Oleh: Iid Hidayatullah[2]
1. Prolog
Segala puji bagi Allah, Rabbul
'izzah yang memiliki kasih sayang tanpa batas kepada makhluk-Nya, yang telah
memuliakan kita dengan syari'at Islam. Shalawat serta salam selalu tercurahkan
kepada baginda nabi besar kita sayyiduna Muhammad Saw. Beliaulah satu – satunya
pembawa Risalah Allah Swt. yang dijadikan sebagai "rahmatan lil
'alamiin".
Syari'at Islam merupakan sebuah
ketentuan yang Allah tetapkan kepada hamba-Nya agar mereka ingat tujuan mereka
diciptakan, membuat mereka berlomba – lomba dalam ketaqwaan, guna mendekatkan
diri kepada Allah SWT dan mengikuti sunnah Rasul-Nya. Oleh sebab itu munculah
ilmu Fiqih sebagai media perantara untuk
sampai pada tujuan tersebut. Dan seiring berjalannya waktu dan bergantinya
zaman terjadi banyak permasalahan yang berkembang bersamanya, membawa kita
untuk berfikir dan membedakan mana yang haq dan mana yang bathil.Dan talfiq
merupakan salah satu dari sekian banyak hal baru yang terjadi pada zaman kita
sekarang. Untuk lebih jelasnya mari kita
lihat pembahasan selanjutnya.
2. Definisi talfiq
Dalam bahasa Arab kata talfiq (التلفيق) berasal dari kata (لفق – يلفق - تلفيقا)
yang
berarti mengabungkan sesuatu dengan yang lain. Misalnya dalam ungkapan لفقت الثوب)) yang artinya saya menggabungkan antara kedua
ujung baju (pakaian/kain), satu dengan yang lain, lalu menjahitnya.[3]
Adapun definisi talfiq secara
terminologi adalah: mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau mu'amalah) yang
belum pernah dikatakan oleh para ulama mujtahid sebelumnya.[4]
Maksudnya adalah perbuatan tersebut masih dalam ruang lingkup bertaqlid
(mengikuti) pendapat para ulama madzhab, namun perbuatan tersebut dilakukan
dengan cara mengambil dua cabang suatu perkara atau lebih dari pendapat para
ulama madzhab, lalu menggabungkannya menjadi sebuah perkara yang belum pernah
dilakukan sama sekali oleh salah seorang dari para ulama madzhab.
Contohnya adalah ketika
seseorang bertaqlid kepada pendapat madzhab Imam Syafi'i dalam hal menyapu
sebagian kepalanya di dalam berwudhu, kemudian orang tersebut mengikuti
pendapat madzhab Imam Abu hanifah dan Imam Malik dalam hal tidak batalnya wudhu
seseorang ketika orang tersebut bersentuhan kulit dengan yang bukan mahramnya.
Kemudian dia shalat. Maka wudhu yang seperti ini belum pernah dikatakan oleh
para Imam madzhab. Wudhu ini dianggap batal menurut madzhab Syafi'I karena
orang tersebut telah bersentuhan kulit dengan yang bukan mahram. Dan Imam Abu
Hanifah juga memperbolehkannya karena orang tersebut tidak menyapu 1\4 bagian
kepala, dan madzhab Imam Malik juga tidak menyetujuinya karena orang tersebut
tidak menyapu seluruh bagian kepala serta tidak melakukan dalk (penggosokan) terhadap seluruh anggota wudhu,
dan seterusnya.
3. Ruang lingkup Talfiq
Masalah talfiq hanya mencakup
pada ruang lingkup permasalahan yang ijtihadi[5]
yang bersifat zhanni (bukan perkara yang qath'i/pasti).Adapun
perkara yang disandarkan dengan hukum – hukum syar'i (qath'i)
yang wajib diketahui dalam Islam yang telah disepakati oleh umat Islam dan
dihukumi kafir bagi yang mengingkarinyamaka tidak diperbolehkan bertaqlid
apalagi melakukan talfiq di dalamnya.
