"Namaku Manila, panggil saja dengan nila, itu nama kecilku", katanya ketika kami berkenalan pada suatu hari dalam bis angkot yang membawa kami bersama ke satu tujuan, yaitu jln Semangka I, tempat di mana aku tinggal sekarang. “Hmm...nama yang unik, mengingatkanku pada sebuah ibu kota, tepatnya ibu kota Thailand. Nama yang sangat mudah diingat”, pikirku. Setelah perkenalan itu, baru aku tahu kalau mbak Nila ini adalah keponakan om dan tante Budi, tetangga sebelahku. Rupanya ia baru datang dari Yogya seminggu yang lalu.
"Om dan
tante menginginkanku tinggal bersama mereka untuk sementara waktu ini.
Yah..sekedar untuk mengusir rasa sepi dalam kehidupan mereka yang sampai
sekarang ini belum dikaruniai seorang anak pun. Semoga dengan kehadiranku dapat
menghibur hati mereka, sungguh kasihan mereka... " Itu jawabnya ketika
kutanyakan apa tujuannya datang ke kotaku ini.
Om dan
tante Budi memang belum mempunyai anak
sampai usia pernikahan mereka yang ke lima belas ini. Sementara untuk
mengadopsi mereka masih berkeberatan. Om dan tante Budi juga pernah bercerita
kalau mempunyai keponakan perempuan yang juga anak tunggal dari kakak
perempuannya om Budi yang hampir menyelesaikan kuliahnya di Universitas Gajah Mada
Yogyakarta. "Pasti mbak Nila ini yang dimaksud mereka”, pikirku.
Setelah
hampir satu bulan kami berkenalan, tak terasa kami begitu akrab satu sama lain.
Di mana ada mbak Nila aku pun diajak serta, ke pengajian Majlis Ta'lim, ke
perpustakaan, sampai untuk mengaji Alquran pun aku sering diajaknya. Semua apa
yang ia berikan membuat ada sesuatu yang menyejukkan dalam hati. Alhamdulillah,
aku sudah mulai rajin sholat, mengaji, nggak suka jalan-jalan ke mall lagi.
Pokoknya aku sekarang sedikit aliman walaupun jilbab belum kukenakan karena aku
belum siap untuk memakainya. Begitu juga kalau aku akan pergi, kuingin mbak
Nila besertaku selain menjadi teman
jalan, mbak Nila juga dapat memberikan masukan-masukan bila aku ingin membeli
sesuatu. "Pikirkan dik, apakah itu benar-benar bermanfaat untuk
adik", itu yang selalu ia katakan bila aku meminta pendapatnya. Yah...kami
begitu dekat satu sama lain seakan kami adalah saudara kandung, dan kebetulan
juga aku anak tunggal. Walaupun mbak Nila jauh lebih tua lima tahun dariku,
tapi itu tak menjadi pemisah dalam keakraban kami. Mbak Nila di mataku begitu
bersahaja, berwibawa, penyantun, lembut, cantik dan anggun dengan jilbab yang
selalu dikenakannya kemana pun ia pergi, kecuali kalau pas di rumah.
* *
* * *
Setelah
sekian lama aku menjalin persaudaraan dengannya, membuat aku mengikuti
jejaknya. Yah... kini aku telah memakai jilbab dan berbusana muslimah. Ketika
kukatakan niatku itu padanya, ia merangkulku penuh bahagia dan langsung
menghadiahkanku sebuah jilbab putih yang baru dibelinya minggu yang lalu. Aku
bahagia sekali.
Mama dan
papa? Alhamdulillah tidak menjadi masalah. Mereka pun mendukung prinsipku.
"Anak gadis mama dan papa jadi tambah cantik deh...", puji mereka
ketika pertama kali melihat diriku memakai jilbab. Aku hanya tersenyum senang,
bahagia.
Tapi tidak
bagi teman-temanku di SMUN 10. Mereka kaget karena si bintang kelas yang
selalui menjuarai berbagai perlombaan antar sekolah di berbagai bidang
kesenian, olah raga dan pendidikan memakai jilbab. Santi yang dikenal mereka
seorang anak yang lincah dan periang juga anak gaul memakai selembar kain yang
bagi mereka itu penghalang gerak seorang wanita, pengukung emansipasi. Mereka
tidak mau menerima keadaanku, mereka menginginku seperti Santi yang dulu yang
bisa diajak kemana aja.
Santoni,
termasuk dari mereka yang yang menentang jalanku ini. Sang Idola cewek-cewek
SMUN 10 itu tidak setuju dengan penampilanku sekarang ini. Kuno, terbelakang,
tidak modern, katanya ketika melihatku dengan jilbab putihku. Aku terhenyak
mendengar makiannya. “Oh....Tuhan, kenapa Santoni beranggapan seperti itu.
