Mahaguru
Spektakuler
BIOGRAFI
DUA GURU K.H. NOER ALIE:
GURU MARZUKI DAN SYEKH ALI AL-MALIKI
GURU MARZUKI DAN SYEKH ALI AL-MALIKI
Oleh: H. Irfan
Mas’ud, MA
الآ لن تنال العلم الاّ بستة # سأنبيك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة #
وإرشاد أستاذ وطول زمان
Pada edisi kreasi sebelumnya, telah dimuat
profil KH. Noer Alie, sang Singa Karawang Bekasi. Sumbangsih dan dedikasihnya
yang teramat besar khususnya dibidang pendidikan, membuatnya memiliki tempat
tersendiri di hati setiap orang yang mengenalnya, apalagi murid-muridnya. Mahaguru,
mungkin itulah julukan dari kesekian julukan lainnya yang pantas disematkan
pada beliau.
Namun tetap saja, dunia ini
hanyalah putaran dari sebab musabab. Kecerdasan dan kegigihan “si Belut Putih”
-begitulah KH. Noer Alie kerap disebut- tak lepas dari pemilihan lingkungan dan
pergaulan yang tepat. Di samping itu, orang-orang spektakuler yang menjadi
gurunya pun memiliki pengaruh dan sumbangsih yang tak kalah besar terhadap
kesuksesan beliau. Diantaranya adalah Guru Marzuki dan Syekh Ali maliki.
Berikut kilasan biografi dan riwayat hidupnya:
·
K.H. AHMAD MARZUKI AL-BETAWI (1293 – 1353 H/1876 – 1934 M)
Nama lengkap beliau adalah “Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad
al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman al-Batawi”. Ulama terkemuka asal
Betawi yang bermazhab Syafi’i dan populer dengan sebutan Guru Marzuki. Ayahnya,
Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu
Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia. Guru Marzuki dilahirkan
pada bulan Ramadhan tahun 1293 H/1876 M di Meester Cornelis, Batavia.
Masa Pertumbuhan dan Menuntut Ilmu
Pada saat berusia 9 tahun, Guru Marzuki ditinggal wafat
ayahnya. Pengasuhannya pun beralih ke tangan ibunya yang dengan penuh kasih
sayang membina sang putra dengan baik. Pada usia 12 tahun, Marzuki dikirim oleh
sang ibu kepada seorang ahli fikih bernama Haji Anwar untuk memperdalam
Al-Qur'ân dan ilmu-ilmu dasar bahasa Arab. Guru Marzuki kemudian melanjutkan
pelajarannya mengaji kitab-kitab klasik (turats) dibawah bimbingan seorang ulama
Betawi, Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Melihat ketekunan dan kecerdasan
Marzuki-muda, sang guru pun merekomendasikannya untuk berangkat ke Mekah
al-Mukarramah guna menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Guru Marzuki yang
saat itu berusia 16 tahun pun kemudian bermukim di Mekah selama 7 tahun.
Selama tidak kurang dari 7 tahun, hari-harinya di Tanah Suci
dipergunakan Guru Marzuki dengan baik untuk beribadah dan menimba ilmu dari
para ulama terkemuka di Haramain. Ulama Haramain yang sempat membimbing Guru
Marzuki, antara lain: Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan al-Madani (w. 1329
H.), Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami (w. 1354 H.), Syekh Abdul karim
al-Daghistani, Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bogori (w. 1349 H), Syekh Ahmad
al-Khatib al-Minangkabawi (w. 1337 H.) dan lain-lain.
Ilmu yang dipelajarinya pun bermacam-macam, mulai dari nahwu,
shorof, balaghah (ma‘ani, bayan dan badi‘), fikih, ushul fikih, hadits,
mustholah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idh, hingga ke ilmu falak
(astronomi). Dalam bidang tasawuf, guru Marzuki memperoleh ijazah untuk
menyebarkan tarekat al-‘Alawiyah dari Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi
(w. 1331 H.) yang memperoleh silsilah sanad tarekatnya dari Syekh Ahmad Zaini
Dahlan (w. 1304 H/1886 M.), Mufti Syafi’iyyah di Mekah al-Mukarramah.
Dalam disertasi doktoralnya di Fak. Darul Ulum, Cairo
University (hal. 63 – 66), Daud Rasyid memasukkan Guru Marzuki sebagai salah
seorang pakar hadits Indonesia yang sangat berjasa dalam penyebaran
hadits-hadits nabi di Indonesia dan menjaga transmisi periwayatan sanadnya.