Dan atas dasar itu pula tidak
diperbolehkan melakukan talfiq yang mengarah kepada pembolehan sesuatu yang diharamkan
seperti khamr (minuman keras) dan zina.
4. Dalil dibolehkannya melakukan talfiq
Talfiq merupakan sesuatu yang
baru dikalangan umat Islam, istilah ini muncul sebagian umat islam mulai
menutup pintu ijtihad mereka dan memilih untuk mengikuti ulama madzhab baik
dengan berpegang kepada dalil yang mereka ambil dari ulama madzhab (ittiba'),
maupun hanya sebatas mengikuti perkataan mereka tanpa mengetahui dalil –
dalilnya (taqlid).
Menurut Al-Ustadz DR. Wahbah Zuhaili[6],
pada dasarnya melakukan talfiq itu dibolehkan untuk para muqallid[7],
karena agama Allah itu mudah, tidak sulit. Dan kebolehan melakukan talfiq
tersebut merupakan sebuah kemudahan untuk seluruh umat manusia.
Allah Subhanahu wa ta'ala
berfirman:
Artinya: "Dia (Allah
Subhanahu wa ta'ala) tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama."
Artinya: "Allah Hendak
memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat)
lemah."
Artinya:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu."
Rasulullah Saw.bersabda:
Artinya: "Aku telah diutus
dengan (membawa agama Islam) yang lurus lagi mudah.
Dalam kitab Fatawa mu'ashirah,
syekh Yusuf Al-Qardhawi memberikan beberapa kutipan terkait masalah ini,
beberapa diantaranya yaitu:
1) Madzhab – madzhab Fiqih dalam
Islam tidak terbatas hanya kepada 4 madzhab saja sebagaimana yang disangka oleh
orang yang tidak memiliki pengetahuan tentangnya, dan Imam – Imam dalam ilmu
Fiqih bukan hanya Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam syafi'i dan Imam Ahmad
saja, karena sebenarnya mereka (Imam 4) ini berada satu zaman dengan ulama –
ulama yang sederajat dengan mereka dari segi keilmuan dan ijtihad meskipun
tidak sampai melebihi mereka.
Contohnya Imam laits bin Sa'ad,
beliau hidup satu zaman dengan Imam Malik. Imam Syafi'i berkomentar tentangnya
: Imam Laits lebih faqih dari Imam malik kalaulah seandainya tidak ada para
pengikut yang mengikutinya.
Dan di Iraq pula Imam Sufyan
Ats-Tsauri yang derajat kefaqihannya tidak lebih rendah dari Imam Abu Hanifah.
Bahkan Imam Ghazali menganggapnya sebagai salah satu dari lima imam dalam ilmu
fiqih, karena keutamaan beliau sebagai Imam dalam ilmu hadits, hingga beliau
dijuluki : Amirul mu'minin dalam hadits.
Imam auza'i juga pernah menjadi
seorang Imam madzhab di Syam yang tak terbantahkan kebenarannya. Dan madzhabnya
masih diikuti selama lebih dari dua ratus tahun. Dan banyak lagi Imam – Imam
dari berbagai zaman yang lainnya.
2) Imam 4 ini tidak pernah mengakui kema'suman (keterjagaan) diri
mereka dari kesalahan.
Berkata Imam Abu Hanifah:
هذا رأيى , وهذا أحسن ما رأيت , فمن جاء برأي
خير منه قبلناه
"Ini adalah pendapatku, dan ini adalah pendapat yang paling
bagus menurut saya, maka barangsiapa yang memiliki pendapat yang lebih baik
dari ini maka kami akan menerimanya."
Berkata Imam Malik:
إنما أنا بشر أصيب و أخطئ , فأعرضوا قولى على
الكتاب والسنة
"Saya hanyalah seorang manusia biasa yang benar dan salah,
maka kembalikanlah pendapatku ini kepada kitab dan sunnah."
3) Tidak ada dalil yang mewajibkan untuk bertaqlid kepada satu madzhab
khusus.
