Oleh:
Fitrian Nabil[2]
I. Prolog
Sebagai umat Nabi Muhammad Saw., sudah
seharusnya kita hidup dengan semua makhluk Allah Swt. dengan akhlak yang bagus, baik itu dengan manusia ataupun hewan. Baik itu
sesama muslim maupun non-muslim. Terutama jika ada diantara saudara atau teman atau tetangga
kita yang beragama non-muslim. Dan apa yang akan kita lakukan jika mereka
memberikan ucapan selamat ketika kita merayakan hari raya kita, apakah kita
harus membalas ucapan tersebut pada hari raya mereka?
Hukum mengucapkan selamat kepada non-muslim pada hari raya mereka memang
permasalahan yang ambigu[3].
Tak bisa dielakkan lagi, para ulama terdahulu dan kontemporer pun berselisih tentang hukum didalamnya. Dalam kesempatan ini,
pemakalah ingin memaparkan beberapa pendapat para ulama didalam hukum pengucapannya. Diantara mereka ada
yang menolak dengan keras, dan memberikan fatwa haram, dan ada pula yang
membolehkannya. Diantara kita masih ada yang
belum mengetahui pendapat ulama tentang itu, dalam waktu yang
bersamaan diantara kita ada yang mengetahuihanya satu pendapat dan satu dalil,
tanpa melihat pendapat lain yang dimana pendapat ini juga mempunyai dalil yang kuat.
Lalu dengan yakinnya dia mengatakan bahwa perbuatan ini hukumnya seperti ini.
Sungguh betul kaidah
yang mengatakan :
مَنْ كَثُرَ عِلْمُهُ قَلَّ إِنْكَارُهُ
“Siapa yang banyak ilmunya niscaya sedikit menyalahkan”.
Tidak banyak yang bisa saya paparkan dalam makalah ini, karena keterbatasan
ruang dan waktu. Akan tetapi sayaberharap, semoga dengan
tulisan yang sedikit ini bisa membuka pemikiran dan menambah cakrawala kita.
II. Ulasantema
Para ulama terdahulu maupun sekarang berbeda pendapat didalam hukum
mengucapkan selamat kepada non-muslim pada hari raya mereka. Disini ulama
terbagi kepada dua pendapat; ada yang melarangnya
dan ada yang membolehkannya. Ulama yang dimaksud disini adalah ulama-ulama yang
mu’tamad; yaitu yang bisa dipercaya dalam pengambilan hukum mereka
dengan berlandaskan nash-nash yang kuat dan terpercaya. Karena diantara
mereka ada yang tidak mu’tamad, seperti ulama kaum liberal dan plural.
Karena mereka tidak berpondasi pada dasar yang kuat. Juga mereka
bependapat sesuai dengan nafsu mereka, yaitu mengatakan bahwa semua agama itu
benar.
Maka dari itu tidak perlu untuk mendatangkan dan memaparkan pemikiran para
liberalis dan pluralis, dan hanya berfokus kepada ulama-ulama ahlussunnah
wal-Jama’ah, berikut adalah uraian pendapat ulama didalamnya.
1.
Pendapat yang melarangnya
Diantara ulama terdahulu yang paling keras melarang pengucapan selamat
kepada non-muslim adalah Syaikul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul-Qoyyim
al-Jauziyah, disebutkan didalam kitab “Ahkamu Ahliz-zimmah" milik Ibnul-Qoyyim,
beliau menyebutkan : “Adapun pemberian selamat di upacara spiritual mereka itu
haram hukumnya secara sepakat. Seperti memberikan ucapan selamat pada hari raya
dan puasa mereka”.[4]
Dengan pemaparan Ibnul-Qoyyim diatas, Syekh Muhammad bin Sholih
al-‘Utsaiminmemberikan penjelasan bahwa pengucapan selamat kepada non-muslim pada
hari raya mereka secara tidak langsung menganggap betul apa yang diyakini oleh
non-muslim tersebut serta ridha bagi mereka dengan akidah mereka itu.
