa pada malam Isra
melewati al-kasib al-ahmar ketika dia sholat di dalam kuburnya.”[8]
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah ra.
pada kisah peristiwa Isra[9],
“وقد
رأيتني في جماعة من الأنبياء ، فإذا موسى قائم يصلي..، وإذا عيسى ابن مريم قائم يصلي
، وإذا إبراهيم قائم يصلي”
“Sungguh kamu melihatku dalam jama’ah para Nabi, maka Nabi
Musa, Isa dan Ibrohim berdiri dan sholat.”[10]
Benar sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Allah tidak menerima
ruh para Nabi, mereka hidup di sisi Tuhan mereka seperti para Syuhada. Ketika sangkakala
pertama di tiup, mereka pingsan namun tidak benar2 mati, hanya dihilangkan
rasa/indranya saja.[11]
Dan sebagaian para Muhaqqiq berpendapat bahwa Rasulullah
Saw. itu hidup setelah wafatnya. Dan ia bahagia dengan ketaatan ummatnya dan bahwasanya
para Nabi tidak akan rusak (jasadnya).[12]
Dan ada sebuah nash dalam kitab Allah yang menyebutkan tentang
hak syuhada, yaitu bahwa mereka masih hidup dan diberi rizki. Mereka hidup
dengan jasad mereka, apalagi kehidupan Nabi dan Rasul?. Hal ini ditetapkan oleh
hadist:
“أن
الأنبياء أحياء في قبورهم”
“Bahwasanya Nabi itu hidup di dalam kuburnya.” (HR. al-Mundziri dan di shahihkan oleh baihaqi)[13]
Jelas dari hadits-hadits tersebut bahwa para Nabi hidup
setelah kematian mereka, mereka diberi rezeki oleh Allah. Tapi kita tidak bisa
mengetahui bagaimana kondisi kehidupan mereka di alam kubur. Wallâhu a’lam.
- Mahal al-Qiyam
Hal yang lumrah jika kita menyambut baik kedatangan
orang yang kita cintai dan kita hormati. Seperti kita berdiri menyambut para
kiyai dan menyalaminya, menyambut para pejabat dan orang-orang yang kita
hormati. Rasulullah Saw. juga pernah berdiri untuk menyambut kedatangan putrinya,
Fatimah.
Bahkan Rasulullah juga pernah untuk berdiri sebagai
sebuah penghormatan, sebagaimana diriwayatkan ketika sa'ad bin Mu'adz ra. datang maka Rasul saw berkata kepada kaum
anshar : "Berdirilah untuk tuan kalian" (HR Bukhari & Muslim). Disini
terkandung sebuah penghormatan kepada orang yang memiliki keutamaan dan menyambut
mereka dengan berdiri apabila mereka menemuinya. Dengan ini mayoritas ulama berdalil
bahwa berdiri itu mustahab.[14]
Aku (Imam Nawawi) berkata: “Berdiri untuk menyambut
orang yang datang itu mustahab sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits.
Dan tidak benar bahwa hal tersebut dilarang. Aku sependapat dengan sebagian ulama
yang menyatakan demikian. Dan dengan ini aku menjawab dugaan ketidakbolehan hal
tersebut.” Wallahu a’lam.[15]
Imam Baihaqi berkata: “Berdiri untuk menyambut orang
baik dan mulia itu boleh seperti berdirinya kaum anshar untuk sa’ad, dan
berdirinya Thalhah ra. untuk Ka'b bin Malik ra.[16]
Berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada sesama saja
dianjurkan oleh Rasulullah Saw. Apalagi berdirinya kita sebagai rasa hormat
kepada beliau ketika mendengar atau ketika dibacakan sebuah shalawat kepada
beliau yang biasa kita sebut dengan Mahal al-Qiyam. Berdirinya kita terlepas
dari hadir atau tidaknya beliau. Masalah seperti itu adalah masalah ghaib yg
tak bisa disyarahkan dengan hukum zhahir. Karena Rasulullah Saw. tidak zhahir
dalam pembacaan maulid itu.
Kita berdiri sebagai penghormatan mengingat jasa beliau
yang sangat besar untuk kita, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa
berdiri kita adalah bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi Saw., dan
penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada Nabi Saw.,
sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat
beliau saw.
Bahkan kehidupan nabi SAW, adalah khidupan yang paling
sempuran dari pada nabi2 lainnya. Di riwayatkan bahwa “Tidak ada seorang muslim
pun yang memberi salam kepadaku melainkan bahwa Allah mengembalikan ruhku
sehingga aku menjawabnya.”[17] Dengan demikian, sebuah salam mengandung ketetapan akan sampainya salam
tersebut secara khusus dan secara ruhani, rasulullah akan berpindah dari Alam
mulia (kenabian) menuju alam dunia (semesta, jin dan seisinya) dan langsung ke
alam manusia sehingga sampailah balasan salam beliau.[18]
Dari sini kita pun bisa menyimpulkan bahwa siapa saja
yang memberi salam kepada Nabi, maka Nabi akan membalas salam kita. Wallâhu
a’lam.