Dengan dalil:
1. Al-Quran, Sunnah dan Ijama'
telah menetapkan bahwa Allah ta'ala hanya mewajibkan kepada hamba-Nya untuk
taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dan tidak mewajibkan kepada umat ini
untuk taat kepada seseorang secara khusus dalam perkara yang diperintahkan
Allah dan dilarang oleh-Nya kecuali kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam. Dan semuanyapun sepakat bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang
terjaga dari kesalahan kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Para Imam madzhab itu sendiri melarang
bertaqlid pendapat mereka secara buta, mereka tidak pernah menyerukan untuk
mengikuti pendapat mereka dalam agama, dan mereka pula memperingatkan orang –
orang yang mengambil pendapat mereka tanpa mengambil hujjah (dalil yang
membenarkan).
Berkata Imam Syafi'i:
مثل الذى يطلب العلم بلا حجة , كمثل حاطب ليل
, يحمل حز مة حطبوفيه أفعى , تلدغه وهو لا يدري
"perumpamaan orang yang menuntut ilmu
tanpa berhujjah (mengetahui dalilnya), seperti seorang pembawa kayu
bakar di malam hari,ia membawa seikat kayu bakar dan di dalamnya terdapat ular
berbisa. Ia mematuk orang tersebut sementara orang tersebut tidak
menyadarinya."
Berkata Imam Ahmad:
لا تقلدني و لا تقلد مالكا ولا الثورى و لا
الأوزاعي , و خذ من حيث أخذوا.
و قال : من قلة فقه الرجل أن يقلد دينه
الرجال
" Janganlah bertaqlid
kepada saya dan jangan bertaqlid kepada Imam Malik tidak pula kepada Imam
Ats-Tsauri dan tidak pula imam auza'i, dan ambilah dari (sumber) yang mereka
ambil."
Kemudian beliau berkata lagi:
"dari pada tanda- tanda
minimnya pemahaman ilmu fiqih seorang pemuda adalah dia mengikuti seseorang
dalam agamanya"
baik pada masa para sahabat,
tabi'in, dan para ulama-ulama shalih lainnya mereka semua mengambil dalil dari
kitab kemudian sunnah lalu setelah itu mengambil dalil yang benar dari
perkataan para ulama penerus para nabi.
Namun kebolehan melakukan talfiq ini tidak bersifat
mutlak dan hanya terbatas pada ruang lingkup tertentu, dan diantara talfiq
tersebut ada Bentuk Talfiq yang batil menurut dzatnya. Seperti apabila
apabila talfiq tersebut menjurus kepada penghalalan perkara yang
diharamkan (secara qath'i / pasti) seperti khamr (minuman keras), zina dan lain
– lain.
Dan ada pula yang dilarang bukan menurut dzatnya.
Tetapi karena ada yang mencampurinya (sehingga yang asalnya boleh, menjadi
terlarang) dalam jenis kedua ini terdapat 3 macam:
1-Menyengaja
hanya mencari-cari yang paling ringan (tatabbu’ ar rukhash).
Yaitu seseorang mengambil apa
yang paling ringan dari setiap madzhab, tanpa ada unsur keterpaksaan dan udzur
kuat. Hal ini terlarang demi menutup jalan-jalan kerusakan berupa usaha
pembebasan diri dari beban-beban syari’at.
Al Ghazali berkata,"Tidak
boleh seseorang mengambil madzhab lain dengan seenaknya, dan seorang awam
–juga- tidak boleh memilih yang menurutnya paling enak dari setiap madzhab
dalam setiap masalah, lalu dia memperlebarnya (ke semua masalah dengan tanpa
ada keterpaksaan) ”. Dan tentunya masuk ke dalam macam ini, yaitu mencari-cari
hukum yang paling ringan dengan seenaknya dan mengambil pendapat yang lemah
dari setiap madzhab demi mengikuti syahwat dan hawa nafsunya.