Meskipun seorang muslim itu tidak ridha bagi dirinya sendiri dengan
akidah mereka. Karena itulah, haram hukumnya bagi seorang muslim ridha dengan
ibadah serta perayaan non-muslim[5], hal ini berdasarkan
firman Allah Swt yang artinya sebagai berikut:
“JikakamukafirMakaSesungguhnya Allah
tidakmemerlukan (iman)mu, danDiatidakmeridhaikekafiranbagihamba-Nya;
danjikakamubersyukur, niscayaDiameridhaibagimukesyukuranmuitu”.[6]
Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa pengucapan selamat kepada
non-muslim merupakan peniruan tingkah laku terhadap mereka, karena itu Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan dalam kitabnya “Iqtidhau as-Shirathil-Mustaqim
li mukhalafati ashabil-Jahim” : “Peniruan terhadap mereka (non-muslim) pada
hari raya mereka dengan tujuan menghibur hati mereka dengan apa yang mereka
lakukan adalah termasuk perbuatan yang bathil”.[7]Dikhawatirkan
jika kita memberikan kata selamat kepada mereka pada hari raya mereka, akan
mengakibatkan semakin kuat keyakinan mereka, dan semakin senang akan apa yang
mereka anut, padahal apa yang mereka anut itu adalah salah.
Ada pula ulama belakangan ini yang mengeluarkan fatwa haram, seperti Syekh
Abdullah bin Baz, karena pengucapan selamat ini merupakan bentuk penyerupaan
orang muslim terhadap non-muslim, sedangkan menyerupai non-muslim haram
hukumnya, berdasarkan hadis Rasulullah Saw. :
"مَنْ تَشَبَهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ"
“Siapa yang meniru-niru suatu kaum,
maka dia termasuk kaum tersebut”
Lalu apabila seorang non-muslim mengucapkan selamat kepada kita (muslim)
pada hari raya kita, kita tetap tidak boleh mengucapkan selamat kepada mereka
pada hari raya mereka, juga apabila mereka mengucapkan selamat kepada kita pada
hari raya mereka, maka kita tidak boleh menjawab ucapan mereka tersebut. Karena perayaan tersebut bukan perayaan kita sebagai umat
Islam, sebuah perayaan yang tidak Allah Swt. ridhai. Baik perayaan itu sudah ada sejak dulu mau pun sesuatu
yang baru-baru mereka buat tetaplah perayaan itu tidak benar, karena setelah datangnya
Islam, segala agama-agama sebelumIslam telah terhapus dengan adanya Islam. Dan siapa yang
mengharapkan agama selain Islam, maka ditolak,[8]
yang tertulis dalam al-Quran :
“Barangsiapamencari agama selain agama
Islam, makasekali-kali tidakakanditerima (agama itu) daripadanya, dandia di
akhirattermasuk orang-orang yang rugi”.[9]
Disebutkan juga didalam kitab“Ahkamu ahliz-Zimmah”,
bahwa kebanyakan orang yang tidak memiliki capability dalam agama,
akan terperosok melakukannya (mengucapkan selamat), diapun tidak mengetahui keburukan
yang dia perbuat. Dan siapa orang yang
melakukan ucapan selamat kepada seorang hamba dalam hal kemaksiatan,
bid’ah dan kekufuran, maka dia sungguh telah memancing kemarahan dan kemurkaan AllahSwt.,[10] wal-‘Iyadzubillah.
Banyak juga ulama-ulama kontemporer yang melarang melakukannya, bahkan ada
yang melarang membantu dalam pekerjaan orang non-muslim dalam menyiapkan
perayaan mereka, seperti menyiapkan teh, kopi, dan bentuk bantuan lainnya. Hal
ini berdasarkan bahwa perayaan non-muslim merupakan bentuk perbuatan dosa,
sedangkan membantu seseorang dalam perbuatan dosa adalah hal yang diharamkan
oleh Allah :
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran, dan bertakwalah kalian kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat
berat siksa-Nya”.[11]
2. Pendapat
yang membolehkan
Permasalahinimerupakanpermasalahan
yang sangatpentingdansangatsensitif. Sehingga menuntut
para fuqaha memutar balik otak didalam menentukan hukum ini, bagaimana
mereka bisa menyesuaikan hukum ini dengan waktu dan tempat. Diantara ulama yang
membolehkan pengucapan selamat kepada non-muslim akan hari raya mereka adalah
Syekh Yusuf Qardhawi. Hal ini berdasarkan dengan ayat al-Quran :
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.[12]
Dua ayat diatas menunjukkan bahwa non-muslim terbagi kepada dua kelompok,
diantara mereka ada yang menerima umat muslim dan ada juga yang membenci serta
memeranginya.