Sistem Mengajar dan Para Muridnya
Sesudah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayid Usman
Banahsan, Guru Marzuki mengajar di masjid Rawabangke selama 5 tahun, sebelum
pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia merintis berdirinya
pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang mondok di sini memang
tidak banyak, ditaksir sekitar 50 orang yang mayoritas datang dari wilayah
utara dan timur Jakarta (termasuk Bekasi).
Guru Marzuki biasa mengajar muridnya sambil berjalan di kebun
dan berburu bajing (tupai). Ke mana sang guru melangkah, ke sana pula para
murid mengikutinya dalam formasi berkelompok. Setiap kelompok murid biasanya
terdiri dari empat atau lima orang yang belajar kitab yang sama, satu orang di
antaranya bertindak sebagai juru baca. Sang guru akan menjelaskan bacaan murid
sambil berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang
belajar kitab lain lagi menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama
seperti kelompok sebelumnya.
Mengajar dengan cara duduk hanya dilakukan oleh Guru Marzuki
untuk konsumsi masyarakat umum di masjid. Meskipun demikian, anak-anak
santrinya lah yang secara bergiliran membacakan sebagian isi kitab untuk sang
guru yang memberi penjelasan atas bacaan muridnya itu. Para juru baca itu kelak
tumbuh menjadi ulama terpandang di kalangan masyarakat Betawi dan sebagian
mereka membangun lembaga pendidikan yang tetap eksis sampai sekarang, seperti
KH. Noer Alie (pendiri Pesantren Attaqwa, Bekasi), KH. Mukhtar Thabrani
(pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH. Abdul malik (putra Guru Marzuki), KH.
Zayadi (pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), KH. Abdullah Syafi’i
(pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Jatiwaringin) dan ulama-ulama lainnya.
Selain KH. Abdul Malik (Guru Malik), putera-putera Guru marzuki yang lain juga
menjadi tokoh-tokoh ulama, seperti KH. Moh. Baqir (Rawabangke), KH. Abdul
Mu’thi (Buaran, Bekasi), KH. Abdul Ghofur (Jatibening, Bekasi).
Guru Marzuki dan Jaringan Ulama Betawi
Dalam kajian Abdul Aziz, MA., peneliti Litbang Depag dan
LP3ES, Guru Marzuki termasuk eksponen dalam jaringan ulama Betawi yang sangat
menonjol di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama lima tokoh ulama
Betawi lainnya, yaitu: KH. Moh. Mansur (Guru mansur) dari Jembatan Lima , KH.
Abdul majid (Guru Majid) dari Pekojan , KH. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari
Gongangdia , KH. Mahmud Romli (Guru mahmud) dari Menteng , dan KH. Abdul Mughni
(Guru Mughni) dari Kuningan-Jakarta Selatan .
Guru Marzuki beserta kelima ulama terkemuka Betawi yang hidup
sezaman ini memang berhasil melebarkan pengaruh keulamaan dan intelektualitas
mereka yang menjangkau hampir seluruh wilayah Batavia (Jakarta dan sekitarnya).
Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh “enam pendekar-ulama Betawi” hasil
gemblengan ulama haramain inilah yang kelak menjadi salah satu pilar kekekuatan
mereka sebagai kelompok ulama yang diakui masyarakat dan telah berjasa
menelurkan para ulama terkemuka Betawi selanjutnya.
Wafatnya
Guru Marzuki —rahimahullah wa ardhahu— wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353
H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan Habaib,
Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah yang diimami
oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1388/1968) .
Di masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama
yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga
dikenal sebagai seorang sufi, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan
peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau tidak lepas dari
mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir kepada Allah swt. Salah
satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir,
dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî.
·
SYEKH MUHAMMAD ALI AL-MALIKI (1287 – 1367 H/1870 – 1948 M)
Nama lengkap beliau adalah “Muhammad Ali bin Husain bin
Ibrahim bin Husain bin ‘Abid al-Makki al-Maliki, berasal dari keturunan Maroko
yang lahir dan menetap di Mekah. Syekh Muhammad Ali al-Maliki dikenal sebagai
“Mahaguru pada masanya” (Syaikh masyayikh ‘ashrihi), dan karena kepakarannya
yang tak tertandingi dalam bidang gramatika bahasa Arab, dijuluki sebagai
“Sibawaihi zamannya” (Sibawaihi zamânihi).