2-Talfiq yang
mengakibatkan penolakan hukum (ketetapan atau keputusan) hakim (pemerintah),
karena ketetapannya dapat menghilangkan perselisihan untuk mengantisipasi
terjadinya kekacauan.
3- Talfiq yang
mengakibatkan seseorang meninggalkan apa yang telah diamalkannya secara taklid,
atau meninggalkan perkara yang telah disepakati disebabkan oleh adanya perkara
yang ditaklidinya.
Adapun dalam urusan peribadatan
dan beban-beban syari’at yang tidak ada kesempitan untuk para hambaNya, maka
tidaklah dilarang melakukan talfiq, walaupun akan mengakibatkan ditinggalkannya
perkara yang telah diamalkan atau ditinggalkannya perkara wajib karena perkara
wajib lainnya berdasarkan ijma’, selama tidak menjurus kepada pembebasan diri
dari ikatan beban-beban syari’at, atau mengarah kepada penghapusan hikmah
ditetapkannya syari’at dengan cara mengikuti setiap hilah (rekayasa)
yang dapat merubah atau menghilangkan maksud syari’at.
Karena talfiq ini sangat
mungkin terjadi dalam masalah-masalah furu’, maka harus ada perincian
mengenai hukum masalah-masalah furu’ tersebut.Perkara-perkara furu’
dalam syari’at terbagi menjadi tiga jenis.
. 1Perkara-perkara furu' yang dibangun di atas
prinsip kemudahan dan kelapangan dengan berbagai ragamnya yang disebabkan
beragamnya keadaan para mukallaf (orang yang dibebani syari’at)
. 2Perkara-perkara furu' yang dibangun di atas
prinsip kehati-hatian dan mencari yang paling selamat.
. 3Perkara-perkara furu' yang berorientasi pada
kemaslahatan dan kebahagiaan manusia.
Jenis yang pertama, adalah
ibadah-ibadah mahdhah. Dibolehkan melakukan talfiq di dalamnya jika diperlukan,
karena dasarnya adalah melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla dan tunduk
kepadaNya dengan tanpa ada unsur kesempitan. Maka tidak boleh terjadi sikap
berlebihan dalam hal ini. Karena sikap berlebihan (melampaui batas) akan
menjerumuskan kepada kebinasaan.
Adapun ibadah-ibadah maliyah
(dengan harta), maka haruslah diperketat untuk kehati-hatian, karena
dikhawatirkan akan menelantarkan hak kaum fakir miskin. Oleh karena itu,
seseorang yang ingin menunaikan zakat tidak boleh mengambil pendapat yang lemah
atau menggabungkan pendapat dari setiap madzhab yang lebih tidak menjamin
keutuhan hak kaum fakir. Dalam masalah ini, seorang mufti (pemberi fatwa) hendaknya
mengeluarkan fatwa yang paling hati-hati (selamat) dan paling kondusif, dengan
tetap mempertimbangkan kondisi orang yang meminta fatwa (mustafti) dan apakah
dia termasuk orang-orang yang punya kepentingan (tertentu mendesak) atau tidak.
Adapun jenis kedua, yaitu
kelompok perkara-perkara yang dilarang, yang bertumpu pada kehati-hatian (ihtiyath)
dan mengambil pendapat yang paling selamat (wara’)[12](dengan
meninggalkan syubhat) sekuat mungkin. Karena Allah Azza wa Jalla tidaklah
melarang sesuatu, kecuali karena adanya madharat (bahaya). Maka tidak boleh
memberi kelonggaran atau melakukan talfiq dalam hal itu, kecuali dalam keadaan
darurat (terpaksa) menurut kacamata syari’at.Sebab kondisi darurat (terpaksa)
membolehkan (mengambil) yang dilarang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
((مَانَهَيْتُكُمْعَنْهُفَاجْتَنِبُوهُ،وَمَاأَمَرْتُكُمْبِهِفَأْتُوامِنْهُمَااسْتَطَعْتُمْ))
Apa yang kularang hendaklah
kalian jauhi (tinggalkan); dan apa yang kuperintahkan, maka hendaklah kalian
kerjakan sekuat kemampuan kalian.[13]
Dalam hadits di atas, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengikat perintah dengan tingkat kemampuan,
sementara larangan dimutlakkan (tidak diikat), demi menolak madharat dari
perkara yang dilarang tersebut.