Lafaz “أن
تبروهم”
pada ayat diatas menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kita tuk berbuat baik
kepada non-muslim selama mereka tidak membenci atau memerangi umat Islam.
Karena makna “ألبر
“ itu sendiri adalah memberikan sesuatu yang kita miliki kepada orang lain,
maka ini jauh lebih mulia dari pada “"القسط yang bermakna adil, yang dimana adil disini ialah
memberikan sesuatu sebatas yang menjadi hak mereka.[13]
Pengucapan selamat juga diperbolehkan apabila seorang non-muslim
mengucapkan selamat pada hari raya umat Islam, ini dikarenakan Allah sangat
menganjurkan kepada kita agar membalas sebuah kebaikan orang lain dengan
perbuatan yang jauh lebih baik atau yang setara, berdasarkan ayat al-Quran:
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa).
Sesungguhnya Allah memperhtungankan
segala sesuatu”.[14]
Karena itulah perbuatan ini termasuk perbuatan yang baik antara muslim
dengan non-muslim, seperti menjenguk ketika mereka sakit, saling memberi dan
menerima hadiah, menjamu dan lain-lain, karena ini adalah bentuk dakwah seorang
muslim, yaitu dengan akhlaqul-Karimah dan perbuatan baik lainnya. [15]
Imam al-Mardawi juga menyebutkan didalam hukum pengucapan selamat kepada
non-muslim dia berkata didalam kitabnya “Al-Inshaf” : “perkataannya (Imam Ahmad) tentang
pengucapan selamat, takziyah, dan menjenguk mereka (non-muslim) ketika
sakit itu ada dua riwayat, dan beliau menyebutkannya didalam kitab
“Al-Hidayah”, bahwa perkataan ulama tentang itu saling bertentangan, dan Islam
mempersilahkannya (pengucapan selamat), aku berpendapat : inilah yang benar”.[16]
Kebanyakan daripada ulama terdahulu melarang pengucapan selamat kepada
non-muslim pada hari raya mereka dikarenakan kondisi yang berbeda dengan zaman
sekarang. Hal ini senada dengan pendapat Syekh Yusuf al-Qardhawi, bahwa beliau
berbeda pendapat denganIbnu Taimiyyah pada hal ini, kemungkinan Ibnu Taimiyyah
memaparkan pendapatnya itu karena kondisi saat itu yang menuntut hal tersebut,
karena pada zaman Ibnu Taimiyyah banyak terjadi peperangan antara muslim dengan
non-muslim. Kalau saja beliau hidup pada zaman sekarang yang dimana kehidupan
muslim dan non-muslim saling berkaitan dan harmonis, kemungkinan besar dia akan
memperbolehkannya.[17]
Syekh ‘Alisy pernah ditanya tentang pengucapan selamat kepada non-muslim :
“Apakah itu (pengucapan selamat kepada non-muslim) dianggap murtad?’ beliau
menjawab : “tidaklah murtad orang yang berkata kepada nasrani : “semoga Allah
memberikanmu kehidupan setiap tahun” dengan tidak bermaksud mengkultuskan
kekufurannya dan juga tidak ridha dengan akidahnya”.[18]
DR. Wahbah Zuhaily juga berasumsi demikian, bahwa berbagai macam etika dan
pergaulan dengan non-muslim seperti bertukar kartu ucapan atau salingmenziarahi
pada hari-hari raya itu tidak masalah, selama tidak bertentangan dengan syariat
Islam.[19]
Beberapa majlis fatwa juga mengeluarkan fatwa, seperti badan fatwa “Darul-Ifta
al-Mishriyyah al-‘Arabiyah” pada situs webnya menyatakan boleh hukumnya
mengucapkan selamat kepada non-muslim pada hari raya mereka.[20] Begitu juga badan fatwa
di Eropa, memberikan hukum yang sama. Dan ini memang sebuah permasalahan yang
sangat membutuhkan jawaban yang bijak, karena saudara-saudara muslim yang menjadi kaum minoritas
di Negara-negara Eropa, mereka hidup saling berdampingan dengan masyarakat non-muslim,
sudah menjadi kerabat dekat dan saling memberibahkan seperti saudara. Maka dari itu perbuatan ini termasuk perbuatan baik, yang dimana perbuatan baik itu sangat
dianjurkan oleh Islam, sebagaimana Allah perintahkan dalam al-Quran :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil pelajaran”.[21]
Pengucapan selamat ini boleh dilakukan dengan berbagai bentuk, baik secara
langsung, yaitu dengan lisan, maupun dengan tulisan atau surat. Baik secara
pribadi ataupun atas nama organisasi.