Syekh Al-Maliki dilahirkan di kota Mekah pada tahun 1287
H/1870 M dan meninggal di kota Tha’if pada tahun 1367 H/1948. Di antara
guru-guru yang membekalinya ilmu-ilmu keagamaan dan tatabahasa Arab adalah
saudaranya sendiri yang saat itu menjabat sebagai mufti mazhab Maliki di Mekah,
Syekh Abid bin Husain al-Maliki (w. 1292 H) . Salah satu karyanya adalah
“Tadrîb ath-Thullâb fi Qawâ‘id al-I‘râb”,. Di samping menguasai fikih Maliki, beliau juga
mendalami dan menguasai fikih Syafi’i di bawah bimbingan seorang faqih shufi,
Syeikh Sayyid al-Bakri Syatta (lahir 1310 H), pengarang kitab I‘anah
ath-Thalibin, sebuah kitab fikih Syafi’i yang menjadi buku daras di berbagai
pesantren di Indonesia, termasuk di Pesantren Tinggi Attaqwa. Dan masih banyak
ilimu-ilmu lainnya seperti ilmu hadis dan tashawuf,yang semakin membuatnya
sangat layak untuk disebut dengan Mahaguru.
Setelah menamatkan pelajarannya di bawah
bimbingan para ulama Haramain terkemuka di masanya, Syekh al-Maliki mendermakan
ilmu dan hidupnya mengajar di Masjidil Haram dan Madrasah Darul Ulum, Mekah,
yang didirikan oleh ulama-ulama haramain asal Melayu-Nusantara, dan menjabat
sebagai pimpinan para syekh (Syaikhul Masyayikh) sejak pertama kali madrasah
tersebut berdiri pada tahun 1933 . Kepakarannya di berbagai bidang ilmu-ilmu
keislaman dan tata-bahasa Arab, menjadi magnet tersendiri bagi para pelajar
Arab dan non-Arab —bahkan tidak sedikit yang sudah bergelar ulama— yang datang
berguru kepadanya. Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa hampir
seluruh ulama Hijaz dan para penuntut ilmu dari Melayu-Nusantara (yang mencakup
Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan dan Brunei) yang menjadi
muridnya. Salah satunya adalah Syekh Hasan al-Masysyat (w. 1399 H). Adapun
murid-murid beliau yang berasal dari Indonesia, antara lain: Syekh Muhsin
al-Musawa (w. 1354 H.) , “Enam Pendekar-Kiyai Betawi” (Guru Mansur, Guru Majid,
Guru Romli, Guru Marzuki, dan Guru Mughni), Musnid ad-Dunya Syekh Muhammad
Yasin al-Fadani (w. 1990) , KH. Noer Alie (w. 1992 M.) dan lain-lain.
Hubungan Syekh Ali Maliki dengan KH. Noer Alie
Hubungan K.H. Noer Ali dengan guru yang satu ini memang
agak lebih istimewa dibandingkan dengan guru-gurunya yang lain di Haramain.
Keistimewaan itu terlihat karena Guru Marzuki yang juga murid Syekh Ali
al-Maliki, diduga kuat telah merekomendasikan KH. Noer Alie untuk melanjutkan
pelajarannya langsung di bawah bimbingan Syekh al-Maliki yang pernah menjadi
gurunya di Mekah.
Selain itu, keistimewaan Syekh al-Maliki bagi KH. Noer
Alie juga terlihat dari beberapa ijazah hizb dan wirid yang didapatkannya
langsung dari Syekh Ali al-Maliki. Ijazah (sertifikasi) wirid dan hizb ini
menunjukkan inisiasi Syekh Ali al-Maliki dan para ulama di masanya pada
tasawuf-sunni —lawan dari tasawuf falsafi— yang berupaya mengharmonisasikan
antara aspek lahiriah-eksoteris (syariat) dan zuhud-esoteris (hakikat), suatu
upaya yang kemudian diikuti dengan setia oleh murid-muridnya, termasuk KH. Noer
Alie dan para murid beliau yang setia.
Wallâhu A‘lam.
0 komentar:
Post a Comment