Adapun tidak bolehnya talfiq
dalam larangan-larangan itu, karena larangan-larang tersebut dibangun atas
dasar kehati-hatian dan mencari yang paling selamat. Hal itu bersandar kepada
hadits :
دَعْمَايَرِيبُكَإِلَىمَالاَيَرِيْبُكَ
Tinggalkanlah apa yang
meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan bagimu.[14]
Adapun larangan-larangan yang
berkaitan dengan hak-hak manusia, maka tidak boleh melakukan talfiq di
dalamnya. Karena hal itu berdasarkan asas menjaga hak serta mencegah gangguan
dan menganiaya (orang lain). Maka tidak boleh melakukan talfiq dalam hal
tersebut, karena merupakan bentuk rekayasa tipuan yang bertujuan menentang hak
orang dan merugikan mereka.
Sedangkan jenis ketiga, yaitu
jenis mu’amalah (interaksi antara manusia), hukuman pidana (hudud), menunaikan
kewajiban harta dan pernikahan.
Pernikahan dan hukum yang
integral dengannya, seperti mufaraqah (pemisahan hubungan antara suami
isteri) itu, landasannya adalah mewujudkan kebahagiaan suami-isteri dan
anak-anak. Hal ini dapat terealisasi dengan menjaga ikatan pernikahan tersebut
dan terciptanya kehidupan yang baik dalam keluarga, sebagaimana yang telah
ditetapkan Al Qur`an Al Karim
:
فَإِمْسَاكٌبِمَعْرُوفٍأَوْتَسْرِيحٌبِإِحْسَانٍ
Setelah itu, boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.[15]
Jadi, setiap perkara yang
mendukung prinsip ini boleh diamalkan, meskipun dalam sebagian kasus akan
menyeret kepada perbuatan talfiq. Hanya saja, hendaknya talfiq tidak dijadikan
sebagai obyek permainan orang dalam urusan-urusan pernikahan dan talak, dengan
tetap memperhatikan kaidah syari’at, yaitu bahwa “hukum asal pernikahan atau
perkawinan adalah haram”[16](kecuali
yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syari’at.), demi menjaga
hak-hak kaum wanita dan keturunan. Dan bila hal tersebut (mempermainkan hukum
dalam pernikahan) di atas terjadi, maka talfiq menjadi terlarang.
Adapun masalah mu’amalah,
menunaikan kewajiban harta, penegakan hudud (hukum pidana) dan perlindungan
darah (manusia) serta masalah lain yang serupa yang memperhatikan kemaslahatan
dan kebaikan bagi kehidupan manusia, maka wajib mengambil dari setiap madzhab,
pendapat yang paling mengutamakan kemaslahatan dan kebahagiaan manusia,
kendatipun harus melakukan talfiq. Sebab pemilihan pendapat model itu akan
mencerminkan usaha untuk aslahatan-kemaslahatan manusia berubah seiring dengan
perubahan zaman, adat kebiasaan dan perkembangan peradaban mereka. Dan batasan
maslahah adalah, setiap perkara yang menjamin perlindungan terhadap lima
prinsip dasar, yaitu penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta; serta
perlindungan terhadap setiap kebaikan yang dibidik oleh syari’at, baik melalui
Al Qur’an, Sunnah atau Ijma’, yang lebih dikenal dengan mashalih mursalah
maqbulah (yang bisa diterima)
5. Epilog:
Setelah
kita membahas permasalahan seputar talfiq ini dengan terperinci.Dapat kita
simpulkan bahwa batasan dibolehkan atau tidaknya melakukan talfiq adalah pada
setiap perkara yang dapat mengacaukan landasan-landasan syari’at dan dapat
menghancurkan aturan dan hikmahnya, maka hal itu dilarang, terutama kalau hal
itu sekedar hiyal (rekayasa belaka untuk melepaskan diri dari beban
syari’at).Sedangkan segala sesuatu yang mendukung landasan, hikmah dan aturan
syari’at untuk membahagiakan manusia di dunia dan akhirat, dengan memfasilitasi
kemudahan kepada mereka dalam urusan peribadatan serta menjamin segala
kemaslahatan mereka dalam urusan mu’amalah (interaksi antara mereka),
maka hal itu dibolehkan, bahkan merupakan tuntutan.