Akan tetapi, pembolehan hukum memberikan selamat ini tidak secara mutlak,
bahkan ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati oleh seorang muslim.
Pengucapan selamat kepada non-muslim ini
diperbolehkan selama pengucapan selamat ini tidak menyinggung sesuatu dari
keyakinan atau akidah mereka, seperti ucapan “semoga Allah memberkahimu di hari
rayamu ini”. Juga tidak meyakini bahwa agamanya benar, karena jika seorang
muslim mengucapkan selamat kepada non-muslim bersamaan dengan membenarkan
akidahnya dan meyakini apa yang mereka lakukan itu tidak salah maka itu
dianggap sama saja seperti mereka, yaitu tunduk kepada tuhan mereka yang mereka
yakini, dan ini adalah perbuatan yang dimurkai oleh Allah Swt. daripada
membunuh, meminum khamardan berzina[22].
Jadi pengucapan selamat kepada non-muslim pada hari rayanya tidaklah haram
menurut beberapa pendapat para ulama, karena ini adalah termasuk perbuatan
baik, selama tidak membenarkan apa yang mereka yakini serta tidak menyinggung
akidahnya
.
III.
Kesimpulan
Dengan beberapa beberapa dalil-dalil dan pemaparan pendapat ulama yang rasikh
dalam bidangnya, penulis ingin memberikan kesimpulan. Sudah sepatutnya kita
sebagai penuntut ilmu yang tidak hanya terpaku pada satu mazhab atau
satu pendapat, sehingga kita tidak termasuk orang-orang yang sedikit ilmunya
dan banyak menyalahkan. Maka dari pengucapan selamat kepada non-muslim bukan
perbuatan yang dilarang, ini dikarenakan hubungan antara muslim dengan
non-muslim yang harmonis, tapi akan berbeda cerita jika non-muslim itu memusuhi
Islam, berdasarkan pada surat Al-Mumtahinah ayat 8-9 yang telah disebutkan
diatas.
Akan tetapi pengucapan selamat tetap harus berada di koridor-koridor yang
ditetapkan Islam, yaitu pengucapan yang tidak menyinggung akidah mereka, serta
tidak pula senang dengan agama yang mereka anut. Karena jika senang dengan
keyakinan mereka, dan menganggap benar, maka ini akan
melahirkan pemikiran pluralisme, yang mengatakan bahwa semua agama benar, na’udzu
billah.
Dan yang menjadi pertanyaan kita sekarang, mengapa para ulama berbeda
pendapat pada satu hal, dan memberikan fatwa yang bermacam-macam?
Hal ini dikarenakan pokok permasalahan ini yang berada di area ikhtilaf,
ini ditinjau dari ke-tsubut[23]-andan dilalah[24]pada
sebuah nash[25].
Tsubutdan dalalah sebuah nash mempunyai dua nilai hukum; qath’i[26]dan
zhanni[27].
Sementara permasalahan ini berada di hukum yang zhanni. Yaitu sebuah hukum yang memang diperbolehkan
berbeda pendapat didalamnya, dan bisa berubah sewaktu-waktu sesuai kondisi pada
saat itu. Akan tetapi ranah ini tidak semua manusia bebas menetukan hukumnya
hanya orang yang mempunyai kapasitas yang bisa menentukannya.
Zaman kita dengan zaman Ibnu Taimiyyah sangat berbeda, baik kondisi maupun
situasi. Itulah mengapa Syekh Yusuf al-Qardhawi mengungkapkan, “kalau saja Ibnu
Taimiyyah hidup pada zaman sekarang, mungkin dia akan merubah fatwanya, dan
membolehkan perbuatan (pengucapan selamat) tersebut”.
Dan kesimpulan terakhir yang bisa diambil adalah bahwa perbedaan pendapatnya itu berkutat pada
ranah yang berbeda. Karena pendapat yang tidak membolehkan itu menganggap bahwa
perbuatan itu masuk dalam ranah akidah, sedangkan pendapat yang membolehkannya
menganggap bahwa perbuatan itu masuk dalam ranah mujamalah atau bentuk
pergaulan. Indahnya jika kita berada
dalam akidah yang mutawassith, yaitu tidak terlalu ekstrim dan tidak
pula terlalu toleran, seperti kaum liberalis dan pluralis.