- Status Keimanan Orang Tua Nabi[19]
"أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَيْنَ أَبِي قَالَ: فِي النَّارِفَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ
فِي النَّارِ"
“Bahwasanya
seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah “Ya, Rasulullah, dimana keberadaan
ayahku?, Rasulullah menjawab : “Dia di neraka”. Maka ketika orang tersebut
hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya seraya berkata “Sesungguhnya ayahku
dan ayahmu berada di neraka“.
Hadits ini dirwayatkan oleh Imam Muslim dari Hammad.
Dari hadits ini jelas sekali menunjukan bahwa Ayah Nabi berada di Neraka.
Apalagi hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. Tapi kitab apapun itu jika
itu bukan al-Quran, maka harus diteliti lagi keotentikannya. Hadits ini memang
riwayat Imam Muslim, namun di sanad hadits terdapat perawi yang bernama Hammad.
Imam Suyuthi menerangkan bahwa Hammad perawi hadits di atas diragukan oleh
para ahli hadits dan hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Padahal banyak
riwayat lain yang lebih kuat darinya seperti riwayat Ma’mar dari Anas,
al-Baihaqi dari Sa’ad bin Abi Waqosh yang berbunyi:
“اِنَّ
اَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُوْلِ الله اَيْنَ اَبِي قَال:َ فِي النَّارِ قَالَ: فَأَيْنَ اَبُوْكَ قَالَ: حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّّرْهُ بِالنَّارِ”
“Sesungguhnya
A’robi berkata kepada Rasulullah Saw. “Dimana ayahku?, Rasulullah Saw. menjawab
: “Dia di neraka”, si A’robi pun bertanya kembali “Dimana AyahMu?, Rasulullah
pun menjawab “Sekiranya kamu melewati kuburan orang kafir, maka berilah kabar
gembira dengan neraka.“
Riwayat di atas tidak menyebutkan keberadaan ayah Nabi
di neraka. Sedangkan Ahli hadits sepakat bahwa Ma’mar dan Baihaqi lebih kuat
dari Hammad, sehingga riwayat Ma’mar dan Baihaqi harus didahulukan dari riwayat
Hammad. Jadi hadits di atas yang
mengatakan bahwa ayah Nabi berada di Neraka tidak cukup kuat.
Bahkan Allah Swt berfirman:
“وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ
رَسُولًا”
“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus
seorang Rasul.” (QS. Al-Isra: 15)
Ayat ini menerangkan dengan jelas bahwa Allah tidak
akan mengazab suatu kaum sebelum Allah mengutus salah seorang Rasul kepada
mereka. Dari sini juga bisa dipahami bahwa orang yang berada di pedalaman dan
belum pernah mendengar atau belum ada seorang yang berdakwah untuk
memberitahukan ajaran agama Islam yang hanif, maka orang yang berada di dalam
pedalaman itu tidak terkena pembebanan ajaran Islam. Begitu pula dengan kedua
orang tua Nabi. Mereka berada pada ada masa fatrah (masa kekosongan dari
seorang Nabi/Rasul). Berarti keduanya dinyatakan selamat.
Imam Fakhrurrazi menyatakan bahwa semua orang tua para Nabi muslim. Dengan
dasar berikut:
“الَّذِي
يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ * وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ”
“Yang melihat kamu ketika kamu
berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di
antara orang-orang yang sujud.” (QS. As-Su’ara’: 218-219)
Sebagian ulama
mentafsiri ayat di atas bahwa cahaya Nabi berpindah dari orang yang ahli
sujud (muslim) ke orang yang ahli sujud lainnya.
قال رسول الله: “لم ازل انقل من اصلاب الطاهرين الى ارحام الطاهرات”
“Aku (Muhammad SAW) selalu berpindah dari sulbi-sulbi laki-laki yang suci
menuju rahim-rahim perempuan yang suci pula”
Jelas sekali Rasulullah SAW menyatakan bahwa kakek dan
nenek moyang beliau adalah orang-orang yang suci bukan orang-orang musyrik
karena mereka dinyatakan najis dalam Al-Qur’an yang berarti lawan dari suci.
Allah SWT berfirman:
“يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ...”