Pemberlakuan talfiq hanya
dibolehkan saat dibutuhkan atau dalam kondisi darurat (terpaksa) saja, bukan
bertujuan untuk mempermainkan hukum agama atau mencari-cari pendapat yang
paling mudah dan ringan dengan sengaja tanpa ada maslahah yang
dilegalkan syariat.Dan lagi, itupun terbatas pada sebagian hukum peribadatan
dan mu’amalah yang bersifat ijtihadi (yang dibolehkan terjadinya
perbedaan pendapat) dan bukan bersifat qath’i (pasti). Wallahu A’lam.
Kajian Fikih Tradisional
Departemen Intelektual IKPMA
Selasa, 13
Februari 2013
Daftar pustaka
-
Zuhaili, Dr.Wahbah, “Ushul fiqh
alislamy” (Damaskus cet.I 2011. Darul Fikr)
-
Al-Qardhawi, Dr.Yusuf,“Fatawa
mu’ashirah”(Kuwait cet.V 2005 Darul Qalam)
-
Albani, Muhammad Sa’id, “’umdatut
tahqiq, fit taqlid wat tahqiq” (Damskus cet.II 1923 Darul Qadiri)
[1]Taqlid
adalah mengambil perkataan seseorang tanpa mengetahui dalilnya
adapun ittiba' adalah mengambil perkataan seseorang serta mengetahui
dalilnya.
[2] Mahasiswa tingkat III, Fakultas
Dirosat Islamiyah.
[4] Ushul Fiqh Al-Islamy
hal: 421 jilid ke: 2
[5]Yang
dimaksud masalah ijtihadi adalah permasalahan yang menjadi persilisihan para
ulama fiqih (fuqaha) dikarenakan perbedaan dalam cara pandang dan pemahaman
mereka di dalam suatu dalil syar'i (Al-Quran dan Sunnah) yang memiliki banyak
makna (umum)
[6]Ushul
Fiqh Al-Islami hal: 426 jilid ke: 2
[7]
Orang yang melakukan taqlid
[8]Surah
Al-Hajj ayat 78
[9]Surah
An-Nisa ayat 28
[10]Surah
Al-Baqarah ayat 185
[11]Hadits
shahih dikeluarkan oleh imam Ahmad dalam musnadnya dari hadits Jabir bin
Abdullah, dan dari Hadits Abu Umamah,
dan dikeluarkan oleh Alkhatib, dan diriwayatkan oleh Imam Ad-Dailami dari
Musnadul Firdaus dari Hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anha.
[12]Wara’
yaitu menahan diri dari perkara-perkara meragukan (syubhat) karena khawatir dan
takut kepada Allah Azza wa Jalla, kemudian digunakan juga untuk menahan diri
dari yang hal mubah.
[13]Muttafaqun
‘alaih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[14]HR
Tirmidzi dan An Nasa-i dari Al Hasan bin Ali bin Abu Thalib, dan Tirmidzi
berkata: “Hadits hasan shahih.
[15] Surah al baqarah ayat: 229
[16]l
Asybah Wa An NazhairAl Asybah oleh As Suyuthi (67 dan berikutnya). Maksud
kaidah tersebut ialah, wanita yang akan dinikahi pada asalnya diharamkan bagi
seorang laki-laki (sampai terjadi pernikahan yang sah). Masuk pula dalam hal
ini, setiap cara untuk menikmati wanita (yang diharamkan).
0 komentar:
Post a Comment