Wallahu a’lam
KajianFikihTradisional
DepartemenIntelektual IKPMA
Rabu, 13 Februari 2013
DaftarPustaka
Al-Quran al-Karim.
Al-Jauziyah, Ibnul-Qoyyim, Ahkamu
ahliz-Zimmah, (Arab Saudi: Ramadi-Dimam, cet. I, 1997)
Al-Qardhawi, Yusuf, Fatawa
mu’ashirah, (Kairo: Dar el-Qalam, cet.III, 2003)
Jum’ah,
Ali, Al-Bayan limayushghilul-Adzhan, (Kairo: Dar el-mukatam, cet.I,
2005)
Taimiyyah, Ibnu, Iqtidhau
al-Shirathi al-Mustaqim li mukhalafati ashab al-Jahim, (Riyadh:
Maktabah el-Rusyd, cet. I)
Zuhaili,
Wahbah,Mausu’ah al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar el-Fikr, cet.I, 2010)
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=120325
http://www.dar-alifta.org
[1]Makalahinidipresentasikanpadakajianfikihtradisional
yang dilaksanakan di sekretariat IKPMA. Rabu, 13 Februari 2013.
[2]Mahasiswatingkat III fakultasUshuludinHadisUniversitas
Al-AzharKairo.
[3]Bermaknalebihdarisatu; ketidakjelasan;
kekaburan.
[4]Ibnul-Qoyyim Al-Jauziyah, Ahkamu ahliz-Zimmah,juz 1, pentahkik Yusuf bin
Muhammad Al-Bakri dan Syakir bin Taufiq al-Aruwi, penerbit Ramadi-Dimam, Arab Saudi,
1997, cet. I, hal.441
[5]sebagian fatwa-fatwa Syekh
Muhammad bin Sholih al-Utsaimin di situs web :
www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=120325
[6]QS. Az-Zumar:07
[7] Ibnu Taimiyyah, Iqtidhau
as-Shirathil-Mustaqim li mukhalafati ashabil-Jahim, vol.1, pentahkik Nashir
bin Abdul Karim al-‘Iql, Maktabah el-Rusyd, Riyadh, hal.486
[8]sebagian fatwa-fatwa Syekh
Abdullah bin Baz di situs web :
www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=120325
[9]QS. Al-Baqoroh:85
[10] Ibnul-Qoyyim Al-Jauziyah,
Ahkamu ahliz-Zimmah, juz 1, pentahkik Yusuf bin Muhammad Al-Bakri dan
Syakir bin Taufiq al-Aruwi, penerbit Ramadi-Dimam, Arab Saudi, 1997, cet. I,
hal.441
[11]QS. Al-Maidah:02
[12]QS. Al-Mumtahinah:07-08
[13]Yusuf al-Qardhawi, Fatawa
Mu’ashirah, jilid 3, Dar el-Qalam, Kairo, cet.III, 2003, hal.669
[14] QS. An-Nisa:86
[15] Ali Jum’ah, Al-Bayanlimayushghilul-Adzhan,Dar
el-mukatam, Kairo, cet.I, 2005, hal.60
[17]Yusuf al-Qardhawi, op. cit., hal.673
[18] Ali Jum’ah, Al-Bayan limayushghilul-Adzhan,
Dar el-mukatam, Kairo, cet.I, 2005, hal.60
[19]WahbahZuhaili,mausu’atul-Fiqhil-Islami,juz
1, Dar el-Fikr, Damaskus, cet.I, 2010, hal.772
[20]Situs
webresmidarul-iftaMesir : www.dar-alifta.org
[21]QS. An-Nahl:90
[22]Ibnul-Qoyyim Al-Jauziyah, Ahkamu ahliz-Zimmah, juz 1, pentahkik Yusuf
bin Muhammad Al-Bakri dan Syakir bin Taufiq al-Aruwi, penerbit Ramadi-Dimam,
Arab Saudi, 1997, cet. I, hal.441
[23]Kebenaransumber
[24]Kandunganmakna
[25]Al-Quran danHadisNabi.
[26]Absolut, universal danpermanen.
[27]Relatifdandapatberubah.
0 komentar:
Post a Comment