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu
najis” (QS. At-Taubah: 28)
Kemudian ada pula hadist Nabi ketika beliau meminta ampun untuk Ibunya,
“عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لأُمِّى فَلَمْ يَأْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ
أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِى”
“Dari Abi Hurairah ra. berkata ia: Rasulullah
Saw bersabda: Aku meminta izin kepada Tuhanku untuk memintakan ampunan buat
ibuku, namun Dia tidak mengizinkan Aku. Kemudian aku meminta izin untuk
menziarahi kuburnya, maka aku diizinkan.” (HR. Muslim)
Dilihat sekilas, memang ada kesan bahwa ibunda Nabi Saw.
itu tidak masuk surga. Sebab Rasulllah Saw. sampai memintakan ampunan atasnya.
Dan ternyata permintaan itu tidak dikabulkan Allah SWT. Wajar kalau ada yang
berkesimpulan bahwa kalau begitu ibunda nabi SAW itu bukan muslim, tidak pernah
bersyahadat dan mati dalam keadaan kafir. Sebab saat wafat, nabi Muhammad SAW
belum lagi menjadi nabi.
Namun kesimpulan seperti ini ditentang oleh kelompok lain.
Mereka menolak bila hadits itu disimpulkan dengan cara demikian. Kalau Allah
SWT tidak memperkenankan Rasulullah Saw. memintakan ampunan untuk kedua orang
tua, tidak berarti orang tuanya bukan muslim. Sebagaimana ketika Rasulullah SAW
tidak menyalatkan jenazah yang masih punya hutang, sama sekali tidak
menunjukkan bahwa jenazah it mati dalam keadaan kafir.
Adapun larangan Allah SWT untuk memintakan ampunan bagi
orang kafir adalah semata-mata karena orang itu sudah diajak masuk Islam, namun
tetap membangkang dan akhirnya tidak sempat masuk Islam dan mati dalam keadaan
kafir. Sedangkan kedua orang tua nabi SAW sama sekali belum pernah membangkang
atau mengingkari dakwah. Sebab mereka ditakdirkan Allah SWT untuk hidup sebelum
masa turunnya wahyu.
Bahkan hadits bisa dipahami bahwa Ibunda Nabi berada
dalam ampunan-Nya. Dan percuma bagi Rasulullah Saw. memintakan ampun untuk
Ibundanya, karena sama saja, dimintakan ampun ataupun tidak, Ibunda Nabi tetap
dalam ampunan-Nya.
Juga berbagai bukti historis yang menjelaskan bahwa
sebelum masa kenabian atau masa senggang antara Nabi Isa as dan Muhammad Saw.
terdapat sekelompok besar penduduk jazirah Arab yang hidup pada masa jahiliah,
mereka beragama dengan agama suci (hanif) Nabi Ibrahim, dan pemuka mereka
adalah keluarga Abdul Muthallib, termasuk
di dalamnya hidup Abu Thalib, Sayyidina Abdullah, bapaknya Nabi Saw, serta
ibunda Sayyidatuna Aminah. Mereka menyembah dan mengesakan Allah, menjauh dari
beribadah kepada patung-patung yang dianut agama jahiliyah Arab saat itu.
Mereka melakukan ibadah kepada Allah di tengah-tengan penduduk Mekkah atau di
kaki-kaki gunung.[3][20] Dan berikut ini dua riwayat yang membuktikan hal tersebut:
·
Dari Ashbag bin Nabtah, ia
berkata, “Saya pernah
mendengar Ali bin Abi Thalib berkata”, “Demi Allah,
Ayahku dan kakekku Abdul Muthallib sama sekali tidak pernah beribadah pada
berhala, tidak juga Hasyim, dan tidak pula Abdi Manaf.” Ditanyakan (kepadanya), “Maka pada
apa mereka menyembah?” Beliau
menjawab, “Mereka
shalat ke rumah (al-Bait) berdasarkan agama Ibrahim dimana mereka senantiasa-
berpegangan kepadanya.””[21]
·
Rasulullah Saw berabda: “Wahai Ali,
sesungguhnya Abdul Muthallib tidak bersumpah dengan dan tidak pernah pula
menyembah berhala-berhala. Ia pun tidak pernah memakan sembelihan untuk
persembahan (berhala), dan ia berkata, “Saya ada pada agamanya Ibrahim.””[22]
Sesuatu yang baik pasti berasal dari yang baik, sesuatu
yang bersih tidak mungkin berasal dari sesuatu yang kotor. Mungkin ungkapan
inilah yang sesuai untuk menggambarkan diri Rasulullah Saw. dan kedua
orangtuanya. Wallâhu a’lam.
- Epilog
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, karena dengan segala rahmat dan nikmat
yang telah diberikan oleh-Nya, akhirnya tulisan sederhana ini bisa rampung. Walaupun penulis sadar betul jika tulisan sederhana ini masih sangat jauh
dari kesempurnaan. Tiada gading yang tak retak, tidak ada sesuatu yang sempurna
di dunia. Kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Penulis memohon maaf, jika
di dalam tulisan ini terdapat banyak kesalahan, baik yang disengaja maupun yang
tidak disengaja. Karena penulis hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari
kesalahan.