Seharusnya ia bangga kalau aku dapat
mengamalkan perintah Allah secarah kaffah”.
"Itulah ujian San. Bersyukurlah
Allah berkenan menguji Santi yang ingin istiqomah di jalan-Nya.Ketahuilah bila
seseorang hamba diuji Allah berrti Allah menginginkan hamba itu dekat
dengan-Nya, karena Allah ingin mengetahui kadar ketaqwaannya...", tutur
mbak Nila ketika kuceritakan masalahku. Dengan panjang lebar mbak Nila
menjelaskan tentang pergaulan dalam Islam dan ia pun berusaha mengeluarkanku
dari masalah yang sedang membelengguku.
"Istiqomah ya dik, ikuti kegiatan Rohis yang ada di sekolahmu,
insya Allah kau akan dapati masih banyak saudara-saudaramu yang mencintai dan
menyayangimu karena Allah. Tahan uji adalah salah satu sifat seorang
mukmin", kata mbak Nila lagi sambil tersenyum ke arahku, senyuman yang
membuat tekad di hatiku untuk menjadi seorang wanita sholehah yang sering di
sebut-sebutnya. Tanpa terasa air mataku mengalir terharu dengan penuturannya
yang membuat hatiku plong.
* * *
* *
Alhamdulillah.....selain mbak Nila, ada Ima, Ina, Ani, Dina, Opi, Yanti
dan banyak lagi teman yang memberikan support kepadaku, mereka berusaha
menguatkan tekadku. Dari persaudaraan yang mereka ulurkan seakan berkata kalau
aku tidak sendirian berjalan di jalan ini, masih banyak saudara-saudaraku yang
bisa kuajak kerja sama, saudara-saudaraku yang baru aku ketahui bahwa merekalah
saudara-saudaraku yang mencintaiku dan menyayangiku karena Allah.Kini aku tidak
sendiri lagi terutama semenjak aku masuk dalam anggota rohis sekolah.
* * *
* *
"San...malam minggu ini kamu ada di rumah kan!?" Tanya Santoni
suatu hari.
"Duh...gimana ya Ton. Malam minggu ini aku harus menginap ke rumah nenek,
habis udah janji sih sama beliau sekalian hari minggu kan hari libur",
elakku.
"Aduh
Santi, kok banyak sekali alasanmu bila aku ingin apel malam minggu di rumahmu.
Minggu kemaren kamu bilang sibuk mempersiapkan ujian Kimia, minggu kemarennya
lagi kamu bilang mau nemani mama dan papamu memenuhi undangan makan malam
relasi kerja papamu, dan minggu kemarennya lagi.......aduh, aku nggak ingat
lagi alasan-alasanmu. Santi.., sejujurnya apakah kau tidak ingin bersamaku lagi
merajut hari-hari kita dengan cinta?".
"Maaf
Ton, aku tetap tidak bisa. Selamat tinggal, aku masih punya banyak
kerjaan", jawabku tegas. Tak kuhiraukan lagi panggilan Santoni, aku
bergegas pergi. Ah...ada yang mengiris dalam hatiku, cinta sang coverboy yang
telah berhasil kuraih harus terpaksa aku lepaskan demi meraih cinta yang
sebenarnya, cinta hakiki. “Maafkan aku Ton”...bisikku.
* * *
* *
"San,
ayo naik...!" Pinta Santoni kepadaku untuk naik di motornya setelah kami
pulang dari sekolah.
"Mmmakasih...Ton, aku naik bus aja bareng sama teman-teman",
tolakku. "Teima kasih atas ajakanmu".
Kutangkap
tatapan tajam dari mata kelamnya, aku tak tahu apa itu, marahkah ia, kesalkah
karena nggak pernah-pernah aku menolak
permintaannya. Tanpa berkata lagi, Toni langsung tancap gas. Tanpa
kusadari banyak teman-teman yang menyaksikan adegan drama ini.
"Tumben San, nggak mau di bonceng. Coba kalau Santoni tadi nyuruh
aku yang duduk di belakangnya, wah...takkan bakal kutolak", celoteh Rina yang langsung disambut riuh oleh
teman-teman.
"Eh
San.., hati-hati lho kalau kamu nggak mau lagi sama si ganteng. Masih banyak
yang menginginkan cintanya..." ujar Sari mewanti-wanti diriku.
* * *
* *
Kini
siswa-siswi SMUN 10 geger, pasalnya aku putus resmi sama Santoni. Aku merasa
lega sekali ketika kuucapkan kata "putus" itu. Kedudukanku sekarang
bagaikan seorang selebritis yang jadi bahan gunjingannya para pers, di
mana-mana orang orang membicarakan tentang putusnya hubungan kami.
"Wah...bakal ada kesempatan nih merebut cinta sang Arjuna".