Semoga kita termasuk dari umatnya yang mendapat syafa’at di yaumul
qiyamah nanti. Dan semoga kita juga termasuk hamba-Nya yang mendapat
naungan yang tidak ada naungan kecuali naungan dari-Nya di hari kiamat nanti.
Amien.
Wallâhu a’lam bi ash-Shawâb
Daftar Pustaka
-
Al-Quran
dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia, Syâmil Cipta Media, Jakarta-Indonesia, 2006.
-
Al-Bukhâri, Muhammad Bin Ismâ’îl Abû Abdullâh, Shahîh al-Bukhâri,
Dar Ibnu Katsir, al-Yamamah-Beirut-Lebanon, 1987.
-
An-Naisâbûrî, Abû al-Husain Muslim Bin al-Hujâj Bin Muslim
al-Qusyairî, Shahîh Muslim, Dar al-Jail + Dar al-afâq al-jadîdah-Beirut-Lebanon.
-
Al-‘Asqalâni, Ahmad Bin ‘Alî Bin Hajar, Fath al-Bârî, Dar al-Ma’rifah, Beirut-Lebanon.
-
An-Nawawi, Abu Zakariya Bin Yahya Bin
Syaraf, Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi-Beirut-Lebanon, 1392 H.
-
Nukhbah Minal Ulama, Ushûl al-Imân fi dlau-I al-Kitâb wa as-Sunnah, Wizarah as-Syu’un al-Islamiyah wa
al-Auqaf wa ad-Dakwah wa al-Irsyad-Saudi Arabia, 1421 H.
-
Al-Asyqar, Umar Sulaiman, DR., ar-Rusul wa ar-Risalat, Dar an-Nafa-is-Yordan, 1990.
-
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad Bin
Husain, Hayatul Anbiya-I
Ba’da Wafatihim, at-Tadhamun
al-Ahwadzi-Mesir, 1349 H.
-
As-Syaukani, Muhammad Ali Bin
Muhammad, Nailul Authar.
-
Muhammad al-Alusi, Ruhul Ma’ani, Dar
Ihya at-Turats al-‘Arabi-Beirut-Lebanon.
-
As-Suyuthi, Jalaluddin, Masalik
al-Hunafa fi Walidai al-Mustafa, Dar al-Amin-Kairo-Mesir, 1993.
- Syirah Ibnu Hisyam
- Majlisi, Muhammad Baqir Bin Muhammad
Baqi, Bihar al-Anwar, Thaba’ah Iran, 1885.
[1] Di presentasikan pada kajian IKPMA, hari Rabu, tanggal 22 September
2010.
[2] Lihat Ushûl al-Imân fi
dlau-I al-Kitâb wa as-Sunnah, hal. 245.
[3] Lihat Shahihul Bukhari, juz
6, hal. 2567.
[4] Lihat Fathul Bari: juz
12, hal. 384.
[5] Lihat ar-Rusul wa
ar-Risalat hal. 92
[6] HR. Abu Daud dan
an-Nasa’I dan dishahihkan oleh ibnu huzaimah juga selainnya (Lih. Fathul Bari
juz 6, hal. 488)
[7] Dirawayatkan oleh para
Imam (jama’ah) dari Anas.
[8] HR. Muslim
[9] Lihat ar-Rusul wa
ar-Risalat hal. 93
[10] Lihat Fathul Bari juz 6
hal. 486
[11] Lihat Hayatul Anbiya-I
Ba’da Wafatihim hal. 14
[12] Lihat Nailul Authar juz 3
hal. 304
[13] Lihat Nailul Authar juz 3
hal. 304
[14] Lihat Syarah Shahih
Muslim, Imam Nawawi juz 12 hal 93.
[15] Lihat Syarah Shahih
Muslim, Imam Nawawi juz 12 hal 93.
[16] Lihat Fathul Bari juz 11
hal. 52
[17] HR. Abu Daud. Lihat juga
al-Mu’jam al-Ausath juz 9, hal. 130.
[18] Lihat Ruhul Ma’ani, juz
22, hal. 38.
[19] Lihat Masalik al-Hunafa
fi Walidai al-Mustafa, Bihar al-Anwar dan Syirah Ibnu Hisyam.
[20] Lihat juga Syirah Ibn
Hisyam, juz.4, hal. 252
[21] Lihat Biharul
Anwar,
juz.15, hal. 144.
[22] Lihat Biharul Anwar, juz 15, hal.,127
0 komentar:
Post a Comment