Itu kata mereka. “Yah..terserah apa kata kalian, tapi aku mengetahui apa yang
terbaik untukku”, bisikku.
* * *
* *
Sekarang
hari-hariku kulalui dengan penuhnya kegiatan di rohis. Tapi tidak dengan
Santoni, kelihatannya ia tidak seperti hari-hari sebelumnya. Kata
teman-temannya Santoni sering bolos dari sekolah. Mendengar kabar itu aku jadi
sedih, akukah penyebabnya? Kukuatkan hatiku, “berilah hidayah-Mu kepadanya
sebagaimana Engkau memberikan hidayah-Mu kepadaku”, doaku dalam hati.
"San, itu ditunggu si Ina, jadi rapat nggak?" tanya Atika.
"Oh
ya..", tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku, astaghfirullah....
* * *
* *
Tahun
berganti tahun. Kini aku telah menamatkan sekolahku di SMUN 10 dengan
menggandeng Nem tertinggi di sekolahku. Alhamdulillah....syukurku. Tak lupa
kutunjukkan keberhasilan itu pada mama, papa dan juga mbak Nila. Semuanya
merasa senang dan gembira dengan prestasiku. Mama dan papa berniat mengajakku
berlibur ke Amsterdam. Mbak Nila juga tidak ketinggalan ikut menghadiahkan
sebuah Alquran kecil padaku.
"Semoga tiap kali membaca Alquran
ini, dik Santi dapat teringat dengan mbak Nila", ucapnya.
“Ah...mbak Nila, tanpa hadiah pun aku akan tetap mengingat persaudaraan kita
ini. Kaulah yang mengajakku untuk mencapai hidayah-Nya”. Kupeluk tubuhnya, aku
terharu dengan segala perhatiannya selama ini.
"Dik Santi, percayakah dik Santi, kalau ada pertemuan pasti ada
perpisahan?" tanya mbak Nila.
"Ya.. percaya", jawabku.
Mbak
Nila tersenyum.,"begitu juga dengan kita". Perkataannya ini membuat
aku langsung berpaling kearahnya.
"Maksud mbak?" tanyaku.
"Dik Santi jangan bersedih ya..., sepertinya kita akan sementara
berpisah. Mbak akan pulang ke Yogya, ada
telegram dari ayah dan ibu yang menyuruh mbak harus cepat pulang".
"Jadi mbak akan pergi meninggalkanku?".
"Yah begitulah dik..., mbak akan menikah".
"Apa mbak?, mbak akan menikah?". Mbak Nila mengangguk.
Entah perasaan apa yang sekarang ada dalam hatiku,
bahagia atau sedih. Bahagia.., wajar karena kebahagiaannya kebahagiaanku juga.
Mbak Nila bahagia karena akan menggenapkan dinnya yang separuh. Sedih..., itu
pun ada karena kami akan berpisah, entah itu buat sementara atau selamanya.
"Mbak, sebenarnya aku ingin kita selalu dapat bersama".
"Yah..itu rencana manusia, tapi bila Allah menghendaki lain, kita
tidak bisa mengelak dari kehendak-Nya. Dik San ti jangan bersedih ya, insya
Allah...Allah akan mengganti yang lebih baik dari mbak. Yang penting selalulah
istiqomah di jalan-Nya. Kuatkan hatimu dalam menggarungi ujian yang menghampiri,
selalu bersabar. Dengan begitu engkau akan merasa Allah dekat denganmu. Dan
terakhir, sering-sering ya kirim surat ke mbak, insya Allah mbak akan balas.
San.., mbak tidak ingin mendengar setelah mbak pergi kalau Santi nggak semangat lagi dalam hari-harinya".
"Terima kasih mbak. Semoga mbak tidak melupakanku. Dan aku akan
selalu mengingat mbak sampai kapan pun, karena mbak sudah seperti saudara
kandungku sendiri, dan melalui mbak juga aku menemukan cinta sejati dan
persaudaraan karena Allah. Doakan aku ya mbak semoga aku tetap istiqomah,
begitu juga dengan mbak, semoga selalu istiqomah bersama dengan suami mbak
Nila". Tak terasa mataku basah..., aku menangis, mbak Nila juga. Kami saling berpelukan seakan kami tidak
ingin kehilangan satu sama lain.
* * *
* *
Mbak
Nila telah pergi tapi seakan ia tidak
pernah pergi dari hatiku. Ia selalu
berada dalam hari-hariku. Kupandangi potonya yang tersenyum manis. Tak terasa
gumpalan-gumpalan bening kembali menggenangi bola mataku. Bila teringat
hari-hari yang kami lalui dengan keceriahan dan cengrama, aku akan selalu
menangis. Tapi aku akan selalu berdoa semoga suatu saat kita kan dapat bertemu
kembali.
* *
* * *
Kreasi edisi 19
0 komentar:
Post a Comment